Ria masuk ke dalam kamarnya, dia mengambil kertas perjanjian dan syarat untuk menjadi istri kedua yang diberikan Bu Dina kemarin. Tapi, itu dalam bentuk copian.
“Ya Allah, ternyata Bu Elin menantu Bu Dina, dan Pak Rendra putranya. Kenapa bisa seperti ini?” gumam Ria dengan bersandar di pintu kamarnya.
Ria segera mengambil kertas yang berisi surat perjanjian dan syarat menjadi madu yang di berikan Bu Dina dalam bentuk Copian di dalam lemari. Ria keluar dengan membawa surat tersebut. Mungkin dia harus mengatakan yang sejujurnya pada Elin dan Rendra.
“Apa yang kamu bawa, Ria?” tanya Pak Supardi.
“Ini, Pak.” Ria memberikan surat perjanjian itu pada bapaknya.
“Astagfirullah ... Ria ... kamu apa-apaan? Jadi kamu mendaftar untuk menjadi istri kedua? Kamu mau kuliah tapi seperti ini? Kamu benar-benar mengecewakan bapak!” Pak Supardi sangat marah dengan putrinya, beliau tidak menyangka Ria akan seperti itu.
“Nak, kenapa kamu seperti ini? Kamu mau kuliah, kenapa malah kamu mendaftarkan diri untuk menjadi madu?” ucap Bu Muslikha.
“Ibu, bapak, maafkan Ria. Ria melakukan ini terpaksa. Iya, Ria akan kuliah, tapi kalau ria ikut mendaftar ini, setidaknya Ria bisa membantu melunasi utang bapak. Ria tidak mau setiap hari melihat orang-orang suruhan Pak Yaksa dan Pak Abu ke sini menagih utang bapak. Apalagi Pak Yaksa, dia membungai utang bapak tidak wajar sekali. Ria bosan pak, tiap hari melihat orang itu menagih utang. Pagi, siang, sore, malam, mereka selalu ke sini. Itu yang membuat Ria ikut sayembara ini, Pak. Dan, maaf, Ria tidak tahu kalau Pak Rendra anak dari Bu Dina, dan Bu Elin adalah menantunya, kalau Ria tahu, Ria tidak aka ikut, Bu,” jelas Ria.
“Bapak tidak akan merestui semua ini! Memalukan sekali kamu mau jadi istri kedua! Meski ada imbalannya sangat banyak, bapak bisa mencari uang untuk membayar utang bapak. Bukan seperti ini, Ria!” Pak Supardi memegang dadanya yang sesak karena tidak menyangka Ria akan seperti itu.
“Pak, sudah ... yang sabar, Pak. Jangan seperti ini, nanti sakit bapak kambuh,” ucap Bu Muslikha.
“Pak, Bu, sebenarnya saya pun tidak menyangka Ria akan melakukan seperti itu,” ucap Rendra.
“Ria, kamu masih sangat muda, masa depan kamu masih panjang, kamu mau kuliah, tapi kenapa kamu ikut sayembara yang bunda adakan? Kamu harus kuliah, dan hentikan semua ini. Saya akan bantu juga melunasi utang bapak, tanpa harus menikahimu,” ujar Rendra.
“Mas, jangan seperti itu dong! Aku memilih Ria untuk menjadi maduku. Pak, Bu, restui Ria untuk menjadi maduku. Ria masih bisa tetap kuliah, dan saya akan melunasi semua utang bapak dan ibu. Elin mohon, Pak, Bu,” ucap Elin.
“Bu Elin, Ria masih sangat kecil. Kalau Bu Elin menginginkan anak, kenapa tidak mengadopsi saja?” tanya Bu Muslikha.
“Ibu mertuaku meminta anak dari darah daging suamiku, meski bukan aku yang memberikan, Bu. Bu, Elin mohon, restui Ria untuk menikah dengan Mas Rendra,” mohon Elin.
“Bu Elin. Kami memang kekurangan, tapi kami tidak mau terkesan seperti menjual anak kami. Apalagi untuk di sewa rahimnya saja, apa kata orang di sini? Apa kata tetangga kami, Bu?” ucap Pak Supardi.
“Sayang, pilih kandidat yang lain saja, ya? Aku janji aku akan menikahinya, tapi jangan Ria. Ria masa depannya masih sangat panjang, Sayang,” bujuk Rendra dengan lembut.
“Mas, aku pilih Ria, aku tidak mau yang lain,” jawab Elin.
“Pak, Bu, Elin mohon ....” Elin berlutut di depan kedua orang tua Ria.
“Bu Elin jangan seperti ini. Kami tetap tidak bisa, Bu,” ucap Pak Supardi.
“Pak, Elin mohon, izinkan Ria menjadi maduku,” pinta Elin lagi.
“Bu, maaf, saya tidak mengizinkan anak saya menjadi madu,” ucap Bu Muslikha.
“Tolong pikirkan lagi, Pak , Bu,” ucap Elin.
“Ria, kamu yakin? Kamu sudah memantapkan hatimu untuk menikah dengan suamiku?” tanya Elin pada Ria.
“Bu, maaf, Ria tidak tahu kalau ibu adalah menantu Bu Dina. Bu, Ria tidak tahu, maaf, Bu. Cari kandidat lain saja,” ucap Ria.
Elin hanya terdiam mendengar ucapan Ria. Dia tidak tahu harus membujuk dengan seperti apa lagi. Elin memilih Ria, karena dia masih muda, jadi untuk mendapatkan keturunan pasti dimudahkan. Elin juga sudah tahu Ria bagaimana, itu yang membuat Elin memilih Ria untuk menjadi madunya.
Terdengar suara orang laki-laki yang dengan kasar memanggi nama Pak Supardi. Dua orang lelaki berwajah bengis langsung nyelonong masuk ke dalam rumah Pak Supardi.
“Rupanya ada tamu. Pardi, mana janjimu! Ini sudah lebih dari enam bulan. Pak Yaksa meminta besok sudah menyiapkan uanganya! Kalau belum terpaksa rumah dan tanah ini kami sita!” sarkas salah satu dari lelaki tersebut.
“Pak, beri kami kesempatan satu bulan lagi,” ucap Pak Supardi.
“Tidak bisa! satu bulan lagi kamu mau menambah bunga kamu, Pardi?! Bunga yang lima bulan saja sudah hampir setara dengan jumlahnya utang kamu!” teriak laki-laki tersebut.
“Maaf, Pak. Berapa utang Pak Pardi?” tanya Rendra.
“Tiga puluh juta sudah sama bunga yang lima bulan! Memang kamu siapa tanya-tanya? Atau jangan-jangan kamu pegawai bank yang akan mengutangi Pardi?” jawab lelaki tersebut.
“Siapa saya bukan urusan anda. Besok siang, temui saya di sini. Saya akan lunasi semua utang Pak Pardi. Silakan kalian pulang!” tegas Rendra.
“Saya tunggu janji anda!” ucap lelaki itu dan keluar meninggalkan rumah Pak Pardi.
“Habis ini dari Pak Abu pasti datang,” ucap Ria dengan lirih, tapi masih terdengar mereka.
“Siapa lagi, Ria?” tanya Elin.
“Ehm ... bukan siapa-siapa, Bu,” jawab Ria.
Benar yang dikatakan Ria. Orang suruhan Pak Abu datang untuk menagi utang pada Pak Pardi. Tapi, mereka tidak memakai kekerasan, dan bicara baik-baik. Rendra juga akan melunasi semua utang Pak Supardi pada Pak Abu. Semua Rendra lunasi, tapi dengan syarat tidak menikah dengan Ria.
Ria merasa lega karena utang bapaknya akan lunas besok pagi. Tapi, melihat guru kesayangannya yang terus memohon padanya untuk jadi madunya membuat hati Ria tergerak untuk mengiyakan. Tapi, bagaimana dengan bapak dan ibunya, yang tidak menyetujui Ria menjadi madunya Elin.
Ria berpikir, Elin sudah banyak berkorban untuk dirinya. Dari biaya kuliah, hingga melunasi utang-utang bapaknya. Ria memantapkan hatinya untuk mengabulkan permintaan gurunya itu. Namun, Ria tidak mengatakannya hari ini, karena di perlu berdiskusi dengan kedua orang tuanya soal dirinya yang sudah siap menjadi madu.
“Dengan cara apa aku membalas kebaikan Bu Elin? Apa aku harus menjadi madunya, dan memberikan anak untuk mereka? Lalu bapak dan ibu bagaimana? Apa mengizinkannya? Aku akan coba bicara baik-baik dengan bapak dan ibu,” gumam Ria.
Rendra melihat istrinya yang dari tadi diam, setelah penolakan dirinya untuk tidak menikahi Ria, tapi akan melunasi semua utang bapaknya Ria. Rendra tahi istrinya sangat kecewa dengan dirinya, tapi mau bagaimana lagi, Rendra tidak mau merusak masa depan Ria. Ria masa depannya masih panjang tidak mungkin untuk menjadi madu, apalagi usianya terpaut jaug sekali dengan dirinya.
Elin tidak tahu harus bagaimana. Keputusan suaminya sepertinya tidak bisa diganggu gugat. Elin masih terus berharap dalam hatinya, berharap kedua orang tua Ria merestui keinginannya, dan berharap suaminya mau menikahi Ria.
“Aku harus bagaimana? Apa aku harus bicara baik-baik lagi dengan Mas Rendra? Agar Mas Rendra mau menuruti keinginanku. Aku tidak mau calon yang lain, aku mau Ria. Dia yang cocok dengan Mas Rendra, dan sangat cocok, karena dia masih muda, pasti bisa cepat memberikan keturunan pada keluarga kami,” gumam Elin.
Setelah selesai berbicara dengan Ria dan kedua orang tuanya, Rendra dan Elin pamit untuk pulang. Elin merangkul Ria saat berjalan keluar dari rumah Ria.
“Ria, aku mohon, pikirkan ini lagi. Aku mohon sekali, bantu aku untuk bisa membahagiakan ibu mertuaku. Hanya kamu yang aku harapkan, Ria. Aku mohon,” ucap Elin dengan lirih pada Ria, agar semua tidak mendengar.
“Ria akan pikirkan lagi, Bu. Dan, akan Ria bicarakan lagi dengan bapak dan ibu. Terima kasih untuk semua, Bu,” ucap Ria dengan memeluk Elin.
“Sama-sama, Ria,” ucap Elin.
Rendra menghidupkan mesin mobilnya, dan langusng melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah. Elin masih diam saja, dia masih belum mau bicara dengan suaminya. Rendra juga tahu, Elin sedikit kecewa dengan penolakan Elin. Rendra tiba-tiba menghentikan menepikan mobilnya dan menghentikan laju kendaraannya.
“Kenapa berhenti, Mas?” tanya Elin.
“Biar kamu tanya, dan bicara sama aku. Dari tadi kamu diam saja,” jawab Rendra.
“Aku capek, Mas!” tukas Elin.
Rendra menarik tubuh Elin, dan membawanya ke dalam pelukannya. Dia tidak mengerti kenapa istrinya ingin sekali Ria menjadi madunya.
“Jujur, aku sama sekali tidak ingin menikahi wanita lain. Aku tidak bisa mendua, Lin. Aku bukan tipe lelaki yang serakah, dan ingin mendua atau poligami. Demi Allah, Lin, aku sungguh tidak bisa. Aku melakukan ini semua demi kamu, demi bunda. Tapi, aku mohon, jangan dengan Ria, Lin. Dia masih sangat muda,” ucap Rendra dengan memeluk Elin.
“Mas, maafkan aku, aku tetap ingin Ria yang menjadi maduku,” ucap Elin.
Rendra melepaskan pelukannya. Dia menatap wajah Elin dengan lekat. Menatap wajah istrinya yang sangat cantik. Rendra mengusap pipi Elin dan mencium bibir Elin dengan lembut.
“Kamu yakin kamu sudah siap untuk menyaksikan aku menikah? Apalagi aku menikah dengan wanita yang jauh lebih muda,” tanya Rendra.
“Insya Allah, aku siap lahir bathin, Mas. Aku ikhlas, ini demi kebaikan rumah tangga kita,” jawab Elin.
“Aku akan memikirkannya lagi, Lin. Kasih waktu aku,” ucap Rendra.
“Iya, Mas,” jawab Elin.
Rendra mengusap kepala Elin dan mencium keningnya. Setelah itu, Rendra kembali melajukan mobilnya untuk pulang. Elin sedikit lega, karena Rendra akan memikirkan kembali untuk menikahi Ria. Elin akan terus membujuk suaminya agar mau menikah dengan Ria secepatnya.