Malam hari seusai makan malam, Elin terlihat tidak seperti biasanya. Malam ini, Elin terlihat menjadi sosok pendiam, dan seperti sedang memikirkan sesuatu.
Rendra melihat ada yang berbeda dengan istrinya setelah pergi dengan ibunya tadi pagi. Rendra sudah bisa menebaknya, pasti ibunya sudah bicara dengan Elin perihal keinginannya.
“Bunda benar-benar keterlaluan, sudah menambah beban pikiran Elin lagi,” gumam Rendra dengan melihat Elin yang sedang duduk di sofa dengan memandangi tabloid fashion yang ia pegang, tapi belum sempat di bukanya.
Rendra mendekati istrinya, dia duduk di sampingnya. Rendra mencium kening istrinya dengan mesra. Seperti itu setiap hari, Rendra tidak bisa lepas berlaku mesra dan romantis pada istrinya.
“Kamu sedang memikirkan sesuatu?” tanya Rendra.
“Tidak, aku sedang memikirkan kamu saja,” jawab Elin dengan tersenyum di hadapan suaminya.
“Aku di sini, kenapa dipikirin?” tanya Rendra.
“Karena aku sayang kamu, jadi aku tidak pernah berhenti memikirkan kamu, Mas,” jawab Elin dengan memeluk suaminya.
“Tumben istriku yang cantik ini pintar gombal,” ucap Rendra.
“Kan yang ngajarin kamu, Mas ...,” ucap Elin dan semakin mengeratkan pelukannya.
“Ini kenapa meluknya kenceng banget?” Rendra merasa sesak dadanya karena Elin memeluknya terlalu erat.
“Karena aku tidak mau kehilangan, Mas. Aku tidak mau jauh-jauh dari mas,” ucap Elin dengan manja.
“Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Sayang. Kecuali memang Allah yang memanggil aku lebih dulu untuk menghadap-Nya,” ucap Rendra.
“Kenapa bicara seperti itu? Apa ada hubungannya dengan pertemuan kamu dengan bunda tadi pagi? Apa bunda bicara sesuatu dengan kamu yang membuat kamu seperti ini?” tanya Rendra penasaran pada istrinya. Elin hanya menganggukkan kepalanya saja, saat suaminya bertanya seperti itu.
“Bunda bicara apa? Apa bunda menyuruh kamu membujuk aku agar aku menikah lagi? Itu tidak akan pernah terjadi, Sayang,” ujar Rendra.
“Tapi, Mas. Ada benarnya juga bunda menyuruh kamu menikah lagi. Mas, aku tidak bisa memberikan kamu keturunan. Kamu harus punya keturunan untuk penerus keluarga kamu, Mas,” ujar Elin.
“Kamu hanya belum bisa memberikan aku keturunan sekarang, bukan tidak bisa memberi keturunan, Elin. Aku tidak mau membahas ini. Tolong, stop membahas ini, jangan pernah membujuk atau menyuruhku untuk menikah lagi!” tegas Rendra.
“Bunda sudah mencarikan calon untuk kamu, Mas. Aku mohon jangan kecewakan bunda dan ayah. Mereka sangat berharap keturunan dari kamu, Mas. Aku mohon ... Aku mohon kamu mau melakukan ini demi aku, Mas,” pinta Elin.
“Aku tidak bisa, Sayang ... Mana mungkin aku bisa berbagi, tidak, aku tidak akan pernah mau! Aku tidak bisa menikah lagi, karena hanya kamu satu-satunya istriku, tidak ada yang lain!” tegas Rendra lagi.
“Mas, aku mohon, ini demi aku. Mas, kamu hanya menikahinya saja, aku membuat perjanjian untuk pernikahan kamu dengan maduku nanti. Karena yang aku mau, kamu memiliki keturunan, darah daging kamu mas, bukan hasil adopsi. Aku mohon, Mas, mas mau melakukan ini demi aku, demi baktiku sebagai menantu,” pinta Elin.
“Jangan konyol, Lin!” Rendra meninggalkan istrinya ke dalam kamar.
Rendra tidak menyangka, istrinya akan terpengaruh dengan bujukan bundanya. Rendra tidak pernah mempermasalahkan soal anak. Dia pasrahkan semuanya pada Tuhan, biar Tuhan yang berkehendak mau seperti apa. Rendra melakukan program hamil berbagai macam program itu juga keinginan bundanya, dia dengan Elin sebenarnya sangat menikmati keadaan, bukan pasrah, tapi karena memang dia percaya kalau Tuhan belum memberikan amanah untuk dirinya dan istri perihal rezeki anak.
Sekarang, Rendra harus menuruti orang tuanya lagi agar bisa memiliki keturunan dengan cara dirinya menikah lagi. Rendra tidak habis pikir bundanya memiliki ide yang menurutnya sangat konyol sekali. Bagaimana bisa Rendra menikahi wanita lain, sedang Elin adalah satu-satunya wanita yang sangat ia cintai, tidak ada yang lain.
“Bunda tega sekali melakukan ini pada Elin. Aku tidak habis pikir, Elin pun tega denganku, menuruti kemauan bunda, hanya ingin berbakti pada bunda. Aku tidak bisa, aku tidak mau menyakitimu, Lin. Aku sangat mencintaimu,” ucap Rendra dengan mengusap kasar wajahnya.
Elin tidak tahu harus bagaimana lagi. Di sisi lain dia tidak pernah ingin membagi suaminya, dan di sisi lainnya, mertuanya sangat ingin kalau Rendra memiliki keturunan. Elin kali ini sangat dilema. Meski berkata ikhlas untuk berbagi suami dengan wanita lain, tapi dalam hati kecilnya menolak, dan sangat menolak keputusan ibu mertuanya itu.
“Apa bunda sudah tidak bisa merasakan sakitnya jika seorang wanita dimadu? Dengan mudahnya bunda menyuruh aku membujuk suamiku untuk menikah lagi,” gumam Elin dengan tatapan yang kosong.
Elin menyeka air matanya, dia tidak tahu harus bagaimana selain membujuk dan terus membujuk suaminya agar mau menuruti apa yang bundanya inginkan. Elin juga tidak bisa membayangkan, jika nanti di dalam rumahnya akan ada seorang madu yang akan berbagi suami dengan dirinya.
“Apa ini sudah suratan takdirku? Saat gadis, aku memimpikan seorang pangeran untuk menjadikanku ratu satu-satunya di kerajaan hatinya. Aku menemukan sosok Mas Rendra, yang memang sesuai dengan kriteriaku, dan laki-laki yang aku idamkan. Sekarang, apa aku akan menerima selir di kerajaanku sendiri? Selir yang nantinya akan berbagi kasih sayang dengan suamiku, dan seorang raja tidak mungkin teguh pada satu wanita, suatu saat, meski aku keluarkan ultimatum agar maduku tidak jatuh cinta pada suamiku, tapi dia perempuan, tidak mungkin seorang perempuan tidak jatuh cinta dengan Mas Rendra. Seorang raja yang berkharisma, dengan tutur kata yang lembut, dan menghangatkan hati.
Dan, tidak mungkin juga mereka bersetubuh tidak dengan rasa. Aku takut, aku sungguh takut, aku yang tidak sempurna ini, malah akan di acuhkan suamiku nantinya.” Elin terus berperang batin. Dia semakin takut jika suatu saat itu semua terjadi.
Tak terasa air mata Elin mengalir deras dari sudut matanya. Elin menangis, dia tidak tahu harus bagaimana. Di depan suami dan ibu mertuanya dia tegar dan memperlihatkan dirinya kalau dirinya baik-baik saja. Namun, pada kenyataannya, dia tidak setegar itu. Dia tidak bisa membendung rasa sakitnya yang teramat sakit.
Sebagai seorang wanita, Elin sudah merasa dirinya gagal menjadi istri yang terbaik untuk suaminya, dan gagal menjadi menantu idaman mertuanya. Batinnya terus berperang, dia tidak tahu harus bagaimana lagi membujuk suaminya. Membujuk, iya membujuk suaminya agar mau memenuhi keinginan bundanya. Padahal saat membujuk suaminya hati Elin hancur, runtuh berkeping-keping, dan tak berbentuk lagi.
Rendra duduk di depan meja kerja istrinya yang berada di pojok kamarnya. Rendra melihat buku berwarna biru muda, seperti buku agenda. Buku yang sudah sedikit usang itu menyita perhatian Rendra, dan mendorong Rendra untuk membukanya.
Malang, 20 Desember .....
Aku punya satu cinta saja. Iya, satu saja. Kamu tahu itu untuk siapa? Itu untukmu, hanya untukmu saja.
Sebelum ada kamu, cinta itu masih serupa abu-abu. Aku masih bisa percaya, bahwa “Cinta bisa jadi bukan hanya satu saja.”
Saat ditinggalkan seseorang, aku pasti dengan sangat mudah untuk memutuskan mencari lagi, dan kemudian menemukan yang lain. Atau bisa jadi, aku ditemukan dengan yang sedang mencariku.
Namun, setelah ada kamu, dunia ini menjadi tempat yang paling sempit. Dan, mencintai selain kamu sepertinya itu sangat tidak mungkin.
Definisi cinta bagiku menjadi begitu jelas. Cinta jadi Cuma satu. Cinta itu, Kamu. _Rendra Reffy Prayoga_.
Malang, 27 Desember ....
Mas Rendra, kau berbeda dan istimewa, karena kucinta.
Suatu hari, akan ada yang selamanya bersedia menjadi pendampingmu. Selamanya ada di sisimu. Itu adalah aku, Mas.
Aku sudah menyiapkan dua telingaku, agar kamu bisa menceritakan segala hal. Dan, hanya aku yang mampu mendengar. Supaya tidak akan kehilangan kabar.
Aku telah siapkan jemariku, Mas. Untuk kamu genggam, karena kamu pasti butuh berpegang pada yang setia sampai akhir hayat.
Aku juga sudah menyiapkan tubuh ini untuk kamu peluk. Agar tak ada yang lain, yang mungkin datang dengan godaan berlekuk indah.
Aku sudah siapkan bibirku ini untuk mengecup segala lirihmu. Agar timbul rasa bahagia, bukan gelisah yang datang.
Aku siapkan d**a ini untuk menerima pasrahmu. Melupakan segala Ego, tanpa ada ragu, apalagi malu.
Telah aku siapkan semuanya, Mas. Ya, semuanya ... Kecuali satu. Aku tidak menyiapkan atas pergimu. Aku tidak tahu, aku tidak akan pernah siap untuk itu. Apalagi bukan Tuhan yang membuat kamu pergi dari hidupku. Melainkan sesosok wanita yang baru kamu kenal, yang membuatmu pergi dariku. Aku tidak siap untuk itu, Mas Rendra.
Karena, aku hanya ingin menjadi wanitamu yang membuatmu berhenti mencari, di saat kamu sudah yakin, akulah wanita yang kamu butuh kan, dan aku adalah wanita yang telah ditakdirkan-Nya untukmu.
Aku pun ingin menjadi wanita yang layaknya seperti sebuah rumah untukmu. Di dalamnya banyak terdapat kedamaian dan kehangatan untuk tempat kamu berpulang. Izinkan aku menjadi satu-satunya, di dalam hidupmu kelak.
Rendra menutup buku milik istrinya. Dia menyeka air matanya yang mulai jatuh membasahi pipinya. Rendra tidak menyangka hati Elin akan tegar menghadapi apa yang diminta bundanya. Padahal, Rendra tahu, kalau Elin tidak siap untuk itu, tidak siap jika suatu hari nanti dirinya menikah lagi atas dasar kemauan bundanya yang ingin sekali menimang cucu.
“Lin, di mana hatimu saat kamu bicara padaku dan menyuruh aku menikah lagi? Aku tahu, hatimu tidak sekuat itu, Sayang. Aku tahu kamu wanita yang seperti apa. Tolong hentikan semua ini, Sayang. Bukan berarti kamu harus menuruti apa permintaan bunda, supaya kamu berbakti dengan bunda, aku mohon, aku tidak bisa melakukan itu,” ucap Rendra lirih.
Rendra mendengar pintu kamarnya terbuka. Elin masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat suaminya yang sedang duduk di depan meja kerjanya. Elin berjalan mendekati suaminya yang menatapnya dengan tatapan sendu.
Elin memeluk suaminya dan menangis di pelukan suaminya. Dia sebenarnya lelah menghadapi semuanya, tapi memang ini adalah kenyataan pahit dalam hidupnya.
“Aku mohon, Mas mau menuruti apa yang bunda inginkan. Aku mohon, Mas. Aku ikhlas. Kita masih bisa sama-sama kalau kamu menikah lagi. Kita masih bisa bersama, jalan bersama, dan kita pasti baik-baik saja. Please ... Jangan kecewakan bunda lagi,” pinta Elin.
“Kamu bilang seperti ini, aku tidak yakin hatimu kuat, Lin. Aku tidak bisa,” jawab Rendra.
“Mas aku mohon, aku mohon kamu mau menuruti bunda, ini demi aku mas, demi kita. Demi penerus keluarga, Mas,” ucap Elin.
“Beri aku waktu untuk memikirkan ini. Dan, kita harus bicarakan ini dengan cara kekeluargaan. Kita bicarakan semua ini dengan orang tuaku, dan orang tuamu juga. Ini hal yang tidak main-main, Lin. Aku memang ingin memiliki anak, tapi aku tidak ingin dengan cara seperti ini. Namun, jika Tuhan menghendaki cara seperti ini, aku bisa apa? Itu juga ketetapan Tuhan,” jelas Rendra.
“Kita akan bicarakan semua ini dengan keluarga besar kita mas. Aku mohon, mas kabulkan permintaanku ini,” ucap Elin.
“Beri aku waktu untuk memikirkan semua ini,” jawab Rendra.
“Tidur, yuk. Sudah malam, jangan menangis. Kita hadapi semua ini bersama. Aku pun tak bisa tanpa kamu, Lin. Kita hadapi semua ini, mau bagaimana nantinya, aku pun sebenarnya tidak tega menolak permintaan bunda, tapi aku lebih tidak tega dengan kamu, jika aku membagi diriku dengan wanita lain,” ucap Rendra.
“Kita hadapi ini bersama, Mas. Aku mencintaimu, semuanya pasti akan baik-baik saja,” ucap Elin.
Rendra menggendong Elin ke tempat tidurnya. Dia merebahkan Elin di tempat tidurnya. Rendra membingkai wajah Elin yang sendu. Menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Rendra mengecup kening dan bibir Elin. Rasanya tidak mungkin jika suatu hari nanti dia tidur dengan wanita lain di ranjang yang berbeda.
“Apa aku sanggup, Lin? Jika nanti aku harus tidur dengan wanita selain kamu? Di ranjang dan kamar yang berbeda?” tanya Rendra.
“Jika Allah sudah menakdirkan itu, aku yakin kamu bisa, Mas. Sudah peluk aku, aku ingin tidur di pelukanmu. Jangan memikirkan yang belum terjadi, Mas. Karena itu akan terkesan sulit,” ucap Elin.
“Maafkan aku, jika suatu hari keinginan bunda aku turuti, Lin,” ucap Rendra.
“Jangan meminta maaf, karena itu semua yang terbaik untuk kita,” jawab Elin.
Rendra semakin tidak bisa membendung air matanya lagi. Melihat Elin yang sok tabah dan tegar membuat Rendra menangis dengan memeluk istrinya.
“Maafkan aku, Lin. Bukannya aku membawa kamu dalam kebahagiaan di rumah tangga kita, tapi aku malah membawamu dalam keadaan seperti ini. Maafkan aku,” ucap Rendra.
“Sudah, Mas. Jangan menangis, kita masih bersama, kita hadapi semua ini bersama. Jangan menangis, aku tidak apa-apa, karena memang ini jalan kita, jalan yang berkelok, terjal, dan berbatu yang harus kita lalui,” ucap Elin.
Rendra memeluk erat istrinya. Isak tangisnya masih terdengar di telinga Elin. Elin terus menenangkan suaminya yang menangis. Dadanya sesak, dan Elin sebenarnya ingin menangis, tapi dia berusaha menahan air matanya, dia berusaha kuat dan tegar di depan suaminya.
“Aku sakit, Mas. Sakit sekali melalui ini, tapi jika memang ini jalan yang harus kulalui, aku hanya bisa pasrah dan berdoa yang terbaik untuk rumah tangga kita ke depan,” gumam Elin.
Elin mengusap lembut kepala Rendra yang berada di dalam dekapannya. Rendra masih belum bisa menghentikan isak tangisnya. Dia sangat tidak bisa melakukan semua itu, itu semua karena sebuah keterpaksaan, bundanya terlalu ingin keturunan darinya.
“Aku tidak bisa, tidak bisa melakukan semua ini, Ya Allah. Aku harus bagaimana? Apa aku harus meninggalkan kota ini bersama Elin agar tidak dibujuk bunda untuk menikah lagi? Rasanya itu tidak mungkin, pekerjaanku ada di sini, siapa yang akan mengurus semuanya jika bukan aku?” gumam Rendra.