BYUR!
Jingga langsung melongo saat tiba-tiba dirinya mendapatkan kejutan tak terduga, yakni sebuah guyuran segelas es jeruk yang langsung berakhir di wajahnya lalu turun ke kemeja yang dikenakannya. Dingin dan segar.
Padahal Jingga baru saja tiba di kafe Abrakadabra dan bahkan belum sempat duduk, tapi wanita yang sama sekali tidak dikenalnya malah menghalangi jalannya sekaligus melakukan hal yang sontak mengundang perhatian para pengunjung lain. Apa-apaan ini?
"Maaf, kenapa Mbak melakukan itu?" tanya Jingga, masih dengan nada baik-baik karena ia yakin ini hanyalah salah paham.
Detik itu juga Jingga baru menyadari kalau wanita yang berdiri di hadapannya ini ternyata sedang hamil besar. Jika diperkirakan mungkin sudah delapan atau sembilan bulan. Entahlah, yang pasti trimester akhir.
Tunggu, jangan bilang wanita ini sedang ngidam ingin menyiram wajah orang dengan es jeruk! Jika iya, sungguh absurd.
"Kamu nanya kenapa? Pakai nanya segala. Dasar pelakor!"
Apa? Pelakor? Ini jelas salah paham dan wanita hamil ini sudah pasti salah orang!
Sebenarnya Jingga datang karena mantan pacarnya memaksa ingin bertemu, mantan pacar sialan yang memutuskannya lewat pesan beberapa bulan yang lalu. Padahal Jingga sudah bela-belain pindah ke gedung yang sama dengan tempat tinggal pria itu, sialnya ia malah dianggap berlebihan.
Konyolnya, alih-alih bertemu sang mantan yang diduga ingin mengajak balikan, sialnya Jingga malah disambut oleh wanita hamil yang tampak jelas memancarkan amarah. Sumpah demi apa pun Jingga yakin wanita itu salah orang.
"Maaf, sepertinya Mbak salah paham. Aku beneran nggak ngerti alasanku disebut pelakor karena nyatanya aku nggak kenal Mbak apalagi merebut suami Mbak ... itu mustahil."
"Kamu Jingga Arista, bukan?"
Deg. Kenapa wanita itu mengetahui namanya? Ini tidak masuk akal terlebih ia tidak merasa pernah 'merebut laki orang'.
"Kamu kenal Yogi Hermanto? Ah, pasti kenal. Bukankah chat dari nomornyalah yang membuat kamu datang ke sini," kata wanita itu lagi.
Tunggu, tunggu ... sepertinya Jingga mulai memahami situasi ini. Ternyata yang mengiriminya pesan berpura-pura menjadi Yogi dan mengajak untuk bertemu di sini adalah wanita hamil ini, bukan mantan pacarnya.
"Saya istrinya!" tegas wanita itu. "Saya sengaja jebak kamu dengan mengajakmu bertemu menggunakan nomor suami saya. Dan rupanya kamu cukup punya nyali untuk datang ke sini. Kenapa? Kamu pikir Mas Yogi yang ingin bertemu kamu?"
"Ya ampun," gumam Jingga. Bisa-bisanya ia terjebak dalam situasi konyol ini. "Mbak sebelumnya maaf, sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Aku bisa jelasin...."
"Jelasin apa? Jelasin kalau kamu tergoda sama suami saya makanya berusaha merayunya. Tega ya kamu. Padahal saya lagi hamil dan berani-beraninya kamu mau merebut suami saya." Wanita itu berkata dengan nada tinggi sehingga para pengunjung lain bisa mendengar percakapan mereka.
Ya, orang-orang mungkin berpikir kalau ada tragedi istri sah yang sedang melabrak pelakor. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang memvideokannya.
"Mbak, aku datang ke sini bukan karena ingin banget ketemu Mas Yogi. Bukankah dalam chat, Mbak yang berpura-pura menjadi Mas Yogi dan memaksa untuk bertemu?" tanya Jingga. "Selain itu, Mbak salah paham. Aku nggak pernah merayu Mas Yogi. Justru Mas Yogi yang mendekatiku lebih dulu. Bahkan, Mas Yogi menyembunyikan statusnya yang udah beristri. Sumpah demi apa pun aku baru tahu sekarang kalau Mas Yogi udah ada istri. Andai tahu sejak awal, aku nggak akan mau dideketin."
"Bukan Mbak aja yang dibohongi, tapi aku juga. Aku nggak tahu apa-apa," tambah Jingga.
“Ternyata kamu masih bisa berkelit. Dasar pelakor nggak tahu diri! Seharusnya tadi saya menyiram wajahmu dengan kopi panas, bukan es jeruk!” Wanita hamil itu bersikap untuk menampar pipi Jingga, tapi tangannya seolah menggantung di atas karena ada tangan lain yang mencegahnya bergerak.
Jingga yang refleks memejamkan mata untuk menghindar, kini kembali membuka matanya saat tidak merasakan sakit apa pun di wajahnya. Sosok pria tinggi yang harum tubuhnya langsung sampai dengan baik ke indra penciuman Jingga, tampak berhasil menggagalkan tangan wanita hamil itu untuk mendarat di pipi Jingga.
Jingga mulai menerka-nerka, siapa pria wangi yang menyelamatkannya ini? Bahkan, dari samping saja wajahnya kentara sangat good looking.
“Maaf, Mbak. Gimana kalau saya berikan tempat untuk kalian bicara baik-baik dengan kepala dingin dan tentunya tanpa kekerasan fisik?” tawar pria itu yang kini sudah melepaskan tangan wanita hamil tersebut.
“Me-memangnya kamu siapa?” tanya wanita hamil itu.
Entah karena itu seorang pria atau bisa jadi karena terpesona, wanita hamil itu terkesan lebih manusiawi saat berbicara dengan sang pria. Padahal tadi saat bicara dengan Jingga, malah khas ibu-ibu ingin mengamuk.
“Saya….”
“Sayang, ayo kita pergi dari sini!” Suara berat spontan memotong ucapan pria dengan aroma tubuh memabukkan itu. Suara itu tampak familier di telinga Jingga. Ya, itu merupakan suara milik Yogi, pria yang pernah menjalin hubungan dengan Jingga selama hampir empat bulan.
Selama beberapa detik pandangan Jingga dan Yogi bertemu, tapi pria itu langsung mengalihkan pandangannya pada sang istri.
“Mas Yogi tolong jelasin sama istrinya ya, kalau aku nggak tahu apa-apa dan Mas Yogilah yang menipu aku maupun istri Mas sendiri,” ucap Jingga, tapi tidak dijawab oleh Yogi karena pria itu langsung membawa istrinya menuju keluar kafe.
Selama beberapa saat Jingga bersama beberapa pasang mata yang lain menatap kepergian Yogi dan istrinya yang perlahan mulai menghilang.
Meskipun mereka sudah tidak terlihat lagi, tapi Jingga masih menatap ke arah luar. Bukannya apa-apa, ia sejujurnya masih mencerna situasi konyol barusan. Entah mimpi apa Jingga semalam sehingga bisa mengalami hal seperti ini.
“Kamu baik-baik aja, kan?” Suara pria yang tadi menyelamatkan Jingga dari tamparan istri Yogi, membuat Jingga tersadar dari lamunannya.
Ya, bisa-bisanya Jingga melamun. Padahal seharusnya ia cepat-cepat meninggalkan tempat ini karena kejadian tadi sungguh memalukan sekalipun dirinya bukan benar-benar seorang pelakor.
“Kamu nggak apa-apa, kan?” ulang pria itu.
“I-iya. Aku baik-baik aja, kok. Terima kasih banyak ya, kalau nggak ada kamu … mungkin aku udah kena tampar.”
Pria itu tersenyum seraya mengulurkan tangannya. “Arbian. You can call me Bian.”
“Jingga,” jawab Jingga spontan sambil membalas uluran tangan Bian.
“Ya Tuhan….” Bian cepat-cepat membuka jaketnya lalu memakaikannya pada Jingga.
Detik itu juga Jingga sadar kalau kaus putih yang digunakannya harus ditutupi karena basah membuatnya lebih transparan.
“Lagi-lagi aku harus berterima kasih.”
“Aku yakin kamu masih syok dengan kejadian tadi. Untuk itu, gimana kalau kita minum sebentar di kafe ini? Setelah kamu lebih tenang, kamu boleh pulang,” kata Bian.
Selain karena ucapan Bian ada benarnya bahwa Jingga masih syok, memang ada baiknya Jingga tidak langsung pulang. Terlebih ajakan Bian berhasil membuat Jingga seakan terhipnotis sehingga setuju untuk minum di kafe ini bersama pria yang baru dikenalnya itu.
***
Jingga itu orangnya mudah akrab. Tidak terkecuali dengan Bian, mereka sebenarnya baru kenal, tapi mereka berhasil mengakrabkan diri dengan mudahnya. Terbukti dari obrolan mereka yang mulai ngalor-ngidul.
“Rupanya dia udah punya istri dan sebentar lagi punya anak. Bisa-bisanya dia menipuku, menjadikan aku selingkuhan,” kesal Jingga. “Meskipun kami putus udah lumayan lama, tapi tetap aja sebel banget karena aku harus mengalami kejadian seperti tadi. Memalukan,” lanjutnya.
Jingga berbicara lagi, “Tapi kenapa kamu nolong aku? Bahkan sekarang membawaku ke ruang VIP di kafe ini. Sampai membawakan handuk segala.”
“Apa aku terkesan pria buaya jika mengatakan aku udah tertarik sama kamu sejak kamu masuk ke kafe? Jujur, aku udah memperhatikan kamu sebelum kamu bicara dengan ibu hamil tadi,” jelas Bian.
“Oh ya?” Entah Bian jujur atau tidak, Jingga tak akan memusingkannya. Jika Bian hanyalah teman singkatnya, setelah ini mereka tidak akan bertemu lagi, bukan? Dalam kata lain, Jingga merasa bebas untuk membicarakan apa pun dengan pria itu.
“Ya, aku serius.”
Mereka pun kembali mengobrol. Dari obrolan yang nyambung, berlanjut merasa nyaman berbicara satu sama lain tak peduli perkenalan mereka sangat singkat, lalu tatapan dan senyum yang saling memikat … tiba-tiba Bian bertanya, “Ini hari yang memalukan dan sepertinya nggak akan kamu lupakan. Untuk itu, kamu ingin mengubah kenangan memalukan hari ini menjadi kenangan yang berkesan?”
“Maksud kamu?” tanya Jingga tak mengerti.
Bian memosisikan tubuhnya lebih dekat dengan Jingga. “Maksudku begini….”
Bibir Bian tiba-tiba mendarat dengan sempurna pada bibir Jingga. Namun, alih-alih menghindar, Jingga malah menyambut hangat ciuman pria itu.
"Sial. Pria ini terlampau berani," batin Jingga. Ia mengerti sekarang maksud kata tertarik yang Bian katakan tadi. Ya, tertarik untuk menciumnya. Dasar omes!
Hanya saja, Jingga tak peduli, toh ini merupakan pertemuan pertama dan terakhir mereka. Selain itu, untuk pertama kalinya Jingga merasakan adegan yang pernah ia buat dalam n****+ yang ditulisnya, yakni berciuman dengan pria asing.
“Aku izin mencium bibirmu, ya,” ucap pria itu setelah mereka sama-sama menjauhkan tubuh masing-masing.
“Izin macam apa yang langsung mencuri start sebelum aku menjawabnya?”
Bian tertawa ringan. “Bukankah aku udah bilang hanya ingin menciptakan sesuatu yang berkesan untukmu hari ini? Mengubah kenangan memalukan tadi menjadi kenangan nakal yang nggak semudah itu dilupakan. Ya, ciuman barusan adalah salah satu caraku."
Sumpah demi apa pun Jingga tak keberatan sama sekali dengan yang mereka lakukan barusan. Dengan catatan hanya ciuman dan tidak lebih. Jingga tidak mau kalau sampai ke tahap yang lebih jauh misalnya one night stand.
Bahkan, Jingga juga tak peduli kalau Bian itu playboy kelas kakap atau nama Bian sebenarnya hanyalah nama palsu, yang terpenting mood Jingga tidak rusak sekalipun telah dituduh pelakor sekaligus dipermalukan di tempat umum.
Ya, memang benar kalau yang terpenting Jingga akan mengingat hari ini bukan sebagai hari dilabraknya Jingga oleh istri Yogi, melainkan sebagai hari pertemuannya dengan Bian, yang konyolnya mereka malah tanpa sungkan berciuman seperti di n****+ yang Jingga tulis.
“Aku suka ciumanmu, tapi masalahnya kamu kerja di mana?”
“Kenapa tiba-tiba nanya itu?” tanya Bian.
“Besok aku interview, takutnya kamu ternyata calon bosku atau minimalnya yang mewawancarai," jawab Jingga yang kembali teringat tentang novelnya. "Itu nggak lucu karena seharusnya ini pertama dan terakhir kalinya kita bertemu.”
Lagi, Bian tertawa. “Seperti di n****+-n****+? Hari sebelumnya berciuman lalu selanjutnya dipertemukan di tempat kerja baru?”
"Ya begitulah."
"Aku malah nggak masalah kalau kita bertemu lagi. Siapa yang nggak mau ke tangga yang lebih tinggi?"
Tentu saja Jingga paham maksud Bian tentang tangga yang lebih tinggi. Melakukan yang lebih sekadar ciuman? Apa lagi kalau bukan berlanjut ke ranjang? Sekali tidak, tetap tidak.
"No, thanks," jawab Jingga. "Tapi serius deh ... pertemuan kita terbilang aneh, perkenalannya pun berasa random banget. Ditambah udah berciuman. Konyol banget, kan?"
"Pertemuan kita sekarang mungkin hanya berciuman. Dan seperti yang aku tawarkan tadi, kalau kita ketemu lagi ... kamu keberatan atau nggak kalau aku menggiringmu ke ranjang?"
"Eits, kita seharusnya nggak ketemu lagi," balas Jingga.
“Bagaimana kalau kita sungguh bertemu lagi?”
Jingga tampak berpikir sejenak lalu menjawab, “Mari saling menyapa dan lupakan apa yang kita lakukan hari ini.”
“Kamu udah punya pacar, ya?”
“Jangan mengalihkan pembahasan. Sebenarnya kamu kerja di mana?” Sungguh, meski kemungkinannya kecil, tetap saja Jingga hanya ingin memastikan.
“Yang pasti mustahil aku bekerja di kantor tempat kamu akan interview,” jawab Bian. “Meski aku berharapnya, sih, bekerja di sana. Dengan begitu otomatis kita akan bertemu lagi lalu berlanjut ke ranjang, bukan?”
“Dasar omes. Kenapa kamu kayak enggan menyebutkan kantor tempat kamu kerja?”
“Begini aja deh. Lihat aja besok, kita bertemu atau nggak,” kata Bian. “Kira-kira aku calon bosmu atau bukan?” sambungnya.
“Semoga bukan.”
“Kalau ternyata aku calon bosmu? Ah, sepertinya aku akan langsung menerimamu tanpa wawancara."
“Haruskah aku langsung resign?"
Bian malah tertawa.
Ya ampun … kenapa feeling Jingga merasa mereka akan bertemu lagi?