Muridku Maduku - Bab Enam

1138 Kata
Keesokan harinya, Elin di kejutkan dengan kedatangan ibu mertuanya. Entah ada urusan apa, pagi-pagi sekali Bu Dina, mertua Elin sudah ke rumahnya. Beruntung hari ini Elin tidak ke sekolahan karena tidak ada jam mengajar, jadi dia hanya absen saja, setelah itu dia memantau bisnisnya yang lain. Seperti itu kalau hari Jum’at, Elin lebih sibuk di rumah atau sibuk di Cafe dan Restorannya. “Bunda ... Tumben pagi-pagi sudah ke rumah?” tanya Rendra yang sudah bersiap untuk ke kantor setelah sarapan bersama istrinya. “Bunda mau ajak Elin ke toko kain, hari ini Elin kan tidak mengajar, kan? Dia juga pasti mau ke restoran, sekalian ada hal yang ingin bunda bicarakan dengan Elin,” jawab Bu Dina. “Bunda mau bicara apa?” tanya Elin. “Nanti, kita bicara di cafe atau restoran kamu saja, Lin,” jawab Bu Dina. “Sudah main rahasia-rahasiaan nih sama Rendra?” protes Rendra. “Ini masalah wanita, sudah kamu tidak usah khawatir, hanya masalah bisnis saja, bunda mau tanya-tanya soal bisnis kuliner Elin yang tambah maju, bosan bunda, urus butik saja, kali saja bunda sama Elin bisa kerja sama buka restoran atau cafe lagi, iya kan, Lin?” ujar Bu Dina. “Iya, bisa dong, Bund. Mau sekarang pergi ke toko kainnya? Atau bunda mau sarapan dulu?” tanya Elin. “Bunda sudah sarapan, kita berangkat sekarang saja, kamu sudah siap, kan?” jawab Bu Dina. “Sudah, Elin memang mau langsung ke Sekolahan setelah Mas Rendra berangkat, mau absen dulu, baru ke cafe atau restoran,” ucap Elin. “Elin antar Mas Rendra ke depan, Bunda,” pamit Elin. “Sayang, bisa minta tolong ambilkan map warna biru di atas meja kerjaku? Maaf, aku kelupaan, padahal itu dokumen penting untuk meeting hari ini,” pinta Rendra. “Oke, tunggu sebentar, Mas. Elin ambilkan.” Elin kembali masuk ke dalam ruang kerja suaminya untuk mengambilkan map berwarna biru yang ketinggalan di atas meja kerja suaminya. Sementara Rendra, dia berada di ruang tamu dengan Bundanya. Rendra tahu, kalau bundanya tidak hanya membicarakan soal bisnis kuliner saja, tapi akan membicarakan soal permintaannya untuk mengizinkan Rendra menikah lagi supaya mendapat keturunan. “Bunda mau bicara apa dengan istriku?” tanya Rendra dengan agak sinis pada bundanya. “Bunda mau tanya-tanya soal bisnis kuliner yang sedang Elin geluti saja,” jawab Bu Dina dengan gugup dan tanpa melihat putranya. “Kenapa kamu ketus sekali tanya bunda seperti itu?” tanya Bu Dina. “Jangan bohong, Bun, Rendra tahu, bunda mau menyuruh Elin membujukku agar aku menikah lagi, kan? Bunda, aku tidak akan pernah mau, selamanya aku tidak akan pernah menuruti ide konyol bunda ini,” ucap Rendra dengan tegas. “Ren, mau sampai kapan kalian seperti ini? Ini sudah tahun ke sepuluh, Ren ... Kamu dan Elin belum dapat keturunan, dan ingat, dua kali kalian gagal melakukan program bayi tabung, itu jauh kemungkinannnya untuk Elin bisa hamil,” jelas Bu Dina. “Bunda, sabar bunda ... Elin dan Rendra sedang berusaha, kami sedang ikhtiar dengan cara kami sendiri. Tolong bunda jangan menambah beban pikiran Elin, kasihan Elin yang sudah terlalu tertekan karena masalah ini, Bunda.” Rendra memohon pada ibunya agar tidak bicara pada Elin tentang keinginannya agar Rendra menikah lagi. “Ren, bunda ingin kamu memiliki keturunan, meski bukan dari Elin. Yang terpenting darah dagingmu, Ren. Bunda sebenarnya juga tidak ingin kamu membagi dirimu dengan wanita lain, bunda sayang sekali sama Elin, tapi bunda dan ayah butuh calon penerus keluarga kita, Ren, siapa lagi kalau bukan anak dari kamu, Rendra ...,” ujar Bu Dina. “Kalau bunda sayang Elin, tolong jangan lakukan ini. Rendra sama Elin ingin hidup tenang, dan tolong jangan ganggu pikiran kami dengan ini, Bunda ... Rendra mohon, Rendra dan Elin butuh ketenangan, butuh pikiran yang tenang supaya bisa memberikan yang terbaik untuk bunda,” jelas Rendra. “Iya, tapi kapan, Ren? Sebentar lagi kami akan memasuki sepuluh tahun usia pernikahan kamu dan Elin,” ucap Bu Dina. “Rendra mohon, jangan bicarakan ini pada Elin, Bund ... Biar nanti Rendra dan Elin yang bicara soal ini,” pinta Rendra. “Kapan? Kamu iya, iya, saja, tapi sudah hampir tiga bulan ini belum ada tindakan!” ujar Bu Dina. Elin sedikit mendengar percakapan ibu mertuanya dengan suaminya. Elin tahu, ibu mertuanya pasti ingin membahas soal keinginannya agar dirinya membujuk Rendra untuk menikah lagi. Elin memang masih berusaha membujuk suaminya untuk menikah lagi, meski hatinya tidak rela, dan dirinya pun tidak rela untuk di madu. Namun, bagaimana lagi, bundanya sudah sangat ingin memiliki cucu, sedang dirinya belum bisa memberikannya. Mengikuti program bayi tabung pun dia gagal dua kali. “Bunda tidak salah menyuruh kamu menikah lagi, Mas. Benar kata bunda, mau kapan? Usia pernikahan kita sudah sepuluh tahun, aku pun sudah semakin bertambah umurnya, dan kata dokter sebentar lagi usiaku memasuki usia yang tidak produktif lagi. Kamu harus menuruti apa yang ibu mau, Mas, aku ikhlas, meski mungkin benar kata kamu, ikhlas itu bukan dari bibir saja, melainkan dari hati. Insya Allah, hatiku siap dan ikhlas untuk berbagi,” gumam Elin di balik pintu menuju ke ruang tamu. Elin keluar dengan wajah tenang dan biasa saja seperti tidak mendengar apa-apa. Elin sudah menenteng tas nya juga, supaya langsung berangkat dengan ibu mertuanya ke restoran. “Mas map yang ini?” tanya Elin. “Iya sayang, map yang itu, coba kemarikan,” jawab Rendra. Rendra mengecek isi map yang baru saja diambilkan Elin. Dia tersenyum dan langsung mencium istrinya lalu pamit untuk ke kantor. “Mas ke kantor, ya? Kamu jadi ikut ibu?” pamit Rendra. “Iya ini aku sudah siap, biar sekalian berangkat, aku kan ke sekolahan dulu, Mas,” jawab Elin. “Kamu jangan aneh-aneh ya hari ini. Setelah urusan selesai, langsung pulang, dan satu lagi, tidak usah berpikiran yang macam-macam,” ucap Rendra. “Iya, Mas. Memang aku mau aneh-aneh gimana? Setelah selesai pasti aku pulang, kok,” jawab Elin. “Kamu itu, bunda mau ajak Elin ke toko kain saja pakai acara aneh-aneh segala, seperti tidak biasanya saja kamu, Ren,” ujar Bu Dina. “Ya sudah aku berangkat ke kantor.” Rendra pamit dengan istrinya, dia mencium kening istrinya, seperti itu setiap hari saat akan berangkat bekerja. “Hati-hati, Mas. Kalau sudah sampai dan ada waktu senggang, hubungi aku,” ucqp Elin. “Itu pasti, Sayang,” jawab Rendra. “Bunda, Rendra ke kantor. Bunda hati-hati pergi sama Elinnya,” pamit Rendra dengan bundanya. “Iya, kamu juga hati-hati, Ren,” jawab Bu Dina. Rendra melajukan mobilnya menuju ke kantor. Sebenarnya dia tidak ingin memperbolehkan istrinya ikut dengan bundanya, tapi mau bagaimana lagi, istrinya hari ini memang tidak ada pekerjaan, dan tidak enak juga pastinya menolak bundanya. “Semoga bunda tidak mengatakan hal yang membuat beban pikiran Elin bertambah. Bunda ada-ada saja, ikut ide siapa sih? Pakai nyuruh aku nikah lagi?” gumam Rendra.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN