"Mana?? Aku nggak lihat??" Hatiku jelas menciut dong ya. Seumur hidup berinteraksi dengan hantu, belum pernah aku bertemu makhluk kegelapan semacam ini.
"Tenang saja, Cantik. Aku melindungimu."
Hatiku yang tadinya menciut kini meleleh karena senyuman Alex. Dunia benar-benar tidak adil menciptakan lelaki sesempurna dia.
"Dia akan terlihat kalau kamu menginginkan hal itu terjadi. Siap?"
"Eh? Apa? Maksud??" Kecemasan yang meningkat membuatku menarik tangan Alex, "Apanya siap? Aku belum siap untuk apa pun!"
Sejenak tidak ada yang bersuara.
Entah apa yang ada di kepala Alex. Seenaknya saja dia memeluk dan menciumku. Bukannya aku tidak suka sih ... Oh, aku jelas menyukai caranya memegang leherku, juga caranya memeluk pinggangku sampai hampir patah, tapi terutama lidah yang kurang ajar itu ...
Aku terengah saat dia melepas ciumannya. Tatapan sepasang mata Alex mengingatkanku akan seekor serigala di tayangan dokumenter.
"Kita lanjutkan nanti, Cantik," ucap Alex lembut.
Lagi-lagi senyuman yang mampu membuat batu karang meleleh. Maksudnya, aku yang meleleh. Oke. Wow. Sepertinya sekarang aku siap menghadapi apa pun.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanyaku.
"Membebaskan mereka yang terikat."
"Caranya?"
Alex menyentuh tangan kananku yang memakai cincin, "Obsidian."
Ah, percuma bertanya. Jawabannya tidak memuaskan sama sekali!
"Sekarang katakan dalam hati bahwa kamu ingin melihat makhluk kegelapan yang menguasai tempat ini," tuntun Alex.
Oke deh. Mari kita lakukan. Kalau keadaan menjadi buruk aku akan lari sekuat tenaga. Setelah menarik nafas beberapa kali aku pun melakukan seperti tuntunan Alex.
Mataku membulat. Sekejap mata di sudut basement tampak suatu makhluk serupa pohon besar menjulang hingga langit-langit dengan sulur-sulur panjang yang menjalar ke segala arah. Setiap sulur melilit sosok pucat serupa manusia. Aku mendekap mulut. Semudah ini melihat penampakan makhluk dunia lain??
"Kamu melihatnya?" Alex meraih tanganku.
"Iya, aku lihat! Astaga, besar sekali!" Jantungku berdebar kencang.
"Eliana, fokus padaku. Jangan biarkan makhluk itu menguasaimu."
Aku pun menatap Alex. Ide bagus. Lebih baik memandangi wajah tampannya daripada melihat pemandangan surealis ini.
Saat sedang fokus memandangi Alex aku tersandung lagi. Argh! Akar pohon sialan!
"Hmm ... tidak ada cara lain," gumam Alex.
Tahu-tahu kakiku terangkat dari lantai. Alex memelukku dengan satu lengan sekaligus mengangkat tubuhku! Aku ngapain? Spontan aku memeluk lehernya. Bukan modus! Aku tidak mau merosot lalu jatuh ke lantai seperti kain pel basah!
Heran. Padahal situasi sedang mencekam, tapi masih sempat-sempatnya kami bertatapan seperti adegan film Bollywood. Aku menggelengkan kepala mengusir bayangan nakal yang menyusup ke dalam pikiranku. Kuasai dirimu, Eliana! Ini basement loh, bukan kamar pengantin!
Dari ekspresinya aku tahu Alex tertarik dengan isi pikiranku. Dalam hati aku berharap semoga hal itu tidak menjadi kenyataan. Aku belum siap.
"Cantik, lihat roh-roh yang terperangkap itu?"
"Uh ... iya." Aku melihat roh-roh manusia yang dimaksud Alex. Mereka dililit oleh akar pohon dan mengulurkan tangan ke arah kami.
"Sentuh mereka dengan tanganmu yang memakai cincin."
Oke. Kalau itu aku bisa melakukannya. Alex membawaku mendekati mereka satu persatu. Aku mencoba bersentuhan dengan hantu terdekat. Tanganku menembus salah satu tangan yang terulur. Rasa hangat menjalar dari ujung jari ke lengan, tapi seketika lenyap. Sosok si hantu pun memudar dan menghilang meninggalkan ruang kosong.
"Ke mana dia pergi?" Aku tertakjub melihatnya.
"Ke tempat seharusnya berada. Berikutnya."
Tiga hantu lagi berhasil kami bebaskan. Dari arah batang pohon terdengar suara geraman rendah. Aku menatap cemas.
"Abaikan dia," kata Alex.
Bagaimana caranya, woi? Sementara Alex membawaku semakin mendekat ke arah batang besar tersebut. Aku melihat bentuk wajah menyeramkan di tengah batang pohon, beberapa lubang besar membentuk mata dan mulut yang menganga.
Beberapa hantu lagi terbebas. Semakin dekat dengan tubuh utama si makhluk kegelapan nafasku semakin sesak. Baru kemudian kusadari ternyata Alex memegang sebilah pisau kecil yang digunakan untuk membuka jalan kami. Pisau yang kira-kira berukuran sejengkal itu berkilat tajam dengan ukiran di seluruh permukaannya. Akar-akar pohon yang menghalangi bergeser menjauh seperti ular.
"Satu lagi," lirihku.
Begitu hantu terakhir bebas aku merasa lega. Sekarang kami bisa pergi dari tempat ini, 'kan? Eh, kenapa Alex tidak juga bergerak? Malah memandangi makhluk jelek itu. Apa dia tidak sadar jarak kami dengan si pohon hanya dua meter??
Sebelum aku sempat melancarkan protes Alex berbalik dan membawaku kembali ke mobil di basement level satu. Wah, tak dapat dijelaskan betapa senangnya hatiku bisa kembali menghirup udara segar. Alex menurunkanku dan aku hampir terjatuh. Kedua kakiku lemas! Untung Alex sigap menangkapku.
"Tenagamu habis."
"Kelihatannya??"
"Tapi masih galak." Alex tersenyum geli.
"Galak itu dari hati, bukan tenaga," gerutuku.
Aku mengapresiasi Alex yang mendudukkanku di dalam mobil dan memakaikan seatbelt. Kalau disuruh naik sendiri ada kemungkinan aku akan menggantung di jok seperti kungkang pingsan.
"Jadi pilihannya tinggal satu, kamu tinggal bersamaku," kata Alex yang fokus mengemudikan mobil SUV mewahnya.
Iya juga sih. Setelah pengalaman tadi yang pasti aku tidak berminat lagi tinggal di apartemenku. Namun, namaku bukan Eliana kalau menurut begitu saja. Aku memikirkan berbagai alternatif agar tidak perlu tinggal bersama Alex. Pikirkan saja bahayanya kalau setiap hari aku harus melihat lelaki tampan yang bertubuh bagus ini mondar-mandir di depanku? Bisa-bisa aku memohon untuk diterkam!
"Hanya untuk sementara, 'kan?" tanyaku.
Alex menoleh. Dari seringai di wajahnya aku sudah bisa menebak jawaban yang akan dia berikan. Ugh, kalau tidak sedang lemas aku sudah membuka pintu dan melompat keluar nih.
"Kamu tidak bisa jauh dariku, Cantik." Demikian katanya.
"Ih. Kepedean banget." Aku melengos.
"Kamu tahu kenapa aku penasaran? Karena perkataan dan pikiranmu selalu bertentangan." Alex mengemudikan mobil keluar basement.
"Sok tahu." Aku memandang jendela agar tidak usah melihat seringai di wajah lelaki itu. Menyebalkan sekali sih?
"Aku tidak akan memaksamu menyerahkan diri, Cantik. Aku akan menunggu sampai kamu siap."
Ugh. Lelaki ini benar-benar. Aku 'kan belum mengakui hubungan aneh kami? Masa dia sudah berharap lebih?
Daripada menghabiskan energi untuk bicara lebih baik aku memejamkan mata. Kalau aku tidak punya cadangan tenaga, bagaimana aku bisa melawan Alex? Aku menghela nafas. Sejuknya pendingin udara membuatku mengantuk.
"Eliana."
Uh, siapa sih? Mengganggu banget. Aku sedang mimpi indah nih, berduaan bersama Henry Cavill si aktor ganteng nan macho.
"Eliana, bangun atau kita pindah ke bangku belakang."
Ancaman itu mampu melewati ambang bawah sadar dan membetotku kembali ke dunia nyata. Astaga! Jangan sampai orang memanfaatkan kesempatan! Belum sadar sepenuhnya dari tidur aku sudah dibuat terkejut oleh wajah Alex yang berada sangat dekat. Refleks tanganku melayang.
"Hei. Tanganmu cepat sekali." Alex berhasil menangkap tanganku.
"Uh ... iya." Astaga Eliana. Tanggapan macam apa itu?
"Kuat berjalan sendiri?"
Seketika pikiranku berteriak bahwa aku mau digendong. What?? Bahkan pikiranku pun sekarang berkhianat??
Alex tersenyum geli, "See what I mean? Pikiran dan perkataanmu bertentangan."
"Bukan salahku." Aku pasrah saja ketika lelaki itu membopongku.
"Aku penasaran apakah hal ini berlaku untuk penolakanmu bercinta."
Mataku membulat, "Turunkan aku, please? Sepertinya aku kuat jalan sendiri."
"Tidak."
"Menyebalkan," gerutuku.
"Lelaki menyebalkan ini adalah suamimu."
"Nggak ada bukti."
Alex membawaku masuk ke lift yang langsung meluncur ke lantai empat puluh. Suasana tenang nan damai harus dikacaukan oleh bunyi perutku yang lapar. Sejenak kami beradu pandang. Bisa bayangkan dong bagaimana malunya aku?
"Mau makan apa? Kupesankan," kata Alex.
Aku yang sedang sibuk mendekap wajah tidak dapat memikirkan apa pun. Otakku blank.
Lift berhenti di lantai tujuan. Baru kemarin aku meninggalkan tempat ini dengan niat melupakan Alex, eh sekarang malah dibawa kembali seperti pengantin baru.
Otak! Stop membayangkan adegan berikutnya!
Aku tahu Alex sedang menahan tawa. Namun, ekspresi yang ditahan itu membuat wajahnya terlihat lebih manis ... Eliana, Eliana ... Bagaimana caranya kamu bisa bertahan?
Jantungku berdebar saat Alex membawaku ke kamarnya. Hati-hati sekali dia menurunkanku di tempat tidur. Aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika dia ikut rebah dan bersandar padaku. Terdengar helaan nafas panjang. Baru kusadar, sepertinya dia juga lelah.
"Tebakan jitu," gumamnya.