Muridku Maduku - Bab Tujuh

1844 Kata
Elin duduk di belakang kemudi bersama ibu mertuanya. Kali ini dia keluar bersama dengan sopir pribadi ibu mertuanya. Elin dari tadi hanya diam saja, dia sama sekali tidak mengajak bicara ibu mertuanya, padahal Elin biasanya tidak diam seperti ini dengan ibu mertuanya. Elin tidak mengerti, kenapa ibu mertuanya sampai hati tega menyuruh putranya menikah lagi. Padahal yang Elin tahu selama ini, ibu mertuanya sangat menyayanginya dan tidak pernah menyakiti dirinya dengan kata-kata kasar atau tindakan kasar. “Lin, kamu baik-baik saja, Nduk?” tanya Bu Dina. “Iya, Bunda, Elin baik-baik saja. Hanya Elin memikirkan anak-anak Elin di sekolahan. Elin kan wali kelas, Bun, Elin tanggung jawabnya sekarang besar. Selama mengajar, Elin baru pernah jadi wali kelas di tahun ini,” jawab Elin. Dia berbohong, padahal Elin sedang memikirkan apa yang tadi ibu mertuanya bicarakan dengan suaminya di ruang tamu. “Kamu biasa saja, muridmu kan pandai-pandai, Lin. Pasti lah mereka lulus semua tahun ini. Sekolahan ayah kan selalu mencetak lulusan terbaik tiap tahunnya,” ujar Bu Dina. “Iya, Bunda, Elin tahu itu,” jawab Elin. Mobil Bu Dina sudah berhenti di depan gerbang sekolahan tempat di mana Elin mengajar. Elin turun sendiri untuk masuk ke dalam sekolahan, sedangkan Bu Dina menunggu Elin absen di dalam mobil bersama sopirnya. Elin berjalan menuju kantor. Sebenarnya dia hari ini ingin memberi bimbingan untuk murid-muridnya sebentar setelah jam pelajaran usai, mumpung setiap hari Jumat tidak ada jam tambahan pelajaran setelah pulang sekolah. Namun, dia hari ini akan ada meeting dengan karyawan di Cafenya. “Ria, tunggu ....” Elin memanggil muridnya yang sedang berjalan dari arah perpustakaan. “Ibu, hari ini bukannya ibu tidak berangkat?” tanya Ria. “Ibu hari ini Cuma absen saja. Kamu dari perpustakaan? Bukannya ini jam pelajaran?” jawab Elin sembari bertanya pada Ria. “Tadi ngembaliin KBBI, bu, di suruh Pak Nazar. Ini mau ke kelas lagi,” jawabnya. “Hari minggu pagi kamu ada waktu?” tanya Elin. “Minggu pagi, Ria tidak sibuk, tapi jam sepuluh Ria berangkat kerja, Bu,” jawab Ria. “Kebetulan, ibu minta waktunya sebentar bisa? Besok minggu jam delapan? Kita bertemu di perpustakaan saja,” pinta Elin. “Baik, Bu, besok minggu jam delapan saya ke sini, tapi jangan lama-lama ya, Bu. Ria harus berangkat kerja jam sepuluh soalnya.” Ria mengiyakan ajakan Elin. “Oke, ibu tunggu kamu. Ya sudah kamu kembali ke kelas, ibu mau ke kantor,” ucap Elin. Elin meninggalkan Ria di depan perpustakaan. Dia sebenarnya ingin sekali membiayai kuliah Ria, jadi dia meminta Ria menemuinya besok hari minggu di perpustakaan. “Semoga hajatku dikabulkan. Aku ingin membiayai kuliah Ria, kata orang sedekah juga bisa di mudahkan hajatnya. Aku ingin punya anak, ini jalan satu-satunya, aku menganggap Ria adikku, dan aku yang akan menanggung biaya kuliahnya. Semoga dia mau, supaya dia tidak susah payah bekerja,” gumam Elin. Elin dan Rendra sempat kacau, hingga akhirnya dia ke rumah orang pintar yang ditunjukkan salah satu rekan kerja Rendra. Tujuannya ke sana, untuk menanyakan kandungan Elin, katanya banyak pasien yang berhasil hamil dengan mendatangi orang tersebut. Elin dan Rendra sebenarnya tidak percaya dengan hal semacam itu, tapi mereka saking inginnya memiliki keturunan, mereka mendatangi orang tersebut. Di sana Elin dan Rendra hanya diberi nasihat untuk selalu melakukan amal Sholih. Mereka harus perbanyak amal dengan yang fakir dan anak yatim. Elin berpikir dengan dia membiayai kuliah Ria, dan menyantuni anak yatim setiap bulan di sebuah panti asuhan, akan bisa memancing kehamilan Elin. Memang Elin dan Rendra orang baik, namun untuk hal seperti itu, Elin dan Rendra kurang berperan. Mereka selalu sibuk soal duniawi, tapi jarang menyisihkan hasilnya untuk sedekah. Kali ini hati Elin dan Rendra terbuka untuk hal itu. Elin kembali keluar dari sekolahan setelah absen. Dia langsung masuk ke dalam mobil ibu mertuanya untuk ikut ke toko kain langganan mertuanya. Elin sebenarnya ingin sekali menanyakan soal mertuanya yang menyuruh Rendra menikah lagi, tapi dia juga tidak mau kalau itu sampai terjadi. Meski dia tidak menginginkan hal itu, namun dia sama sekali tidak bisa menolak permintaan ibu mertuanya, kalau nanti ibu mertuanya benar-benar menyuruh dirinya membujuk Rendra untuk menikah lagi. Sesampainya di toko kain langganan mertuanya, Elin ikut sibuk memilihkan kain yang bagus untuk kebutuhan butik ibu mertuanya. Butik mertuanya memang sangat terkenal, dari gaun hingga pakaian lainnya pun sangat banyak di minati semua kalangan, karena butik milik mertuanya itu tergolong butik yang menyuguhkan baju-baju dan gaun yang harganya relatif terjangkau, tapi kualitas tidak abal-abal. “Bunda, ini sepertinya kainnya bagus, apalagi kalau kain ini dijadikan gaun pengantin, pasti bagus,” ujar Elin. “Iya, ini bagus sekali,” ucap Bu Dina. “Mau yang ini juga, Pak,” pinta Bu Dina pada pelayan toko. Setelah selesai berbelanja kain, Bu Dina menyuruh sopir ekspedisi toko kain untuk mengirimkan kain yang beliau pesan ke butiknya. Sesudah itu, Bu Dina mengajak Elin ke restoran Elin untuk membicarakan apa yang Bu Dina ingin katakan dari kemarin pada Elin. “Bunda, setalah ini mau ke mana?” tanya Elin. “Bunda sebenarnya ingin bicara dengan kamu, Lin. Kita ke restoran kamu, atau cafe kamu?” jawab Bu Dina. “Kalau ke Cafe saja bagaimana, Bunda? Hari ini, Elin sebenarnya mau meeting dengan manajer Cafe, dan staf lainnya. Bunda mau menemani Elin sebentar di Cafe?” tanya Elin. “Boleh, kita bicara selesai kami meeting dengan karyawanmu.” Bu Dina mengiyakan ajakan Elin untuk ke Cafe nya. “Oke, kita berangkat sekarang ya, Bun?” ajak Elin. Mereka berangkat ke Cafe Elin yang tidak jauh dari toko kain yang baru saja mereka kunjungi. Elin sebenarnya ingin sekali mengulur waktu, agar ibu mertuanya tidak membahas soal keinginannya untuk menyuruh dirinya membujuk Rendra agar mau menikah lagi. Dia ingin ikhtiar dengan suaminya, dengan cara sendiri. Tapi, bagaimana bisa dia menolak ibu mertuanya, Elin selalu menjadi menantu yang penurut pada ibu mertuanya. Tak heran kalau mertuanya selalu baik dengan Elin, dan apa pun yang Rendra dan Elin butuh kan mereka selalu memenuhinya. ^^^ Seusai meeting dengan manajer Cafe dan beberapa stafnya, Elin menemui ibu mertuanya yang dari tadi menunggu di meja yang berada di sudut Cafe, yang menghadap ke taman sambil menikmati minuman dan menu spesial di Cafe Elin. “Bunda, maaf lama. Bunda pasti bosan. Bagaimana menu makanan di sini, Bunda? Apa ada yang kurang atau bagaimana?” tanya Elin. “Bunda tidak bosan, bunda senang, menikmati View pemandangan taman dari sini. Kalau makanannya, jelas enak dong, kan pakai Chef yang andal di sini,” jawab Bu Dina. “Kamu sudah ada waktu, kan? Bisa bunda bicara sekarang dengan kamu, Lin?” tanya Bu Dina. “Bisa, Bunda. Bunda mau bicara apa? Bunda mau buka Cafe atau Restoran?” tanya Elin. “Bukan itu, Nduk,” jawab Bu Dina. “Lalu?” tanya Elin. Bu Dina hanya diam, beliau tidak tahu dari mana arahnya membicarakan keinginannya pada menantu kesayangannya itu. Beliau takut menyakiti hatinya, tapi jika tidak segera dibicarakan, itu sama saja menunda waktu lagi. “Elin tahu, bunda mau bicara soal Mas Rendra, kan? Bunda ingin Mas Rendra menikah lagi? Bunda ingin Elin membujuknya?” Elin tiba-tiba berkata seperti itu dengan mata berkaca-kaca di depan ibu mertuanya. “Lin, bukan seperti itu, tapi memang ini yang ingin ibu sampaikan padamu,” ucap Bu Dina. “Elin sadar diri, Bunda. Elin belum bisa memberikan keturunan untuk Mas Rendra, dan sebagai penerus keluarga besar ayah. Elin dan Mas Rendra sedang berusaha, Bunda. Elin mohon, bunda bersabar,” ucap Elin dengan menyeka air matanya. “Tidak ada istri yang mau di madu, Bunda. Dan, tidak ada wanita yang ingin menjadi madu, kecuali memang wanita itu ingin menghancurkan rumah tangga Elin dan Mas Rendra,” jelas Elin. “Lin, hanya menyewa wanita saja untuk bisa hamil anak Rendra,” ucap Bu Dina. “Menyewa? Ibu mau mendapatkan cucu yang haram? Hanya menyewa rahim wanita itu saja tanpa menikahi wanita itu? Kalau cucu ibu perempuan? Bagaimana?” tanya Elin. “Itu kenapa bunda membicarakan ini dengan kamu, Lin. Supaya kita bisa bertukar pikir baiknya gimana,” jawab Bu Dina. “Baiknya bunda bersabar, karena Elin dan Mas Rendra sedang berusaha. Lagian mana ada wanita yang benar-bena baik hati yang mau di sewa rahimnya, dinikahi hanya satu tahun, setelah itu di ceraikan dan sudah anaknya untuk aku dan Mas Rendra. Jarang bunda, wanita yang seperti itu. Mungkin ada di film-film saja,” ujar Elin. “Lin, kamu dan Rendra menikah sudah sepuluh tahun. Bunda bisa mencarikan wanita untuk Rendra, dan kita harus mengeluarkan juga surat perjanjian di atas materai, bila perlu kita sewa pengacara untuk perjanjian soal ini. Ibu yakin banyak wanita yang mau, apalagi kita berani bayar mahal untuk ini, Lin,” jelas Bu Dina. “Apa bunda tidak memikirkan perasaan Elin dan Mas Rendra dengan keinginan bunda ini?” tanya Elin dengan lagi-lagi menyeka air matanya. “Lin, bunda mengerti perasaan kamu, tapi kamu juga harus mengerti, usia pernikahan kamu sudah lama, usia kamu dan Rendra juga semakin bertambah, itu sudah mau jauh dari produktif. Ibu mohon pikirkan ini, Sayang,” ucap Bu Dina. “Elin nurut apa keinginan Bunda. Yang Elin mau, wanita itu tidak boleh mencintai Mas Rendra, dan setelah menikah, Mas Rendra tetap tinggal dengan Elin. Wanita itu, hanya boleh hamil saja, dan memberi keturunan untuk Mas Rendra. Setelah selesai tugasnya, Mas Rendra berhak menceraikan dan anak itu akan ikut Elin dan Mas Rendra,” pinta Elin. “Itu bisa diatur, Lin. Ibu akan buatkan surat perjanjiannya, kalau kamu cocok, ibu akan mencarikan kandidat untuk calon istri kedua Rendra,” jawab Bu Dina. “Mencari? Bunda mau cari di mana? Elin tidak mau Mas Rendra dapat wanita sembarangan, Bunda,” ucap Elin. “Bunda punya beberapa karyawan di Butik bunda yang masih sendiri dan masih muda, tapi memang dia tulang punggung keluarga, bunda mau meminta bantuan mereka, kali saja mereka sudi membantu bunda dan kamu, bunda akan cari beberapa kandidat, dan bunda juga akan menyelidiki keluarganya juga. Nanti siapa yang menurut kamu cocok, itu adalah pilihannya,” jelas Bu Dina. “Bunda, Elin serahkan semua ini pada bunda. Elin hanya minta, jangan pernah pisahkan Elin dan Mas Rendra, Elin mau berbagi suami dengan wanita lain, karena Elin sayang bunda, Elin belum bisa menjadi yang terbaik untuk bunda. Elin juga mohon, bunda pamit dengan orang tua Elin soal ini, karena ini sudah menyangkut keluarga besar, Elin akan coba bujuk Mas Rendra,” ucap Elin dengan berlinang air mata. “Itu pasti, ini akan dibicarakan dengan semuanya, kalau Rendra sudah mau menikah lagi. Bunda yakin ini yang terbaik untuk kalian, bunda janji, tidak akan pernah memisahkan kamu dan Rendra. Bunda dan ayah hanya butuh penerus untuk keluarga kami. Bunda minta maaf, karena bunda meminta ini padamu. Maafkan bunda, Nduk,” ucap Bu Dina dengan memeluk menantunya. Elin hanya bisa pasrah dengan apa yang diinginkan ibu mertuanya. Dia memang belum bisa memberikan keturunan untuk suaminya. Mungkin saran dari ibu mertuanya ini adalah jalan yang terbaik agar suaminya memiliki keturunan sebagai penerus keluarganya. “Maafkan aku, Mas. Aku terpaksa memenuhi permintaan bunda. Maafkan aku, aku sebenarnya takut, Mas. Takut sekali,” gumam Elin dengan memeluk ibu mertuanya dan menangis di pelukan ibu mertuanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN