Dua hari telah berlalu sejak Aira yang ditemukan kesakitan di pojok tempat tidur dengan kerusakkan pada tombol darurat yang mencurigakan. Alpha mengusulkan untuk memasang alat penyadap suara rahasia di ruang rawat adiknya. Hanya kelima dokter muda itu saja yang mengetahui alat tersebut bersemayam di sana. Lia dan yang lainnya pun bahkan tak mengetahui itu.
Ketika pagi datang, Aira kembali membuka matanya. Sejak saat itu ruangannya tak pernah lagi sepi. Aira tak pernah lagi dibiarkan sendirian di sana. Mulai dari Kakaknya hingga ke dokter Tae Young, mereka selalu menemani Aira. Atau sesekali Ayah jika datang berkunjung.
Ngomong-ngomong, Ayah Adnan masih bekerja. Namun bukan lagi sebagai buruh kuli tapi sebagai pegawai restoran milik saudara sepupunya Bintang.
Alpha telah bersikeras agar Ayah tidak lagi bekerja. Fokus pada keadaan tubuhnya yang semakin rentan dimakan usia. Tapi, sekeras itu juga keinginan Ayah agar tetap ingin bekerja. Katanya, tubuhnya akan sakit jika tidak dibawa bekerja. Jadi, Bintang mengusulkan pekerjaan tersebut disaat restoran milik sepupunya membutuhkan pegawai.
Setidaknya, Ayah tidak lagi bekerja di bawah panas matahari secara langsung ataupun mengangkat beban yang terlalu berat. Sehingga, meski berat Alpha mengizinkannya.
Kembali ke Aita dan Kaindra.
Seperti saat ini, Kaindra yang menemani Aira. Alpha dan Bintang sedang ada operasi sebagai tim yang sama. Tae Young dan Julio sibuk dengan kegiatan mereka di devisi bedah mata dan penyakit dalam.
"Kamu lapar?"
Aira menggeleng.
Ketika mendapati Aira sudah bangun, Kai yang saat itu sedang duduk di sofa sembari membaca grafik yang ntah apa itu pun mendekat.
"Mau jalan-jalan tidak?"
Tawaran yang menyenangkan. Aira mengangguk cepat.
Ini masih pagi, udara masih segar. Lagi pula ia juga bosan mendekam di kamar rawatnya terus menerus. Dan ketika Kaindra menawarkannya tentu saja tidak boleh disia-siakan begitu saja.
Sebuah kursi roda sudah tersedia di kamar Aira. Alpha yang menyediakannya.
Kaindra bersiap mengambil kuri beroda tersebut namun, Aira segera mencegahnya.
"Ingin jalan saja, Dokter," ucapnya lemah.
"Tidak ingin naik kursi roda?"
Aira menggeleng, "Tidak mau. Mau jalan kaki saja."
"Tapi kamu bisa kelelahan, Ra." Yang tentu saja tidak disetujui usulannya.
Jarum infus yang terpasang di salah satu punggung tangannya sudah terlepas, oleh sebab itu Kaindra mengajaknya keluar. Aira juga perlu terkena sinar matahari. Berjemur meski tidak terlalu lama. Tapi, keinginan gadis itu yang pergi tanpa kursi roda agak memberatkan Kai.
"Dokter ... boleh ya?" Dengan mata puppy andalannya. Meski sebenarnya tidak Aira buat-buat. Matanya memang seminimalis itu.
Kaindra berdecak, "Anak kambing siapa sih kamu ini? Manis sekali." Ia lemah kalau begini. Aira yang dasarnya cantik semakin terlihat imut dengan wajah seperti itu.
Huh, untung dia sudah memiliki kekasih. Lagi pula Kaindra tidak berniat berpacaran dengan anak remaja. Ya ampun, geli batinnya.
"Oke, kali ini saja."
Maka, ada Aira yang tersenyum lebar.
"Ayo Dokter," ucapnya semangat.
Dengan cepat ia turun dari ranjang pasien dengan gerakkan meluncur. Membuat Kaindra yang meyaksikan di ujung sana hampir terkena serangan jantung.
"Ya Tuhan, Aira. Kenapa tidak panggil aku saja saat hendak turun?! Kamu ini gegabah sekali, kalau jatuh bagaimana? Nanti aku juga yang kena marah Alpha!" omel Kaindra.
Karena sesungguhnya, tinggi tempat tidur Aira lumayan juga. Dan gadis itu meluncur seolah sedang naik perosotan.
Kalau begini terus, fix Kaindra bisa depresot!
"Hehe ... gak papa kok, Dok. Yuk kita pergi." Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Wajah Aira kelewat polos.
Oh astaga astaga!
"Nanti dulu, kamu minum dulu. Makan buahnya kalau belum lapar." Kaindra mengambil sebuah apel di atas nakas.
"Iya, nanti aku makan kok," ucap Aira seraya merebut buah berwarna merah tersebut ke dalam genggamannya. Dan ia bawa bersama mereka ke taman belakang rumah sakit.
***
Dua jam, sudah dua jam berlalu semenjak kehadiran Kaindra dan Aira di taman belakang rumah sakit.
Tempat yang asri dan bersih. Luas tamannya memang tak seluas halaman depan rumah sakit atau seluas lapangan depan rumah sakit tapi, halaman belakang ini adalah menjadi favorit Aira dan mungkin saja juga tempat favorit pasien yang lain. Sebab, dari tadi di sini ramai sekali.
Tidak banyak hal yang mereka bicarakan di sana. Kaindra lebih banyak menghabiskan waktunya dengan tablet pintar di tangannya. Membaca dengan serius dan kacamata yang bertengger di sana menambah kesan manly seorang Dokter Kaindra.
Uhh ... Aira terkesiap. Sejauh mana pikirannya melayang.
"Ada yang ingin kamu tanyakan, Aira?"
"Eh?" Gadis berseragam rumah sakit itu menoleh. Orang di sebelahnya yang dari tadi ia pandangi sedang balas memandangnya.
Mendadak gugup. Dalam keadaan seperti ini, Aira merasa kecil sekali. Kaindra terligat seperti monster beruang dengan tubuh nesar dan tingginya itu.
Walau sebenarnya orang-orang di sekelilingnya besar semua. Kak Alpha, Kak Chandra, dokter Julio. Hanya Kak Bintang dan dokter satu baru itu yang tidak terlalu besar bobot tubuhnya.
Oh iya, Aira lupa nama dokter satu lagi itu. Padahal Kak Alpha pernah menyebutkan namanya.
Dia ini memang pelupa sekali.
"Aira? Mengkhayal lagi."
Aira tersenyum sesaat, menunjukkan deretan gigi putihnya yang terawat.
"Ada apa hum?"
"Sebenarnya banyak hal yang ingin kutanyakan pada Dokter tapi, aku lupa apa saja," ucapnya.
Kaindra menggeleng sejenak, "Jangan dipaksakan, coba diingat dulu satu-satu dan tanyakan satu-satu juga."
Aira menghela napas panjang.
Mulai dari mana ya? Ia bingung astaga.
Oh iya!
"Mengenai lukisanku, bagaimana menurutmu? Baguskah?" Aira mencicit.
Kaindra menghentikan sejenak kegiatannya. Lantas ia mengangguk.
"Bagus, bagus sekali," jawabnya.
Terbirit senyum membentuk kurva yang indah di paras jelita Aira. Gadis itu merona dengan sendirinya. Dan hal tersebut tak luput dari perhatian Kaindra. Ya ampun dia gemas.
"Berapa sih umurmu, comel sekali," ucap Kai. Kacamata di pangkal hidungnya ia lepas, menatap Aira dengan mata telanjangnya.
"Hehe ..."
"Lagi?"
Ah iya, pertanyaan kedua.
"Ini tentang-"
Drrtt ... drrtt ...
"Sebentar, Ra. Ponselku berbunyi."
Kai merogoh benda pipih dari dalam saku snellinya. Panggilan suara. Terpaksa Aira mengunci bibirnya sesaat.
"Halo, Der. Ada apa?"
Terserahlah, Aira tidak ingin mendengarkan perbincangan mereka. Bahasa yang Dokter Kaindra ucapkan terlalu asing baginya. Dan banyak nama senyawa ilmiah.
Ada istilah transfusi dan penanganan. Sudah pasti membahas tentang pekerjaan, ya namanya juga dokter. Lalu benar-benar berbicara dalam bahasa asing. Yang bisa Aira ketahui dari logatnya, juga beberapa kata yang ia ketahui.
"Merci, au revoir ..."
Itu bahasa Prancis.
Wow!
Matanya berbinar takjub.
Panggilan pun terputus. Kai menyimpan kembali ponselnya dan menatap Aira yang masih tersenyum sembari menatapnya.
"Ada apa Aira?"
"Eh, tidak ada. Hehe ... dokter bisa berbahasa Prancis?" tanyanya.
"Kamu mengerti itu tadi bahasa Prancis?"
Aira mengangguk sekenanya. "Tentu saja, begini-begini aku tidak terlalu bloon ya Dokter," sungutnya. Kaindra tergelak puas.
"Oke Aira, mungkin pertanyaanmu akan kecancle sampai sini dulu. Ada pasien lain yang membutuhkanku. Jadi, ayo kita kembali ke ruanganmu ya?"
Aira menyamarkan senyumnya, berganti datar yang biasa ia tunjukkan.
"Hmm, baiklah."
"Aku saja. Aira kembali ke ruanganya bersamaku." Suara lain menyambar perbincangan mereka.
Suara itu?
Aira dan Kai melihat ke arah datangnya vokal berat tersebut.
"Kak Alpha?"
Sosoknya yang Aira lihat di depan sana.