Elin masih belum percaya kalau Ria mencalonkan diri untuk menjadi madunya. Dia ingin tahu lebih dalam, kenapa Ria sampai mencalonkan diri untuk menjadi madu. Padahal usianya masih sangat muda. Dia juga belum lulus sekolah, dan akan melanjutkan kuliah. Elin tak habis pikir apa yang ada di dalam pikiran Ria saat itu, hingga dia menuliskan namanya untuk menjadi madu.
Elin sungguh penasaran, dia ingin cepat-cepat ke rumah Ria untuk menanyakan soal semua ini.
“Lin, kamu yakin memilih Ria?” tanya Bu Dina.
“Iya, Bunda. Aku yakin, aku pilih Ria,” jawab Elin.
“Lin, tapi dia murid kamu. Dia masih sangat muda sekali, masa depannya dia masih panjang, Lin,” ujar Rendra.
“Mas, ini demi kebaikan kita. Dengan mas menikahi wanita yang lebih muda, mas akan cepat mendapat keturunan. Ini sudah keputusan Elin, Mas,” ucap Elin.
“Lin, tapi .....”
“Tapi apa, Mas? Aku mohon, mas mau dan menerima keputusanku ini,” ucap Elin.
Rendra hanya diam saja. Dia tidak mengerti apa yang ada di pikiran istrinya itu. Elin memilih Ria untuk menjadi madunya.
“Dia masih sangat muda sekali. Aku tidak mungkin menikah dan menggauli istri yang umurnya jauh di bawahku,” gumam Rendra.
Semua keputusan ada di tangan Elin, dan semua tidak bisa menolak keputusan Elin.
^^^^
Sore harinya, Elin berniat ke rumah Ria. Namun, Rendra lagi-lagi tidak mau dan belum menyetujui keputusan yang Elin buat. Elin tetap dengan pendiriannya, kalau dirinya ingin ke rumah Ria dan ingin menanyakan Ria, kenapa Ria ingin menjadi madu.
“Lin, tolong hentikan semua ini, aku tidak mau, Lin!” tolak Rendra.
“Mas, aku hanya ingin yang terbaik untuk kita. Ria calon yang cocok untuk kamu, Mas,” ucap Elin.
“Lin, aku mohon. Aku tidak mau menikah, kalau dengan muridmu itu,” tolak Rendra.
“Enggak, Mas. Kamu harus mau. Kamu sudah janji kamu akan menuruti keinginanku. Kamu lupa janjimu itu? Menikahlah dengan Ria, Mas,” ucap Elin.
“Aku memang janji sama kamu, Lin. Aku janji mau menikah lagi, tapi bukan dengan Ria, Lin,” ucap Rendra.
“Aku yang memilih, mas bilang, mas akan dengan pilihan aku? Kenapa sekarang menolak?” ucap Elin.
“Lin, Ria masih sangat muda, masa depan dia juga masih panjang. Kamu tega menghancurkan masa depannya?” ujar Rendra.
“Makanya kita sekarang ke sana, Mas. Biar tahu apa tujuannya dia mencalonkan dirinya untuk menjadi madu,” ucap Elin. “Kalau kita gak ke sana, gak akan tahu alasannya, Mas,” imbuh Elin.
“Kamu benar, Lin. Memang kita harus ke sana, supaya tahu kenapa dia mencalonkan diri untuk menjadi madu,” ucap Rendra.
“Tapi ....”
“Tapi, apa, Mas?” tanya Elin.
“Aku tetap tidak mau menikahinya, apa pun alasan dia nanti, kenapa dia mau mencalonkan diri menjadi madu,” jawab Rendra.
“Terserah kamu, Mas! Yang aku mau, kamu menepati janjimu untuk menikah dengan wanita pilihanku. Dan, pilihanku adalah Ria, Mas,” ucap Elin.
Rendra hanya terdiam mendengar ucapan Elin. Memang dia sudah berjanji dengan Elin, kalau dia akan menikahi wanita yang dipilihkan Elin, tapi itu bukan Ria.
Rendra akhirnya menuruti apa yang Elin mau. Dia menuruti Elin untuk ke rumah Ria. Tapi, dalam hatinya dia menolak untuk menikah dengan Ria.
^^^^
Dengan berbekal alamat yang tertulis di daftar riwayat hidup Ria, Elin dan Rendra pergi ke rumah Ria. Dia mencari alamat Ria yang cukup sulit, karena harus melewati gang agak sempit yang hanya bisa di lalui satu mobil saja.
“Sayang, ini benar alamatnya?” tanya Rendra.
“Iya benar, ini gang Asoka, kan? Jalannya jalan Ahmad Dahlan?” jawab Elin.
“Iya benar. Gangnya sempit sekali, dia rumahnya di mana, sih?” ucap Rendra.
“Kita tanya saja orang itu, kali saja dia tahu Ria,” ucap Elin.
“Ya sudah aku tanya orang itu, kali saja tahu,” ucap Rendra.
Rendra turun dari mobil, dia menanyakan alamat Ria pada orang yang sedang berada di depan warung makan.
“Permisi, Pak. Mau tanya alamat ini. Namanya Ria, putri dari Pak Supardi dan Ibu Muslikha. Apa bapak tahu?” tanya Rendra.
“Oh, Ria anaknya Pak Pardi? Bapak lurus saja ke depan sekitar seratus meter, nanti bapak ada rumah tua, cat kuning, di sebelah kiri jalan, itu rumahnya, Pak,” jelas orang tersebut.
“Oh, baik, Pak. Terima kasih,” ucap Rendra.
Rendra langsung masuk ke dalam mobilnya setelah bertanya pada orang yang sedang di warung.
“Bagaimana, Mas?” tanya Elin.
“Ehm ... Katanya ke depan lagi seratus meter, nanti di sebelah kiri jalan ada rumah tua cat kuning itu rumahnya,” jawab Rendra.
“Ya sudah ayo ke sana,” ajak Elin.
Elin sudah tidak sabar untuk menemui Ria dan menanyakan pada Ria kenapa Ria mencalonkan diri menjadi madu.
“Iya, Sayang, ini mau ke sana. Sabar dong,” ucap Rendra.
Rendra melajukan mobilnya menuju rumah Ria. Dia bingung dengan istrinya yang semangat sekali untuk bertemu Ria.
Mereka sudah sampai di depan rumah Ria. Rumah tua dengan cat berwarna kuning. Mereka saling memandang, seakan mereka bertanya, kalau benar ini rumah Ria.
Rumah yang sudah sangat tua. Lantainya dengan tegel, dan temboknya hanya separuh saja. Ke atasnya memakai pagar. Mereka tidak percaya itu rumah Ria.
“Ayo turun,” ajak Elin.
“Ini benar rumahnya?” tanya Rendra.
“Ya mungkin benar. Hanya ini rumah tua di sebelah kiri jalan dan catnya berwarna kuning,” jawab Elin.
“Iya sih, ya sudah yuk turun,” ajak Rendra.
Mereka turun dari mobil. Belum juga mereka melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam halaman rumah Ria. Mereka mendengar teriakan seorang perempuan memanggil mereka dari arah samping rumah.
“Bu Elin, Pak Rendra ....” Ria yang sedang memegang sapu lidi karena baru saja selesai menyapu halaman rumahnya, dia langsung menyapa Elin dam Rendra yang datang ke rumahnya, dan berlari mendekati Elin dan Rendra.
“Ria?” ucap Elin dan Rendra.
“Pak, Bu? Kok ke sini enggak bilang-bilang? Untung hari ini Ria libur tidak kerja, Bu. Mari bu, pak, silakan masuk.” Ria mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Ibu ... Bapak ... Ada Bu Elin gurunya Ria dan suaminya,” ucap Elin dengan setengah teriak.
“Pak, Bu, silakan duduk. Maaf rumah Ria berantakan sekali,” ucap Ria.
“Tidak apa-apa, Ria. Terima kasih,” ucap Elin.
“Saya tinggal ke dalam ya, Pak, Bu, mau memanggil Ibu dan bapak,” ucap Ria.
Elin dan Rendra duduk berdampingan. Pandangan mereka mengitari setiap sudut rumah Ria.
“Rumahnya tua sekali, pagarnya juga sudah bolong- bolong gini,” gumam Rendra.
“Kasihan Ria, sepertinya dia menjadi tulang punggung keluarganya. Apa ini yang membuat dia ingin menjadi madu? Karena tawaran bunda sangat menggiurkan, jadi dia bisa untuk membenahi rumahnya, saat kontrak di laksanakan?” gumam Elin.
Ria menemui ibu dan bapaknya di dalam. Bu Muslikha sedang sibuk membuat teh, untuk ngeteh di sore hari. Dan, Pak Supardi sedang sibuk menyiapkan cemilan untuk menemani minum teh.
“Pak, Bu, ada Bu Elin guru Ria yang mau membiayai kuliah Ria, beliau bersama dengan Pak Rendra, suaminya,” ucap Ria.
“Gurumu yang baik hati datang? Duh, ibu jadi tidak enak, kita belum ke sana, tapi mereka sudah ke sini,” ucap Bu Muslikha.
“Ya sudah yuk Pak, Bu, kita keluar, temui mereka,” ajak Ria.
“Iya, kamu keluar dulu, ibu akan buatkan teh untuk mereka sekalian,” ucap Bu Muslikha.
“Iya, Bu. Pak temani Ria, yuk?” ajak Ria pada bapaknya.
Ria keluar bersama bapaknya. Mereka duduk di depan Elin dan Rendra.
“Pak, Bu, ini bapak saya,” ucap Ria.
“Ini gurunya Ria yang baik hati itu? Ibu, terima kasih karena sudah memberi kesempatan Elin untuk kuliah, saya Pak Supardi, bapaknya Ria,” ucap Pak Supardi.
“Iya, Pak. Sama-sama, sayang sekali kalau Ria tidak kuliah, dia siswa yang sangat pandai, Pak, saya Elin, dan ini Mas Rendra suami saya,” jawab Elin dengan memperkenalkan dirinya dan suami.
“Salam kenal, Pak. Saya Rendra suami Elin,” ucap Rendra.
Tak lama kemudian Bu Muslikha keluar dari dalam dengan membawa nampan berisi beberapa Cangkir teh.
“Maaf, Pak, Bu, adanya Cuma teh, silakan diminum,” Bu Muslikha mempersilakan Elin dan Rendra untuk meminum tehnya.
“Iya, Bu, terima kasih,” ucap Rendra dan Elin.
Bu Muslikha langsung duduk di sebelah Ria.
“Pak, Bu, ini ibu saya.” Ria memperkenalkan ibunya pada Rendra dan Elin.
“Saya Muslikha, Bu, Pak, ibunya Ria.
“Salam kenal, Bu. Saya Elin, dan ini suami saya, Mas Rendra,” jawab Elin dengn memperkenalkan dirinya dan Rendra pada ibunya Ria.
“Salam kenal, Bu, saya Rendra suami Elin,” ucap Rendra.
“Bu, terima kasih, karena sudah mau membiayai kuliah Ria. Saya sangat berterima kasih sekali, bapak dan ibu mau menguliahkan Ria,” ucap Bu Muslikha.
“Iya, Bu. Sama-sama. Tapi, kedatangan kami ke sini bukan mau membahas soal kuliah Ria, melainkan kami akan membahas ini dengan Ria. Apa ibu dan bapak tahu soal ini?” Elin yang sudah tidak sabar langsung to the point di depan mereka dengan menunjukkan map yang berisi daftar riwayat hidup Ria untuk mendaftar calon madu.
“Maksud ibu?” tanya Ria.
“Ria, tolong jelaskan pada kami, dan baca ini,” ucap Elin.
“Ria, apa kamu bekerja di butik Shafarah? Pemiliknya namanya Bu Dina?” tanya Rendra.
“Iya benar, Pak, memang kenapa? Lalu ini apa?” tanya Ria dengan bingung.
“Baca saja, Ria, dan jelaskan kenapa kamu seperti itu?” ucap Elin.
Ria mengambil map di atas meja. Ria membukanya dan pandangan matanya menajam melihat apa yang ada di dalam map tersebut.
“Bu, ini?” ucap Ria.
“Jelaskan kenapa kamu mendaftarkan dirimu, Ria?” ucap Elin.
“Jadi ibu? Dan, bapak?”
“Iya saya menantu Bu Dina, dan suami saya adalah putranya.” Elin menukas ucapan Ria.
“Ria, kenapa kamu ikut mencalonkan dirimu? Masa depan kamu masih panjang, Ria. Kamu baru mau lulus SMA, dan mau kuliah,” ucap Rendra.
“Ria, tolong jelaskan, dan kamu harus mempertanggung jawabkan semua ini,” ucap Elin.
“Maksud ibu?” tanya Ria.
“Aku ke sini, karena aku yang memilih kamu, untuk menjadi maduku,” jawab Elin dengan terang-terangan.
“Bu, maaf, Ria tidak tahu kalau yang mencari madu adalah ibu,” ucap Ria.
“Ria, ini ada apa sebenarnya, madu? Maksudnya madu bagaimana?” tanya Pak Supardi.
“Iya, kamu mencalonkan menjadi madu? Ini maksudnya bagaimana?” tanya Bu Muslikha.
“Bu, Pak, maaf, Ria melakukan ini karena untuk bapak dan ibu, sebentar Ria ambil sesuatu,” ucap Ria.
Ria masuk ke dalam kamarnya, dia mengambil kertas perjanjian dan syarat untuk menjadi istri kedua yang diberikan Bu Dina kemarin. Tapi, itu dalam bentuk Copian.
“Ya Allah, ternyata Bu Elin menantu Bu Dina, dan Pak Rendra putranya. Kenapa bisa seperti ini?” gumam Ria dengan bersandar di pintu kamarnya.