*P.O.V Rendra*
Aku tidak mengerti mengapa Elin sangat menginginkan Ria yang menjadi madunya. Aku tidak bisa menikahi wanita yang umurnya jauh lebih muda sekali dariku. Apalagi Ria adalah murid dari Elin, dan dia baru saja mau lulus SMA. Apa gunanya menguliahkan Ria, kalau ujungnya Elin meminta Ria menjadi madunya?
Elin dari tadi membujukku, namun aku selalu menolaknya. Banyak karyawan bunda yang mencalonkan dirinya, tapi kenapa harus Ria? Mungkin kalau Elin memilih yang lain, aku sudah akan menikahi wanita pilihan Elin. Sayangnya yang Elin pilih Ria, bukan lainnya.
Elin pergi dari rumah, aku tidak tahu dia pergi ke mana. Sejak pulang dari rumah Ria kemarin, dia selalu membujukku, tapi aku selalu meminta waktu padanya untuk memikirkan permintaannya. Hingga tiga hari ini aku belum memberikan jawaban apa pun pada Elin, karena jawabannya aku tetap tidak ingin menikah dengan Ria. Dan, itu yang membuat Elin marah padaku hingga dia pergi dari rumah, karena baru saja kami berdebat soal Ria.
Aku tidak mempermasalahkan kalau Elin belum bisa hamil. Namun, bunda terus mendesakku untuk menikah lagi demi untuk memiliki keturunan dari darah dagingku sendiri. Sepuluh tahun lamanya aku menanti buah hati, beberapa program hamil sudah kami jalani, tapi Allah belum berkehendak memberikan kami seorang anak. Kami masih diuji kesebarannya lewat semua ini, dan kami masih bisa sabar menunggu sampai waktunya tiba, karena kami tidak memaksakan harus memiliki anak. Kami tidak seperti itu, masalah anak sama dengan rezeki, kalau sudah tepat waktunya pasti diberi oleh Allah. Itu yang sering aku tuturkan pada Elin untuk melapangkan hatinya yang memang juga ada masalah dalam rahimnya.
Berbeda dengan bunda, beliau sangat menginginkan cucu sebagai penerus keluarga kami. Aku memang anak satu-satunya, tapi bukan berarti bunda menekankan Elin harus memiliki anak dengan cepat. Bunda pun tahu bagaimana rahim Elin, dan itu yang membuat aku tidak habis pikir bunda melakukan hal seperti ini. Memintaku untuk menikahi wanita lain, hanya karena ingin aku memiliki anak dari darah dagingku sendiri. Bunda melakukan semua ini karena aku dan Elin sudah dua kali gagal menjalani program bayi tabung.
Aku tidak mengerti jalan pikiran bunda yang sama sekali tidak memikirkan hati Elin. Aku tahu Elin sangat tidak siap untuk menuruti apa keinginan bunda, namun Elin tidak mau membuat bunda kecewa. Berkali-kali aku bicara pada bunda untuk tidak mengatakan keniatannya pada Elin, tapi ternyata Elin malah sudah tahu karena tidak sengaja melihat isi pesanku dengan bunda.
Sekarang, semua sudah berjalan setengah jalan. Bunda melakukan sayembara untuk mencarikan calon istri kedua untukku, dan Elin lah yang nantinya akan memilih siapa calon yang akan aku nikahi.
Ria, iya Ria, dia calon yang dipilih Elin untuk aku nikahi sebagai istri kedua, namun aku menolaknya. Aku menolak permintaan Elin yang ingin aku menikahi Ria. Ria masih terlalu muda, masa depannya masih panjang, dan aku tidak menyangka kalau Ria mencalonkan dirinya untuk menjadi madu hanya karena ingin melunasi semua utang bapaknya.
Aku sudah melunasi semua utang orang tua Ria. Namun, Elin masih saja terus membujuk aku untuk menikah dengan Ria. Padahal Ria sudah mengiyakan kalau dirinya mau untuk tidak menjadi madu, karena semua utang orang tunya sudah aku lunasi. Elin yang masih terus membujukku untuk menikah dengan Ria. Entah apa yang ada dipikiran Elin, sehingga dia tetap pada pendiriannya untuk memilih Ria sebagai madunya. Padahal ada banyak nama perempuan yang lain di daftar calon madunya.
Lin, aku sebenanrnya tidak ingin menikahi wanita yang lebih muda dan seperti Ria. Ria terlalu muda, aku akui Ria cantik, tapi aku hanya butuh wanita lain untuk aku nikahi supaya aku memiliki keturunan saja, bukan untuk menjadi istri untuk mendampingiku. Kamu lah yang akan selalu mendampingiku ke mana-mana, dan tidak akan pernah terganti. Istri keduaku, hanya untuk menghasilkan keturunanku yang bunda inginkan, bukan untuk pendamping hidupku sampai Allah mengambil nyawaku.
Aku tidak bisa, Lin. Aku bukan lelaki tamak yang mau memiliki dua pendamping dalam hidupku. Memiliki dua istri yang harus selalu mendampingiku. Kamu salah, jika kamu bilang Ria pantas untuk mendampingiku jika kamu sedang sibuk dengan urusan pekerjaanmu. Kamu salah, Sayang. Aku mau melakukan ini hanya karena bunda yang ingin memiliki cucu sebagai penerus keluarga. Aku tidak butuh istri kedua yang cantik, sempurna, dan cocok bersanding denganku untuk mendampingiku sama seperti dirimu.
Kamu yang aku mau untuk menjadi pendamping hidupku sejak pertama aku melihat kamu. Bukan wanita lain, Lin. Kalau kamu memilihkan wanita untuk menjadi istri keduaku yang jauh lebih muda darimu, dan pantas mendampingiku sama seperti dirimu, itu salah, Lin, sangat salah. Karena aku lebih mementingkan keinginan bunda saja untuk menikah lagi dan mendapatkan keturunan.
Aku saja masih memikirkan jika nantinya aku menikah dengan wanita lain, apa bisa aku melakukannya sama seperti aku memperlakukan kamu di atas ranjang pengantin kita? Aku memikirkan ini, Lin. Karena, aku tidak pernah mau, aku tidak ingin menyentuh wanita selain kamu. Aku tidak mau tidur dengan wanita selain kamu.
Kalau saat itu kamu mau aku antar untuk pergi seminar, mungkin tidak akan seperti ini, Lin. Tidak akan ada wanita kedua dalam hidupku. Namun, siapa yang bisa menentang takdir Allah. Pernikahan kita sudah digariskan seperti ini oleh Allah, kamu mengalami kecelakaan saat akan pergi seminar dan kamu harus rela menerima kenyataan pahit dalam hidupmu kalau kamu akan susah hamil karena operasi pengangkatan sel telur setelah kamu kecelakaan.
Dokter tidak memvonis kamu mandul, Lin. Dokter hanya memvonis kamu sulit hamil, jadi aku yakin suatu saat nanti kamu bisa hamil. Kamu bisa memiliki anak dan menjadi seorang ibu. Namun, pernikahan kita sedang di uji seperti ini. Bunda ingin kamu cepat memiliki keturunan, bagaimana pun caranya, padahal bunda pun tahu keadaan kamu.
Kita harus melalui semua ini bersama. Melalui cobaan hidup yang tidak bisa aku terima. Ya, aku sebenarnya tidak terima dengan keputusan bunda dan kamu, Lin. Tapi, mau bagaimana lagi, kamu juga mau menuruti kemauan bunda. Tapi, aku mohon jangan dengan Ria. Biarkan dia kuliah, dan menikmati masa-masanya menjadi mahasiswa. Masa depan Ria masih panjang juga, kasihan juga gadis semuda itu harus menjadi madu dan mungkin hanya aku anggap hanya rahim pengganti Elin saja. Dia masih memiliki masa depan yang cerah, aku tidak mau merusaknya.
Aku mengambil ponselku untuk menghubungi Elin yang tidak tahu pergi ke mana, karena dia tadi pergi dengan marah denganku. Aku yakin dia pergi untuk membujuk Ria lagi. Dan, aku sangat yakin kalau Ria pasti akan mau karena tidak enak hati dengan Elin. Aku langsung menelfon Elin, menanyakan dia di mana.
“Assalamualaikum, Mas ....”
“Wa’alaikumussalam, kamu di mana, Sayang? Sudah dong jangan marah, maafkan aku, pulang ya?”
“Mas, aku sedang bersama Ria. Kamu bisa ke sini?”
“Sedang apa dengan Ria?”
“Mas, kita butuh bicara bertiga. Temui aku di Cafeku.”
“Lin, mas kan bilang, mas tidak mau kalau mas harus menikah dengan Ria. Apa tidak ada wanita lain selain Ria? Bunda mendapatkan banyak calon, kan? Kamu pilih lainnya jangan Ria!”
“Mas, aku tidak mau berdebat lagi. Mas kalau tidak mau dengan Ria, aku tetap memaksa mas untuk menikahi Ria. Mas, aku mohon, aku tidak mau yang lain, aku mau Ria. Tolong, Mas, kabulkan permintaanku ini. Kamu sudah janji, kan?”
“Elin ... kamu tahu dia masih sangat muda sekali, dia juga belum lulus SMA, dan mau kuliah, jangan merusak masa depan dia, Sayang.”
“Mas tidak ingat? Aku masih kuliah juga sudah menikah dengan, Mas? Ria bisa kuliah meski dia menikah dengan kamu. Kalau hamil kan bisa cuti, nanti dia bisa lanjutkan kuliahnya.”
“Lin, tapi ....”
“Tapi apa, Mas? Mas, aku mohon ... mas temui aku di Cafeku. Aku dengan Ria di sini, kita harus bicara.”
“Bicara apa? Merencanakan pernikahanku dengan Ria?”
“Iya, Ria mau menikah dengan mas. Kita akan membicarakan itu. Kalau mas tidak ke sini, aku tidak pulang, aku akan menginap di rumah Ria!”
“Ya Allah, Lin ... kamu kenapa seperti ini?”
“Aku seperti ini demi mewujudkan kebahagiaan bunda, dan agar kamu memiliki keturunan, Mas. Karena, aku tidak bisa memberikannya.”
“Kamu belum bisa memberikan aku anak, Lin, bukan tidak bisa memberikan aku anak. Aku yakin kamu bisa hamil suatu hari nanti.”
“Bunda maunya dalam tahun ini atau tahun depan kamu memiliki keturunan, Mas. Bukan nanti yang belum pasti.”
“Oke, aku ke cafe sekarang. Assalamualaikum.”
Aku mengakhiri panggilanku dengan Elin. Benar firasatku, Elin menemui Ria. Aku sudah tidak ingin berdebat lagi dengan istriku yang terus memintaku untuk menikahi Elin. Mungkin memang aku harus menikahinya. Sungguh aku tidak bisa membagi diriku untuk dua wanita. Aku bukan lelaki yang seperti itu, yang menginginkan dua wanita dalam hidupku, yang mendampingiku.