Muridku Maduku - Bab Sembilan

2111 Kata
Minggu pagi, sebelum Elin dan Rendra akan pergi untuk menikmati hari minggu berdua, Elin meminta suaminya menemani dirinya untuk menemui muridnya di perpustakaan sekolahannya. Rendra sudah mengetahui apa tujuan istrinya menemui muridnya, karena Elin berdiskusi dengan Rendra dulu perihal ingin membiayai kuliah muridnya itu, dan Rendra sangat menyetujui niat baik istrinya. “Muridmu siapa namanya?” tanya Rendra dengan memeluk istrinya dari belakang yang sedang bercermin di depan meja rias. “Ria, Mas. Riani Aulia Putri, nama lengkapnya. Tujuan aku ingin membiayai dia kuliah, karena dia siswa yang paling pandai di sekolahan, dan ekonomi keluarganya juga sedikit minus. Dia juga katanya kerja di Butik yang dekat dengan rumahnya setelah pulang sekolah, makanya dia sering izin tidak ikut jam pelajaran tambahan setelah pulang sekolah,” jelas Elin. “Kasihan sebenarnya, harusnya gadis seusia murid kamu itu kan masih bebas-bebasnya bergaul, ke sana ke mari menikmati masa remaja. Masa SMA katanya masa paling menyenangkan, kan?” ujar Rendra. “Nah itu, makanya aku pengin dia tidak kerja lagi. Aku sudah bicara dengan dia supaya dia pulang sekolah tidak bekerja, karena dia pun harus mempersiapkan untuk ujian minggu depan, tapi dia bersikeras mau kerja. Dia bilang dia sudah nyaman dengan tempat kerjanya, karena bosnya baik, dan dia juga diperbolehkan bosnya belajar sambil bekerja kalau butiknya sedang tidak ada pengunjung,” jelas Elin. “Rajin juga sepertinya anaknya, kalau tidak rajin bosnya juga tidak mungkin baik dengan dia,” ucap Rendra. “Ya, dia memang siswa yang rajin, pandai, bahkan menurutku otaknya sangat cerdas, sayang kalau ada anak seperti dia sampai putus sekolah, dan tidak kuliah, Mas,” ucap Elin. “Aku jadi penasaran seperti apa muridmu itu,” ujar Rendra. “Kan mas pernah ketemu, waktu dulu jemput aku, lalu ada siswa yang memberikan aku buku di parkiran mobil. Mas ingat itu?” ucap Elin. “Lupa aku, itu sudah lama sekali, lagian aku juga tidak terlalu memperhatikannya,” jawab Rendra. “Ya, nanti mas ikut saja waktu aku menemui Ria, biar mas tahu, lagian nantinya kan aku sama mas yang bertanggung jawab dengan biaya kuliahnya,” ujar Elin. “Iya juga sih, kamu sudah siap?” tanya Rendra. “Sudah, yuk berangkat,” ajak Elin. Mereka berangkat menemui Ria di sekolahan Elin. Elin sudah tidak sabar untuk menyampaikan hal ini pada Ria. Dia juga ingin menyuruh Ria tidak bekerja lagi setelah pulang sekolah. Mobil Rendra sudah sampai di depan sekolahan. Rendra langsung membelokan mobilnya masuk ke dalam halaman sekolahan. Elin melihat Ria yang baru saja sampai di depan pintu gerbang sekolahannya. “Itu Ria, Mas.” Elin menunjukkan Ria yang sedang berjalan mendekatinya. “Oh, itu?” jawab Rendra. Ria langsung melihat Elin dan menghampirinya. “Pagi, Bu. Ibu sudah lama?” tanya Ria dengan mencium tangan Elin. “Baru saja datang. Oh iya, Ria, ini Pak Rendra, suami ibu.” Elin mengenalkan suaminya pada Ria. “Pagi, Pak, saya Ria muridnya Bu Elin,” sapa Ria dengan menjabat tangan Renda. “Pagi ...,” jawab Rendra dengan tersenyum ramah pada Ria. “Kamu mau bicara dengan Ria di mana?” tanya Rendra. “Kita mau bicara di perpustakaan. Mas ikut, kan?” jawab Elin. “Mas ke sana dulu, ya? Mas mau menemui Pak Naim, itu ada di sana, nanti mas nyusul kamu di perpustakaan,” ucap Rendra. “Oke, aku ke perpustakaan dulu, Mas,” pamit Elin. “Iya, hati-hati. Love you.” Rendra mencium Elin di depan Ria. Dia memang tidak memandang tempat, kalau mengantar Elin ke sekolah pun selelu seperti itu, mencium Elin di depan mobilnya, dan memerhatikan Elin sampai Elin masuk ke dalam kantor. “Mas, ini mau ke perpustakaan saja, lagian mas kan masih di sini,” ujar Elin. “Tidak masalah, karena kamu ke sana tanpa aku,” jawab Rendra. “Ya sudah aku ke sana, ya?” pamit Elin. “Lin, kok tidak jawab?” tanya Rendra. “Love you too, Mas,” jawab Elin dengan tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Gitu dong, Sayang,” ucap Rendra. “Ya sudah, aku ke perpustakaan ya, Mas,” pamit Elin. “Iya, Sayang,” jawab Rendra. “Ayo Ria, kita ke perpustakaan,” ajak Elin pada Ria. “Bu memang perpus dibuka?” tanya Ria. “Tadi saya sudah suruh Pak Dirman membukakan perpustakaan,” jawab Elin.  Elin dan Ria masuk ke dalam perpustakaan. Mereka duduk di bangku yang berada di pojok ruangan. Elin langsung menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan pada Ria. “Bagaimana, kamu mau kan, Ria?” tanya Elin. “Bu, saya tidak mau merepotkan orang. Saya lebih baik kerja, untuk biaya kuliah saya sendiri,” tolak Ria. “Ria, kalau kamu sambil kerja, kamu tidak fokus dengan kuliah kamu. Lagipula, kamu juga akan berhenti satu tahun dulu untuk bekerja, baru tahun depan kuliah. Itu malah akan menunda, Ria. Ibu mohon, kamu mau ya terima maksud baik ibu ini?” ujar Elin. “Bu, Ria tidak mau merepotkan ibu, ibu sudah terlalu baik dengan saya. Uang iuran perpisahan, iursn album kenangan, iursn kenang-kenangan lainnya, dan ijazah saja ibu yang membiayai, masa aku harus kuliah dengan di biayai ibu?” ujar Ria. “Ibu tidak mau tahu, kamu mau kuliah di Universitas ini, kan? Ini ada formulir pendaftaran untuk jalur prestasi akademik. Kamu pasti bisa lewat jalur ini, Ria.” Elin memberikan formulir pendaftarannya. “Bu, Ria tidak bisa,” tolak Ria. “Ria, ibu mohon, ibu ingin kamu tidak putus sekolah. Ibu mau kamu bisa mewujudkan cita-citamu kuliah di Universitas impian kamu,” ujar Elin. “Iya, Ria. Benar kata istriku, kamu harus mau, kamu harus mewujudkan cita-citamu. Kami akan membiayainya, sampai kamu selesai kuliah. Itu sudah niatan kami berdua, dan kami sudah mendiskusikan ini,” ujar Rendra yang tiba-tiba masuk ke dalam perpustakaan. “Tapi, Pak,” ucap Ria. “Tidak ada tapi-tapian, kamu berhak atas ini. Isi formulir ini, siapkan syarat-syaratnya, biar secepatnya kami bisa proses ini,” ujar Rendra. “Ria tidak enak sekali kalau gini, nanti kalau murid yang lain tahu, pasti Ria tambah jadi bahan omongan, Bu,” ucap Ria dengan menundukkan kepalanya di depan Elin dan Rendra. “Sudah, mau ya, Ria? Itu kenapa ibu menyampaikan ini sama kamu di sini, biar semua tidak tahu, hanya kita bertiga yang tahu,” ujar Elin. “Sudah, Ria. Kamu isi ini, besok pagi kamu kasihkan pada Bu Elin,” ujar Rendra. “Baik, Pak. Nanti saya juga akan diskusikan ini pada bapak dan ibu saya,” jawab Ria. “Ya sudah, berarti ini artinya kamu mau, ya? Ibu mau ada urusan dulu, nanti selanjutnya bahas lain waktu,” ujar Elin. “Iya, Bu, terima kasih banyak. Ria juga mau berangkat kerja, terima kasih Pak, Bu,” ucap Ria dengan pamit pada Rendra dan Elin. Ria mencium tangan Elin dan Rendra, sebagai rasa hormat dan rasa berterima kasih padanya. Rendra dan Elin menatap Ria yang keluar dari perpustakaan meninggalkan mereka. Rendra merangkul istrinya dan mengecup keningnya. Dia bangga memiliki istri yang sangat baik sekali hatinya. Sangat peduli dengan orang-orang yang kekurangan. “Kamu wanita yang hebat, Lin. Wanita yang berhati seperti malaikat. Aku bangga memiliki kamu yang punya sifat dermawan sangat tinggi,” puji Rendra. “Mas enggak usah berlebihan, seperti tidak tahu saja aku seperti apa,” ucap Elin. “Ya sudah yuk, kita refreshing. Otakku sudah mau pecah, dari kemarin masalah kantor ada-ada saja, sudah gitu masalah bunda. Aku mau kita lupakan masalah bunda ini, anggap saja masalah itu tidak ada, nanti kalau bunda membahas lagi, kita baru mikir,” tutur Rendra. “Iya, Mas. Tapi, kamu sudah janji akan memenuhi permintaan bunda, kan?” tanya Elin. “Iya, itu semua karena kamu yang memaksaku,” jawab Rendra. “Aku tidak memaksa, Mas. Karena ini yang terbaik untuk kita ke depannya,” ucap Elin. “Sudah, aku tidak mau bahas ini, Lin. Ayo kita berangkat refreshing,” ajak Rendra. Sebelum berangkat, Elin menyuruh penjaga sekolahnya mengunci perpustakaan lagi karena sudah selesai urusannya dengan Ria. Renda langsung melajukan mobilnya ke sebuat destinasi pariwisata yang bernuansa pegunungan. Dia ingin menghilangkan penat dan beban pikirannya. Mungkin dengan melihat pemandangan yang hiaju-hijau pikirannya menjadi fresh lagi. ^^^ Malam harinya di rumah Ria. Ria berniat untuk mendiskusikan apa yang gurunya mau. Rumah tua yang sederhana, ya itu rumah Ria. Dia tinggal dengan bapak dan ibunya, juga satu adik perempuan yang masih sangat kecil, mungkin kisaran enam tahun usianya. Ria sebenarnya sudah pernah membahas ingin kuliah, tapi bapaknya tidak memperbolehkan dirinya kuliah, dengan alasan tidak ada biaya dan memiliki utang yang sangat banyak. Ya, utang orang tua Ria sangat menumpuk, apalagi orang tuanya selalu terjerat utang dengan rentenir. “Pak, Ria mau bicara sama bapak, sama ibu juga, apa bapak sama ibu ada waktu?” tanya Ria seusai melaksanakan sholat Isya berjamaah dengan bapak dan ibunya. “Mau bicara apa, Nduk?” tanya Pak Supardi, bapaknya Ria. “Pak, Bu, tadi pagi Ria di suruh menghadap wali kelas Ria, dan membicarakan soal ini.” Ria memberikan formulir pendaftaran kuliahnya pada bapaknya. “Apa ini, Nduk? Kamu mau daftar kuliah? Bapak kan bilang, bapak tidak bisa jika kamu tahun ini kuliah, kamu kerja dulu, cari tambahan buat kuliah, satu atau dua tahun. Pendidikan kan tidak harus langsung, Nduk. Bapak masih punya banyak utang tahun ini, Nduk. Kamu saja sampai ikut kerja buat bayar iuran perpisahan, iuran buku kenangan, iuran kenang-kenangan lain, dan untuk ambil ijazah. Tahan dulu ya, keinginan kamu untuk kuliah?” tutur Pak Supardi. “Iya, Nduk, nanti satu atau dua tahun lagi, kami janji akan menguliahkan kamu,” imbuh Bu Muslikha, ibu dari Ria. “Ini bukan kita yang membiayai, Bu, Pak. Ini guru Ria yang akan membiayai kuliah Ria. Wali kelas Ria tadi menemui Ria dengan suaminya, dan meminta agar Ria kuliah, beliau yang akan membiayai semua biaya kuliah Ria sampai lulus, Pak, Bu,” jelas Ria. “Nduk, jangan merepotkan orang lain, sabar, bapak dan ibu sedang berusaha melunasi utang-utang bapak dan ibu, nanti bapak janji, bapak akan menguliahkan kamu kalau sudah selesai utang bapak sama Pak Abu,” tutur Pak Supardi. Ria menundukkan kepalanya, sudah Ria duga, pasti bapak dan ibunya menolak ini semua. Padahal Ria sudah senang, karena mendapat kesempatan untuk kuliah. “Memang utang bapak sama Pak Abu berapa?” tanya Ria. “Lima puluh juta, Nduk. Dan, masih sepuluh juta bapak ngembaliin,” jawab Pak Supardi. “Belum utang yang di Pak Yaksa, kami juga punya utang di sana, Nduk. Kamu tahu kan kenapa sampai kepentok utang banyak? Kemarin ibu harus operasi, dan perlu biaya banyak, belum untuk mengganti atap rumah yang pada bocor. Kamu mengerti ya, Nduk?” imbuh Bu Muslikha. “Iya, Ria tahu, Bu, Pak. Jadi, bapak tidak setuju dengan tawaran Bu Elin?” tanya Ria. “Bagaimana, ya? Bapak tidak ingin membebani orang lain, Nduk,” jawab Pak Supardi. “Pak, kalau aku kuliah di biayai Bu Elin, aku juga masih bisa kerja di butik untuk membantu melunasi utang bapak sama ibu,” ujar Ria. “Ya sudah, sekarang keputusan ada di tangan kamu, kamu mau bagaimana. Bapak tidak enak sebenarnya dengan guru kamu itu,” ucap Pak Supardi. “Tadinya Ria menolak, tapi mereka memaksa, Pak. Dan, Ria jadi terima niat baik mereka ini,” jelas Ria. “Ya sudah, sampaikan terima kasih bapak pada gurumu itu. Terima kasih sudah memberikan beasiswa untuk kuliah kamu. Maafkan bapak, Nduk, bapak tidak bisa mewujudkan cita-citamu,” ucap Pak Supardi dengan memeluk putrinya. “Pak, doakan Ria, semoga Ria di terima di universitas impian Ria ini. Ria janji akan kuliah yang benar, dan membantu melunasi utang-utang bapak,” ucap Ria. “Bapak dan ibu tidak pernah putus mendoakan anak-anak bapak. Semoga kamu bisa membuktikan pada guru kamu, kalau kamu yang terbaik, dan tidak mempermalukan gurumu yang membiayai kamu sekolah,” ucap Pak Supardi. “Kapan-kapan, boleh ibu beretemu dengan gurumu itu?” tanya Bu Muslikha. “Nanti Ria bilang sama mereka, Bu,” jawab Ria. Ria bersyukur, di tengah-tengah ekonomi keluarganya yang tidak baik-baik saja, kedua orang tuanya masih sangat menyayanginya. Semua orang tua pasti ingin menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang yang lebih tinggi, sama seperti Pak Supardi dan Bu Muslikha. Beliau sebenarnya ingin menyekolahkan Ria sampai ke perguruan tinggi, apalagi Ria anak yang pandai, tapi ekonomi adalah penghalang besarnya. Sebenarnya sebelum kejadian kecelakaan yang menimpa ibu dan bapaknya Ria, Pak Supardi dan Bu Muslikha sudah menyiapak sedikit demi sedikit biaya untuk kuliah Ria. Namun, karena sebuah kecelakaan, Bu Muslikha harus di operasi, dan Pak Supardi juga butuh pengobatan pasca kecelakaan, jadi uang tabungan mereka terkuras habis. Bahkan tidak cukup, dan harus berutang pada tetangganya. Ditambah saat itu rumah Ria atapanya pada bocor, dan pagarnya juga harus segera diganti karena sudah mulai keropos. Jadi, mereka butuh biaya tambahan lagi untuk mengganti genting dan pagar rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN