"Alex?"
Tidak ada suara.
Loh, lelaki ini benaran tertidur? Terus bagaimana dengan perkara memesan makanan? Aku lapar ...
"Ugh, berat sekali. Makan apa sih ni orang?" Aku berusaha keluar dari pelukannya.
"Mau ke mana, Cantik?" Lengan Alex menarikku kembali.
"Mau cari makan. Lapar nih. Katanya mau pesanin makanan," keluhku.
Alex membuka mata, "Ambilkan handphoneku."
Aku celingak-celinguk ke segala arah, "Di mana?"
"Saku celana."
"Ih! Ambil sendiri!"
Beberapa waktu kemudian meja makan sudah dipenuhi kotak-kotak makanan. Aroma dan penampilan semuanya sangat menggugah selera! Hmm ... harum sekali.
"Makanlah duluan. Aku mau tidur sebentar," kata Alex.
"Eh ... oke." Aku menatap punggung Alex menghilang di dalam kamar. Dia benar-benar lelah ya?
Dengan tidak adanya si pemilik penthouse aku lebih leluasa bergerak. Aku memeriksa dapur dan menemukan peralatan makan di bufet. Suasana sangat sepi, tapi tidak mencekam. Teringat pada perkataan Alex bahwa seharusnya tempat tinggalku steril ... Apakah penthouse ini steril?
Perut yang berbunyi memperingatkan bahwa aku memakai banyak energi untuk berpikir. Baiklah. Mari kita makan. Agar tidak terlalu suram aku memutuskan untuk makan di balkon. Rasanya seperti makan di restoran rooftop.
Hembusan angin sedikit kencang, tapi aku menyukainya. Sejuk, seperti di tepi pantai. Kusadari, aku nyaman berada di tempat ini. Apakah di kemudian hari aku akan menetap bersama Alex? Hatiku gentar membayangkan hal tersebut.
"Nenek ... kenapa aku diikat dengannya? Aku nggak kenal dia, dan dia cukup menakutkan ...," lirihku pada angin.
"Aku belum mau menyerah padanya ...."
"Bagaimana kalau dia memperlakukanku dengan tidak baik ...? Ke mana aku harus mengadu ...?"
Duh, kenapa mendadak jadi melankolis begini? Seumur-umur aku tidak pernah mengeluh, apalagi merasa takut. Lalu, kenapa sekarang takut terhadap seorang lelaki? Apa karena dia adalah lelaki tipeku? Wajah tampan dengan tubuh ideal?
Aku mendekap wajah karena malu dengan pikiran sendiri. Sudah ah. Lama-lama aku bisa seperti orang sakit jiwa nih. Mana tidak ada hantu yang muncul untuk jadi teman ngobrol.
Selesai makan aku masuk ke dalam sebelum masuk angin. Seperti kebiasaan di tempat tinggal sendiri, semua makanan yang masih ada kusimpan baik-baik dalam kulkas, semua peralatan makan bekas kucuci bersih dan simpan kembali dalam bufet. Berikutnya bersantai, tapi di mana?
Samar-samar kudengar suara denting handphone. Ada pesan masuk di handphoneku! Jangan-jangan dari kantor! Bergegas aku masuk ke kamar, teralih sejenak oleh penampakan Alex yang rebah telungkup tanpa baju, menemukan ranselku di tempat tidur. Tanpa belas kasihan aku mengubek-ubek ransel dan mengeluarkan handphone. Segera kuperiksa benda pipih itu. Oh, ternyata Riana. Bukan sesuatu yang penting deh.
"Hmm ... pikiranmu selalu ramai," gumam Alex.
Aku meringis, "Bikin kamu terbangun ya? Sorry deh. Tidur lagi sana. Aku duduk di luar saja."
"Jangan. Kemarilah, Cantik."
Celaka tiga belas. Kenapa tatapannya seperti itu? Kakiku jadi bergerak sendiri, 'kan??
Alex terkekeh, "Duduklah di sini. Aku hanya ingin bersandar."
"Di sini?" Aku membeo.
"Ya. Kecuali kamu mau berbaring di atasku."
Sialan. Otakku langsung menciptakan visual akan posisi tersebut. Bagaimana rasanya berbaring di atas ... Argh! Stop!
Akhirnya aku pasrah. Aku duduk bersandar di kepala tempat tidur dengan seorang lelaki setengah telanjang berbaring memeluk kedua kakiku. Wajahku pasti sudah tidak karuan, apalagi jantungku. Jangan demo terus berhenti berdetak ya??
"Eliana."
"Uhm ... ya?" Aku lemas, saudara-saudara. Bagaimana tidak? Dia menyebut namaku dengan suara berat nan seksi disertai sedikit desahan. Seandainya bisa kurekam ...
"Aku suka aroma tubuhmu."
Hampir saja aku menjawab 'aku juga'.
"Aku suka kepribadianmu."
Oke deh. Apa lagi?
"Dulu aku tidak berpikir bisa menyukaimu seperti ini. Kamu gadis kecil yang terlalu berisik bagiku."
"A–aku juga nggak suka kamu." Akhirnya suaraku bisa keluar!
Alex tertawa pelan, "Kamu benar-benar hipokrit."
"Terus saja ngomong begitu. Senang banget sih mengerjai orang?" ucapku keki.
Aku memekik kaget karena Alex menarik kakiku turun sehingga aku yang tadinya duduk bersandar jadi rebah. Dia mengungkungku dan menatap lembut. Tunggu dulu. Menatap lembut? Biasanya dia menatap seperti mau menelanku bulat-bulat?
"Kenapa, Cantik? Kamu lebih suka lelaki yang kasar? Aku bisa melakukannya dengan baik." Alex menyeringai.
"Nggak mau."
Lelaki itu terkekeh, "Aku tidak akan memaksamu melakukan hal yang tidak kamu inginkan, Gadis Kecil. Saat ini pun, aku hanya ingin bersandar pada istri kecilku yang cantik."
"Oh."
Kupikir Alex akan menindihku sampai kesulitan bernafas, tapi ternyata tidak. Tubuhnya rebah di sebelah tubuhku, sementara kepalanya yang bersandar di bahuku. Dalam posisi ini aku bisa melihat jelas tato sayap yang membentang di lengan atas Alex. Begitu detil.
"Sentuhlah kalau mau," gumam Alex.
"Aku nggak bisa bersembunyi darimu, bukan?" keluhku.
"Hmm."
Karena tidak ada yang bisa kulakukan, aku menatap langit-langit. Lama-lama rasa kantuk menghampiri. Dari nafas Alex yang teratur aku bisa menebak kalau lelaki itu sudah terlelap. Aku menguap lebar dan memejamkan mata.
Gelap dan nyaman. Itulah yang kurasakan dalam dunia mimpi. Aku sadar ini mimpi, kok. Rasanya jelas berbeda dengan dunia nyata. Namun, sayang sekali aku tidak bisa jadi creator dunia mimpi, dalam arti tidak bisa mengatur keinginan di dalam mimpi.
"Eliana."
Setan alas! Suara itu!
"Eliana. Kemarilah, Cantik."
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu sosok Alex berdiri di hadapanku. Aku terkesiap melihat sepasang mata tajamnya berkilau bak mata seekor serigala. Tunggu dulu! Dia manusia tulen, 'kan??
Bahkan dalam mimpi pun lelaki ini bersikap dominan. Tubuh besarnya menghimpit tubuhku di dinding, tangannya melingkar di leherku, dan bibir tipisnya menciumku dengan ahli. Mumpung ada dalam mimpi aku berjinjit agar dapat memeluk lehernya. Kalau di dunia nyata mana aku berani? Bisa-bisa berlanjut ke adegan plus-plus dong?
Alex dalam mimpi merebahkanku di tempat tidur—yang entah muncul dari mana—dan kami melanjutkan berciuman. Seperti harapanku tangan lelaki itu bergeser ke bawah. Aku sudah siap merasakan efek dari sentuhannya.
Mendadak dia berhenti. Aku menatap heran.
"Bangun, Cantik. Kita lanjutkan di alam sadar," ucapnya dengan nada menggoda.
Aku terbelalak, "Apa ...?"
Dunia mimpiku buyar. Kesadaranku terbetot kembali ke dunia nyata. Aku mengejapkan mata karena silau oleh cahaya terang matahari yang masuk lewat jendela. Alex sudah bangun dan sedang memandangiku dengan penuh arti.
"Permisi, aku mau ke kamar mandi." Aku mendorong lengan Alex yang masih memelukku.
"Jangan lama-lama, Cantik. Atau aku akan menyusul." Bibir tipis itu tersenyum.
Cepat-cepat aku melompat turun dari tempat tidur. Dasar sial, karena baru bangun tidur kakiku lemas dan aku jatuh berlutut. Untung di bawah tempat tidur dilapisi karpet jadi lututku aman.
"Aduh ... b******k ...," gerutuku yang bangkit tertatih-tatih.
"Kenapa lemas begitu? Aku belum melakukan apa-apa terhadapmu," goda Alex.
"Apaan sih? Dasar ... reseh."
Yakin aman setelah mengunci pintu kamar mandi, aku meratap di depan cermin. Mimpiku tadi ... Apakah Alex masuk ke dalam mimpiku?? Tapi bagaimana caranya?? Apakah semua karena cincin obsidian ini?
Gemas, aku melumuri tanganku dengan sabun dalam upaya melepas cincin. Herannya cincin ini seolah menancapkan akar di jari manisku. Usahaku nihil, saudara-saudara.
"Argh! Lepas dong! Nggak bisa begini terus!" Saking kesalnya aku memukul wastafel. Apakah berhasil memecahkan cincin batu kristal tersebut? Jelas tidak lah! Malah tanganku yang sakit.
Seolah belum cukup sibuk, suara ketukan di pintu membuatku terlompat kaget. Aku lupa ini penthouse Alex. Aku membasuh tangan dan membuka pintu.
"Ya? Ada apa? Kamu mau pakai kamar mandi? Silakan." Aku berjalan melewati lelaki tinggi besar itu.
"Why so hurry?"
Seharusnya sudah kuduga, tidak akan lolos semudah itu dari Alex. Tangan besarnya meraihku, memeluk pinggangku sampai kedua kaki terangkat dari lantai. Kami bertatapan sejenak.
"Biar kujelaskan lagi, cantik. Kita sudah terikat sejak kamu berusia tujuh belas tahun, sejak kematian Virginia. Tidak ada cara untuk melepas dua jiwa yang terikat. Bahkan tidak dengan melepas cincin ini." Alex mengangkat tangan kanannya yang memakai cincin.
Aku berusaha untuk bernafas normal. Tatapan lelaki ini menembus jiwaku, sedangkan kehangatannya menembus lapisan pakaianku.
"Kamu memahami maksudku? Ikatan di antara kita melebihi ikatan di antara suami istri. Berusaha sekeras apa pun, menolak seperti apa pun, pada kenyataannya kamu sudah menjadi milikku, Eliana."