Jingga langsung memutar video yang sedang trending hari ini. Jujur, tidak pernah terbayangkan bahwa kejadian kemarin akan viral sekaligus menjadi topik panas yang orang-orang bicarakan hari ini. Baik, Jingga memang tahu kalau kemarin ada beberapa orang yang merekam, tapi tetap saja ia tidak habis pikir kenapa langsung viral begini?
Bagi Jingga, kejadian kemarin yang hanya disaksikan para pengunjung kafe saja sudah membuatnya malu, apalagi ini sampai ditonton hampir satu juta pengguna media sosial atau mungkin lebih. Belum lagi yang iseng me-repost-nya. Ini benar-benar lebih memalukan dari kemarin.
“Astaga. Apa jangan-jangan video ini yang bikin aku gagal memikat HRD? Makanya aku nggak diterima di Sunrise.” Jingga bahkan sudah terduduk di kursi terdekatnya, dengan mata yang masih menatap layar ponselnya untuk membaca komentar-komentar pedas yang ditujukan padanya.
“Sial. Para netizen nggak tahu duduk permasalahannya sehingga mengira aku pelakor. Padahal aku hanya korban, karena aku sama sekali nggak tahu kalau Mas Yogi udah punya istri. Kami pacaran pun berawal dari dia yang mendekatiku lebih dulu,” kesal Jingga. “Oke, aku akui kalau aku bela-belain pindah ke gedung yang sama dengan tempat tinggalnya, tapi semata-mata bukan karena Mas Yogi aja. Fakta kalau unit yang sekarang aku tinggali sebelumnya ditempati oleh penulis juga … sumpah demi apa pun aku lebih tertarik karena alasan itu.”
“Dan memang sekarang terbukti, begitu aku tinggal di situ … aku merasa lebih produktif menulis. Aku bahkan udah melupakan Mas Yogi yang faktanya tinggal di gedung yang sama dan hanya beda lantai,” kata Jingga lagi.
“Kalau kamu hanya klarifikasi di depan aku, itu nggak mengubah apa pun,” balas Elina akhirnya. “Gimana kalau kamu bikin video klarifikasi aja? Aku yakin mbak-mbak yang nyiram wajah kamu juga otomatis bakalan lihat.”
“Mana mungkin aku bikin klarifikasi? Aku nggak se-konyol itu. Bikin klarifikasi sama aja dengan melemparkan diri ke netizen, juga memberi informasi kalau perempuan yang dilabrak di video itu adalah aku. Aku nggak mau terkenal dengan jalur memalukan begini meskipun aku sebenarnya nggak salah.”
“Ah iya juga, ya. Meskipun videonya viral, tapi nggak ada yang tahu kalau itu kamu. Jangankan mereka yang nggak kenal, bahkan aku yang kenal kamu aja nggak langsung mengenali kamu dalam video tersebut,” balas Elina.
Jingga mengangguk-angguk. “Jadi biarkan begini aja. Aku nggak perlu repot-repot menjelaskan kesalahpahaman ini. Terserah kalau mereka mau menghujat sepuasnya pun silakan karena mereka nggak kenal aku.”
“Kamu memang Jingga yang aku kenal, selalu tenang dalam situasi apa pun,” jawab Elina. “Bahkan, di video yang viral itu kamu nggak terlihat panik sedikit pun.”
“Aku nggak bersalah jadi nggak ada alasan untuk panik. Aku cuma merasa malu dan kesel aja, sih.”
“Tapi nggak semua orang bisa kayak begitu, Ga. Sekalipun nggak bersalah,” balas Elina. “Ngomong-ngomong, tadi kamu sempat berpikir kalau gagal memikat HRD gara-gara video ini. Mengingat aku sendiri nggak langsung sadar kalau itu kamu … aku rasa HRD juga nggak bakal sadar kalau kamulah yang dilabrak itu.”
“Berarti balik lagi ke dugaan awal kalau aku tersisih karena orang dalam,” jawab Jingga santai. Tak bisa dimungkiri memiliki teman bicara seperti ini membuat rasa kesal yang dirasakannya perlahan berkurang.
“Kalau di Aluna beneran butuh seseorang untuk bergabung di tim mereka, aku bakal kabarin kamu. Ingat Jingga, sekarang kamu juga punya orang dalam yaitu aku,” canda Elina.
Jingga pun tertawa. “Makasih lagi, Mbak El.”
“Tapi beneran nggak apa-apa di Aluna aja? Maksudku … Aluna kantornya bukan di gedung tinggi yang bergengsi.”
“Jangan lupa, yang penting adalah aku kerja dan lebih bagus kalau kerjaannya di bidang yang aku suka. Dalam hal ini Aluna masuk kategori yang aku mau. Aku nggak peduli dengan kantornya,” jawab Jingga. “Lagian menurutku kantornya nyaman, kok, pas aku diajak sama Mbak Elina berkunjung ke sana.”
“Oke kalau begitu. Barusan aku udah chat pimred-nya. Tinggal nunggu dibalas.”
Belum sempat Jingga menjawab, getaran ponsel di tasnya membuat Jingga langsung mengambil benda pipih itu untuk melihat siapa yang menghubunginya. Jingga spontan mengembuskan napas frustrasi saat melihat nama kontak yang meneleponnya, yakni bertuliskan ‘kakek’.
***
Tidak akan ada yang pernah tahu tentang datangnya hari sial seseorang. Untuk itu, Biru Langit Harsono menganggap yang barusan terjadi padanya merupakan kesialan yang tidak bisa dikendalikan. Bagaimana tidak, ia tidak pernah menyangka motor besar yang dikemudikannya dengan sangat hati-hati malah menabrak salah satu mobil di tempat parkir. Konyol sekali, bukan?
Meskipun Biru tidak sengaja, tapi tetap saja ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang mengakibatkan bagian belakang mobil tersebut tampak lecet dan ada sedikit goresan di bumpernya.
Biru lalu mengambil catatan kecil dan pulpen di dalam ranselnya. Setelah itu, ia menuliskan permintaan maaf sekaligus nomor ponselnya agar pemilik mobil bisa menghubunginya untuk meminta pertanggungjawaban atau ganti rugi. Terakhir, Biru menempelkannya di pintu dengan harapan pemilik mobil bisa langsung melihatnya nanti saat hendak masuk.
Setelah itu, Biru bergegas masuk ke EL ICB yang lumayan ramai menjelang siang hari begini. Tujuannya adalah ke toko buku milik Elina di lantai atas, sehingga saat di lantai satu yang merupakan kedai es krim, pria itu hanya melewatinya saja.
Di tangga menuju lantai dua, Biru berpapasan dengan seorang wanita yang tampak sangat buru-buru menuruni tangga. Biru bahkan sengaja bergeser ke samping agar tidak menghalangi jalan wanita itu.
Sampai pada akhirnya, Biru sudah berada di lantai dua. Elina langsung menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kenapa?” tanya Biru kemudian.
“Dari mana?” Elina malah balik bertanya.
“Habis nge-deal perjanjian penerbitan sama penulis dan memang sengaja ke sini sebelum balik ke kantor. Ada apa?”
“Kebetulan banget barusan ada penulis ke sini. Sayangnya dia udah pergi tepat sebelum Mas Biru datang,” jelas Elina.
“Terus?”
“Aluna butuh seseorang buat bergabung di tim, kan? Dia ingin mendaftar.”
“Mendaftar jadi apa?”
“Posisi apa pun yang dibutuhkan. Dia temanku yang lagi butuh pekerjaan, jadi aku harap Mas Biru mempertimbangkan untuk menerimanya,” ujar Elina. “Sebenernya aku pun udah chat Mas Biru, tapi memang belum di-read.”
Biru langsung teringat wanita yang berpapasan dengannya tadi di tangga. Pasti itu penulis wanita yang Elina maksud.
Biru lalu melangkah menuju jendela kaca untuk melihat ke luar, tepatnya area parkiran di bawah sana. Detik itu juga ia baru tahu kalau penulis wanita yang tadi berpapasan dengannya merupakan pengemudi yang mobilnya tak sengaja Biru tabrak. Terlihat jelas wanita itu mulai masuk ke mobil yang Biru tabrak tadi.
“Gimana, Mas? Aluna memang lagi butuh orang, kan?” tanya Elina lagi. "Aku rasa lebih baik merekrut seorang penulis seperti sebelumnya. Pasti dunia pernovelan bukan hal asing lagi baginya," lanjutnya.
“Suruh dia melamar secara resmi aja, ya. Mungkin bakalan diterima kalau dia nggak aneh-aneh,” jawab Biru. “Saya juga perlu lihat profilnya dulu, nggak mau sembarangan.”
“Sip. Aku bakalan kabarin Jingga. Makasih ya, Mas Biru.”
“Jadi namanya Jingga?” tanya Biru.
“Iya, Mas. Namanya Jingga Arista.”
Tunggu, kenapa ada perasaan tak biasa saat Biru mendengar nama itu?
Jingga Arista? Seperti tidak asing.
“El, bentar-bentar,” ucap Biru lagi.
“Iya, Mas?”
“Ralat, ya. Dia nggak perlu melamar secara resmi. Suruh dia datang langsung ke kantor aja besok,” pungkas Biru yang berubah pikiran.