Muridku Maduku - Bab Sebelas

1855 Kata
Sepulang dari liburan, hari ini Elin akan bertemu dengan ibu mertuanya. Bu Dina akan menemui Elin untuk membahas soal kandidat calon istri Rendra yang sudah berhasil ia dapatkan. Bu Dina tidak tahu berapa kandidat calon istri kedua Rendra. Beliau dari kemarin sibuk dengan pekerjaannya, jadi belum sempat membuka daftar nama calon istri ke dua Rendra. Elin dan Rendra sudah menunggu Bu Dina di rumahnya. Bukan hanya Bu Dina saja, Pak Ibnu, ayah Rendra juga turut hadir. Bu Erna dan Pak Riyan juga akan datang ke rumah Elin untuk membahas calon istri kedua Rendra yang akan Elin pilih. Perasaan Elin semakin tidak menentu. Antara takut dan bimbang. Semakin mendekati hari di mana ia harus berbagi suami, semakin pula ia takut dan ragu untuk melangkah ke depan. “Sayang, kenapa mondar-mandir? Duduklah,” tegur Rendra pada istrinya yang dari tadi terlihat mondar-mandir. “Mas, kok ayah sama bunda lama ya? Ibu sama bapak juga lama gak datang-datang,” ucap Elin. “Duduklah, nanti pasti datang kok,” ucap Rendra. “Aku lihat kamu dari kemarin gelisah, Lin? Ada apa? Kalau kamu tidak siap, kamu tidak seharusnya begini, pura-pura tegar menuruti kemauan ibu,” ujar Rendra. “Siapa yang gelisah dan belum siap, Mas? Aku hanya ... Ehm ... Aku hanya menunggu bunda, kok lama, ya? Aku penasaran dengan nama kandidat calon istri kedua kamu mas,” ucap Elin dengan gugup karena berbohong. “Jangan membohongi hatimu, sayang. Aku mohon, kalau kamu tidak siap jangan memaksakan dirimu,” ucap Rendra. “Mas, aku siap, aku siap untuk berbagi suami. Mas siapa pun nanti yang akan aku pilih, aku mohon perlakukan dia selayaknya seorang istri dengan baik, meski tanpa cinta. Aku yakin, dia yang akan aku pilih nanti, wanita yang baik hatinya yang sudi dan berbesar hati untuk memberikan bayi pada kita. Jarang ada orang yang mau dan setuju dengan syarat yang aku berikan mas, kalau wanita itu mau menerima, aku yakin dia wanita yang baik,” ucap Elin. “Lin, maafkan aku,” ucap Rendra dengan mata berkaca-kaca. “Maaf? Maaf kenapa, Mas? Maaf untuk apa?” tanya Elin. “Maaf, karena aku mengiyakan semua ini, dan menuruti apa yang bunda mau,” ucap Rendra dengan memeluk Elin dan menangis di pelukan Elin. “Mas, jangan seperti itu, jangan nangis, aku tidak apa-apa, Mas. Kita masih bersama, kita lalui ini sama-sama, Mas,” ucap Elin dengan memeluk suaminya. “Maafkan aku yang selalu membuat kamu sakit dan sedih, Sayang.” Lagi-lagi Rendra meminta maaf pada istrinya. “Mas, jangan bicara seperti itu. Aku sangat bahagia memiliki suami seperti mas. Dalam hidup, pasti ada tangis, sakit, dan bahagia, Mas. Mas jangan bilang seperti itu lagi, ya?” ucap Elin. Rendra masih menangis di pelukan Elin. Dia tidak tahu harus berbuat apalagi. Elin dan bundanya sudah merencanakan semua dengan matang-matang, tidak mungkin dirinya akan menolak, karena itu adalah permintaan dua orang yang sangat ia sayangi dan cintai. Tak lama kemudian Bu Dina dan Pak Ibnu datang ke rumah Elin. Disusul dengan Bu Erna dan Pak Riyan. Elin dan Rendra langsung menyambut mereka. Bu Dina duduk di sebelah Elin. Beliau langsung memberikan map berwarna biru muda pada Elin. Map yang berisi daftar nama kandidat calon istri kedua Rendra. “Bunda belum meneliti siapa saja namanya, tapi sepertinya lumayan banyak yang mau mendaftar, silakan kamu baca, dan kamu pilih dua calon untuk perbandingan, jadi nanti di antara kedua calon itu, bunda akan mencari tahu bagaimana kehidupannya, layak atau tidak, cocok atau tidak dengan Rendra,” ucap Bu Dina. “Baik, Bunda, Elin akan baca satu persatu,” jawab Elin. Elin membuka Map berwarna biru muda itu. Dia mulai membaca satu-persatu nama kandidat calon istri kedua Rendra. Rendra yang berada di sebelahnya juga turut serta membaca daftar nama tersebut. Perasaan Rendra tidak menentu, melihat nama-nama yang akan menjadi istri ke duanya. “Ya Allah, permainan macam apa ini? Aku sungguh tidak bisa. Aku mencintai Elin, aku tidak mungkin seperti ini. Ya Allah, bagaimana ini? Aku sudah tidak bisa apa-apa lagi, karena ini sudah pasti akan terjadi,” gumam Rendra. Elin menajamkan matanya saat membaca nama kandidat calon istri kedua Rendra yang terakhir. Dia seakan tahu siapa pemilik nama terakhir di daftar tersebut. “Riani Aulia Putri?” ucap Elin dengan lirih tapi masih terdengar yang lain. Elin langsung mencari daftar riwayat hidup atas nama Riani Aulia Putri tersebut. “Lin, kamu kenapa?” tanya Rendra. “Iya, Lin, ada apa? Kok kamu gugup?” tanya Bu Erna. “Mas, kamu baca nama ini,” ucap Elin sambil menunjukkan nama Riani Aulia Putri, yang tak lain adalah nama muridnya. “Riani Aulia Putri? Ini seperti nama murid kamu, Sayang?” tanya Rendra. “Itu kenapa aku seperti ini, Mas. Masa Ria?” ucap Elin. “Bunda, apa ada pegawai bunda yang masih SMA, dan baru melaksanakan ujian kemarin?” tanya Rendra. “Sebentar, kalian dari tadi menyebut nama Riani Aulia Putri. Ibu tidak tahu nama lengkap dia, tapi memang ada karyawan bunda yang baru saja melaksanakan ujian, namanya Ria. Dia baru tiga atau empat bulanan kerja di butik Bunda, dan bunda yang kemarin mempercayakan dia untuk menulis semua ini,” jelas Bu Dina. “Aku yakin, Mas. Ini Ria. Kenapa dia seperti ini?” ucap Elin dengan mata berkaca-kaca. “Maksud kamu itu Ria siapa, Nduk?” tanya Bu Dina. “Bunda, Ria yang bekerja di butik bunda itu murid Elin. Elin yakin itu murid Elin,” jawab Elin. “Bu Dina meminta foto-foto mereka tidak?” tanya Pak Riyan. “Ada, Pak. Kemarin saya suruh Ria meminta foto-foto orang yang datanya sudah masuk, itu terpisah, ada di dalam kantung plastik, dan di dalam map,” jawab Bu Dina. “Dan, di belakangnya di tulis nama mereka. Bunda meminta foto mereka itu menyusul, jadi ya terpisah sama lembaran lain,” imbuh Bu Dina. “Ini Lin, ini foto-foto mereka. Coba kita cari foto Ria, ada tidak foto dia,” ucap Rendra dengan memberikan foto-foto mereka. Elin mencari dengan posisi foto terbalik, karena dia mencari namanya. Elin menemukan foto yang belakangnya tertulis Riani Aulia Putri. Dia membalikkan foto itu dengan perlahan dan dengan d**a bergemuruh. Dia tidak tahu harus bagaimana kalau benar foto itu menunjukkan wajah Ria, muridnya. Tatapan mata Elin dan Rendra menajam melihat foto tersebut. Mereka saling memandang dengan tatapan yang sulit diartikan. “Mas, ini?” ucap Elin dengan mata berkaca-kaca. “Lin, kenapa dia seperti ini? Apa kurang apa yang sudah kita kasih? Dia mau kuliah, tapi dia malah ikutan seperti ini? Sebenarnya apa maunya dia?” Rendra bertanya kepada istrinya, dan Elin pun tidak tahu tujuan Ria ikut sayembara ini. “Ini kalian kenapa? Ada apa sebenarnya?” tanya Bu Dina penasaran. “Iya, Lin, ada apa? Ren, ini ada apa dengan kalian berdua,” tanya Bu Erna. “Kalian kenal dengan orang tersebut?” tanya Pak Ibnu. “Dia murid Elin. Dan, kami sudah berniat ingin menguliahkan dia. Dia siswa terpandai di sekolahan, Yah. Jadi Elin ingin sekali mewujudkan cita-cita muridnya itu, supaya bisa kuliah,” jelas Rendra. Elin hanya diam menatap foto Ria. Dia tidak mengerti kenapa Ria bisa seperti ini. Mendaftarkan diri untuk menjadi istri kedua. “Lin, benar yang di katakan Rendra, kalau itu murid kamu?” tanya Pak Ibnu, tapi Elin masih diam saja. “Nduk, benar itu muridmu?” tanya Pak Riyan. Elin hanya menangis, tidak menjawab. Dia menangis karena dia bingung dengan Ria yang seperti ini. Dia sudah mengeluarkan uang untuk biaya pertama masuk kuliah Ria, dia sudah menganggap Ria adiknya. Tapi, kenapa Ria melakukan hal seperti ini? Padahal dia ingin sekali kuliah, Ria ingin mewujudkan cita-cintanya menjadi sarjana, dan dia memimpikan kuliah di Universitas impiannya. “Nduk, benar itu murid kamu?” tanya Bu Dina. “I—iya, Ria ini murid Elin. Elin memang ingin membiayai kuliah dia. Dia siswa yang pandai, sudah diterima di universitas juga. Elin tidak mengerti, kenapa dia bisa melakukan ini, apa tujuannya? Mimpinya sudah Elin wujudkan, agar dia bisa kuliah di Universitas impiannya, tapi kenapa Ria melakukan ini? Apa tujuannya?” ucap Elin. “Sudah jangan pikirkan itu. Ria memang anak yang rajin, bunda juga tidak menyurihnya ikut sayembara ini, karena dia masih terlalu muda sekali. Baru saja dia ulang tahun kemarin, baru delapan belas tahun usianya. Bunda memang percaya sekali dengan dia, karena dia kerjanya bagus, cekatan, itu sebabnya bunda menyuruh dia yang mencatat dan mengumpulkan data-data mereka. Tapi, kenapa dia malah ikutan?” jelas Bu Dina. “Apa dia pernah cerita sesuatu dengan bunda tentang kehidupannya?” tanya Elin. “Dia hanya cerita, dia kerja karena ingin membantu melunasi utang orang tuanya, dan untuk tambahan biaya hidupnya, karena dia juga akan kuliah,” jawab Bu Dina. “Sudah, Lin. Jangan dipikir, kamu cari kandidat lain saja. Lagian dia masih kecil, masih terlalu muda sekali,” ujar Bu Dina. “Enggak, Bun. Elin mau dia, Elin pilih Ria,” ucap Elin dengan tatapan matanya masih tertuju ke foto Ria. “Lin, kamu jangan gini dong, dia murid kamu, dia masih kecil, tidak mungkin aku menikahi gadis di bawah umur!” tegas Rendra. “Dia sudah delapan belas tahun, Mas. Sudah bisa menikah. Aku mau Ria yang akan menjadi istri kedua kamu,” jawab Elin. “Bukankah yang masih muda justru yang produktif? Coba calon lainnya? Sudah di atas dua puluh lima tahun semua. Aku mencari madu untuk mendapatkan keturunan, Mas. Bukan hanya untuk hiasan di rumah, bukankah bunda juga tujuannya adalah biar Mas Rendra mendapat keturunan? Kalau dengan Ria, dia masih muda, jadi akan mudah mendapat keturunan. Elin putuskan, Ria yang Elin pilih,” jelas Elin. “Lin, dia murid kamu, kamu juga sudah membiayai kuliah dia. Kamu pilih yang lain saja,” saran Bu Dina. “Iya, Nduk, cari yang lebih dewasa sedikit,” imbuh Pak Riyan. “Enggak, Elin mau Ria. Kalau tidak, ya sudah tidak ada hal seperti ini,” ucap Elin. “Tapi, Lin, dia masih kecil, Mas tidak bisa. Kamu jangan ngaco ya, Lin, Ria masa depannya masih panjang, dia mau kuliah, Lin,” ucap Rendra. “Mas, aku mohon, hargai keputusanku untuk memilih Ria. Bukankah ini semua yang berhak memutuskan aku?” ucap Elin. “Tapi dia muridmu, Nduk?” ucap Bu Erna. “Bu, ini sudah keputusan Elin, kalau tidak, ya sudah tidak ada pernikahan Mas Rendra lagi,” ucap Elin. “Terserah kamu, Lin!” tukas Rendra. “Jadi kamu memilih Ria?” tanya Bu Dina. “Iya, Bunda,” jawab Elin. “Pilih satu lagi untuk perbandingan, Lin,” ucap Bu Dina. “Tidak perlu, Bunda,” jawab Elin. “Baik kalau itu keputusan kamu, Nduk,” ucap Bu Dina. Bu Dina tidak menyangka Ria akan mencalonkan dirinya. Dan, lebih tidak di sangka lagi, ternyata Ria adalah murid Elin. “Kenapa jadi seperti ini? Baru kemarin aku membatin, ingin Ria saja yang menikah dengan Rendra. Tapi, karena dia masih sangat muda sekali, aku melarang dia ikut. Ternyata malah dia ikut mencalonkan dirinya, dan Elin meminta Ria. Keinginanku terwujud, Ria akan menjadi istri kedua Rendra,” gumam Bu Dina. Elin masih tidak menyangka semua akan seperti ini. Elin berniat menemui Ria dan menanyakan soal semua ini. “Ya, aku harus menemui Ria, calon maduku,” gumam Elin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN