Mataku terbuka perlahan. Aku tersenyum tipis melihat wajah Alex yang masih tertidur. Mungkin sebaiknya aku juga kembali tidur. Bantal-bantalku terlalu nyaman untuk kutinggalkan.
"Selamat pagi, Cantik."
Suara berat nan seksi itu membuatku membuka mata. Bukan, tepatnya melotot! Kenapa Alex ada di kamarku??
"Aaaaahhh! Ngapain kamu di sini??" Aku segera melompat turun dari tempat tidur.
Lelaki itu terkekeh, "Kenapa sepanik itu? Bukankah wajar bagi suami istri untuk tidur bersama?"
"Kata siapa?? Pakai baju, woi!"
Meskipun tubuh bagian atas Alex terlihat bak foto model lengkap dengan six pack-nya, aku tidak boleh tergiur!
"Semalam kamu bilang lebih suka aku melepas pakaian. Maka kulepas." Alex tersenyum menggoda.
Spontan aku menunduk. Pakaianku masih lengkap! Kami tidak berbuat apa-apa, 'kan?
"Kita bukannya di basement? Kok bisa ke sini? Mana polisi-polisinya?" Banyak pertanyaan yang butuh jawaban segera karena aku tidak nyaman mengetahui ada waktu yang hilang di hidupku.
"Satu persatu, Cantik. Santai dulu. Semalaman aku tidak tidur menjagamu." Alex berbaring miring dan mengulurkan tangan ke arahku, "Kemari. Temani aku tidur."
"Enak saja." Aku mencari handphone dalam ransel. Seketika aku ternganga, "Wow, ternyata sudah hari Jumat!"
"Hmm ... ada masalah dengan itu?" Meskipun sebagian wajahnya tertutup rambut, Alex tetap mengawasiku.
"Sebaiknya aku siap-siap ke kantor. Ditinggal sehari saja pekerjaanku bisa numpuk." Aku bergegas ke kamar mandi.
Sambil mandi banyak hal memenuhi pikiranku, misalnya ... apa yang terjadi dengan si hantu wanita? Apakah Pak Budi ditahan? Apakah kasus tersebut sampai masuk berita? Juga, Alex benaran pemilik perusahaan? Kalau begitu dia bosku dong?
"Ah, ribet banget. Yang penting ke kantor dulu dah." Aku mematikan keran air.
Sejurus kemudian aku memarahi diri sendiri karena lupa membawa pakaian ganti. Ya sudahlah. Tidak ada cara lain. Aku melilit handuk di tubuh sekuat mungkin. Ini masih jauh lebih baik daripada tidak berpakaian, bukan?
Hati-hati aku membuka pintu kamar mandi. Eh, tempat tidur kosong? Ke mana makhluk itu pergi? Apakah dia turun ke bawah untuk memberiku privasi? Baguslah. Aku bisa berpakaian tanpa takut diterkam.
Baru kakiku melangkah keluar dari kamar mandi sepasang lengan kuat memelukku dari belakang.
"Harum sekali."
Aku bergidik karena Alex menciumi bahuku yang tidak terlindung. Celaka tiga belas. Kenapa aku bisa sebodoh dan seceroboh ini?
"Berhenti! Aku nggak mau!"
"Pikiranmu mengatakan lain, Cantik."
"Lepasin!" Aku melindungi handukku seperti melindungi nyawa. Tidak akan ada hantu atau makhluk tak kasat mata yang mengintervensi.
Mendadak benda-benda kecil di nakas melayang. Alex berhenti bergerak. Aku juga berhenti meronta. Kami seperti menunggu adegan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Sial. Kupikir tidak ada yang berani menampakkan diri," gerutu Alex.
Aku terkejut karena lelaki itu menarikku ke belakang tubuhnya. Dia melindungiku dari ... apa?
"Seharusnya tempat tinggalmu steril dari makhluk-makhluk selain manusia. Setelah ini kamu punya dua pilihan, tinggal bersamaku atau aku pindah kemari," ucap Alex.
"Tapi itu bukan pilihan! Keduanya sama saja!" Aku menatap tato sepasang sayap di punggung lebar Alex. Uhm ... sepertinya nyaman bersandar di punggung kokoh ini.
Alex menoleh, "Tunda dulu keinginanmu, Cantik. Aku bereskan dulu makhluk satu ini."
"Apa sih?" Malu karena ketahuan aku memalingkan wajah.
"Kamu pernah melihat wujudnya?" Alex kembali fokus pada si poltergeist.
"Belum pernah. Dia cuma menulis 'help' di mana-mana."
Cepat sekali Alex menangkap sebuah gunting yang melayang dengan kecepatan tinggi ke arahnya. Jantungku berdebar kencang. Kenapa jadi begini? Aku tidak pernah bertemu hantu yang berusaha menyakiti manusia!
"Bukan 'dia', tapi 'mereka'," ucap Alex.
Aku ternganga, "Mereka? Ada berapa banyak?"
"Belum bisa kupastikan. Pakai baju. Kita harus keluar dari sini. Kehadiran kita berdua menarik perhatian semua penghuni gedung apartemen."
Sialan. Belum pernah aku berpakaian secepat ini. Sambil memakai celana jeans kuperhatikan Alex selalu menempatkan diri di antaraku dan benda-benda yang melayang itu. Berbeda denganku yang keribetan, lelaki itu memakai kemejanya dengan santai.
"Pegang tanganku." Alex mengulurkan tangan.
"Kenapa harus begitu?" Tetap, yang namanya Eliana harus menunjukkan perlawanan.
Lelaki itu menoleh. Aku meringis. Tatapannya seolah sedang mengomeliku.
"Menghadapimu memang tidak bisa menggunakan cara biasa." Alex pun berbalik.
"Harus seperti ini??" Aku protes keras karena dia memanggulku di bahu seperti membawa sekarung beras. Yah, siapa suruh aku melawan di saat suasana sedang serius-seriusnya.
"Dan kamu heran kenapa aku sering memaksa."
"Memang!"
Tanpa hambatan berarti—selain melewati lemparan pisau dapur—Alex berhasil membawaku turun ke lobby. Dia tidak peduli menjadi tontonan orang, tapi aku peduli! Entah kenapa para security tidak menghentikannya! Aku pun pasrah dipanggul sampai ke mobil.
"Masuk."
Oh, wow. Dia membukakan pintu mobil untukku. Double wow.
"Eliana, masuk," ulangnya.
"Masuk ya masuk." Sambil menggerutu aku masuk ke mobil. Dari dalam kulihat dia geleng-geleng kepala sebelum berlari mengitari mobil dan masuk ke sisi pengemudi.
Aku heran ketika Alex hanya duduk diam. Bukankah dia yang mau pergi dari sini?
"Mesin mobil tidak bisa menyala, Cantik. Sepertinya kita harus mencari akar masalah. Kamu berani?" Lelaki itu tersenyum menawan.
Apa kabarnya hatiku? Jantung? Otak? Semua baik-baik saja 'kan melihat senyum yang demikian menggoda? Sepertinya aku bahkan tidak akan menolak kalau Alex menciumku sekarang.
"Tunggu urusan di sini beres. Aku akan melakukannya dengan senang hati." Senyum menawan itu pun berubah menjadi seringai jahat.
"A–apa?" Wajahku terasa panas. Rupanya sejenak aku melupakan fakta kalau lelaki b******k yang tampan ini bisa membaca pikiranku.
Beberapa saat kemudian ...
Aneh. Hawa di basement terasa panas dan menyesakkan. Seumur-umur tinggal di sini aku memang tidak pernah turun sampai basement sih. Tidak ada keperluan untuk itu. Lagipula basement level dua ini lebih banyak difungsikan sebagai gudang.
"Aduh ...!" Mendadak kakiku tersandung sesuatu. Untung Alex sigap menangkap, kalau tidak aku bisa mencium lantai beton.
"Apaan tuh?" Aku mengernyit melihat ada akar pohon melintang di tengah jalan.
"Kita sudah dekat," kata Alex tanpa ujung pangkal.
"Eh, maksud?"
"Kamu pernah melihat makhluk kegelapan yang menyerap energi roh manusia?"
Mataku membulat. Ucapan datar Alex membuat bulu kudukku meremang. Kenapa dia malah bercerita horor di suasana yang sudah horor ini? Biar sering ngobrol dengan hantu, tapi aku masih punya rasa takut loh!
"Aku pernah beberapa kali melihat makhluk seperti ini. Mereka menetap di tempat yang memiliki banyak kematian, entah wajar atau tidak. Roh-roh orang mati tersebut menjadi 'makanan' mereka."
Spontan aku merapat pada Alex. Dia mengerti dan menggandeng tanganku. Seketika rasa sejuk mengalir ke seluruh tubuh. Rasa takut tadi menguap bak uap panas dan keluar melalui punggungku. Nyaman sekali.
"Thank you," lirihku.
"Sama-sama, Cantik. Sekarang buka mata dan jangan terlepas dariku. Oke?"
Kali ini aku tidak melawan perintahnya.
"Eliana ...."
Asli, bulu kudukku kembali meremang. Padahal aku sudah terbiasa mendengar hantu memanggil namaku.
"Eliana ... tolong ...."
"Eliana ...."
Sial. Kalau aku mendapat uang setiap kali namaku dipanggil, aku pasti sudah kaya raya melebihi raja minyak!
Semakin jauh kami berjalan bisikan-bisikan itu bertambah berisik. Kalau bisa aku ingin menutup telinga, tapi satu tanganku sedang digenggam erat oleh Alex.
"Mereka semua tahu namaku loh," kataku setengah takjub setengah ngeri.
Alex tidak memberi tanggapan. Yah, mungkin dia sedang fokus mencari sesuatu yang tak kasat mata. Aku pun ikut hening. Sialnya baru hendak masuk ke mode serius lagi-lagi kakiku tersandung sesuatu. Wajahku pun menabrak lengan atas Alex yang kekar.
Lelaki itu menoleh, "Sabarlah, Cantik. Nanti ada saatnya untuk kita berduaan."
"Apaan??" Aku mengusap hidungku. Aman. Bentuknya belum berubah.
Suara geraman rendah seperti binatang sukses membetot pikiranku dari lengan Alex yang berotot. Argh. Sialan. Baru tiga hari bertemu lelaki ini sudah membuat pikiranku sering melenceng ...
Tahu-tahu Alex berhenti.
"Panas banget di sini," bisikku sambil menarik tangan lelaki itu.
"Tentu saja. Makhluk itu ada di hadapan kita."