Bab 41

1129 Kata
"Aira kembali ke ruangannya bersamaku." Suara berat yang sangat Aira kenali. Gadis itu lekas menoleh dan senyumnua berkembang lebar. Itu Kakaknya. Yang berdiri di ujung sana dengan snelli dokternya. "Kak Alpha?" ucapnya antusias. Aira yang selalu bersemangat ditiap dekat dengan gerangan. Alpha mendekat, sampai tubuh jakungnya berada di dekat Aira. Kaindra segera beranjak diikuti oleh gadis tunggal di sana. "Operasinya lancar?" Kaindra bertanya. "Alhamdulillah, tidak ada kendala sama sekali," jawab Alpha. "Terima kasih Kak Alpha ..." Bukan, itu bukan suara milik Aira. Lalu? Seseorang menarik sejumput celana kain yang Alpha kenakan. Praktis pria itu menunduk untuk melihat siapa gerangan. "Valencia?" Gadis kecil dengan dress merah muda bercampur tali-tali putih dan aksen bunga kecil di bagian ujung lehernya. Membuat gadis kecil tersebut tampak sangat manis. Kini, tubuh jakung Alpha telah sejajar dengan tinggi si gadis kecil. Ia berlutut menatap wajah imutnya. "Ada apa kamu kesini, Valencia?" Alpha bertanya. Menelusuri raut manis itu mengerjap polos. "Kata Papa kita harus berterima kasih pada seseorang yang telah menyelamatkan kita. Kak Alpha sudah membantu menyembukan Mama, makanya Cia harus berterima kasih pada Kak Alpha." Penjelasan yang membuat Kaindra paham dengan cepat. Pria berkulit tan itu menepuk pundak Alpha sesaat. Tak lupa melirik Aira dengan tatapan teduhnya. "Aku pergi sekarang. Pasienku tidak bisa menunggu lagi. Bye Cia ..." Dan diakhiri dengan lambaian tangan pada gadis kecil di sana. Valencia membalas dengan ucapan yang sama dan senyum yang tersungging lebar. "Pai pai Dokter ..." Aira terkekeh di tempatnya. Alpha pun demikian. Dalam sekali gerakkan, bocah perempuan itu sudah berada dalam gendongan Alpha. Valencia tidak mempermasalahkan itu, dia justru senang. Mereka cukup dekat. "Ini siapa, Kak?" tanyanya menunjuk pada Aira yang melihat interaksi mereka. "Kenapa hum?" Alpha membetulkan letak kepang dua Valencia yang mencuat keluar. "Cantik sekali, seperti barbie," jawab si kecil antusias. "Wow!" Lagi, Valencia bersorak kagum. Pandangannya tak lepas menatap Aira yang masih terkikik geli. "Ini adiknya Kakak, namanya Aira." Alpha menjelaskan. "Yang pernah Kakak bilang gadis yang sangat Kakak sayangi itu?" Oppsie, keceplosan. Valencia segera menutup mulutnya dengan tangan kecilnya ketika melihat tatapan Alpha mengarah padanya. Mereka sudah membuat janji untuk tidak menceritakan hal yang mereka bagi berdua kepada orang lain. Paras kecil imut itu sudah mencebik sedih. Alpha tergelak keras, menyusutkan kesedihan Valencia dengan cepat. "Tidak apa-apa, Valencia. Iya, ini orang yang sering Kakak ceritakan. Bagaimana?" Di gendongan Alpha, Valencia bertepuk tangan. "Cantik! Cantik sekali," sahutnya semangat. Aira tak kuasa menahan tawanya dari tadi. Melupakan sesaat rasa sakit pada bagian dadanya yang agak mengganggu. Suasananya sedang bagus, ia tidak ingin merusak hal yang menyenangkan ini. Lagi pula rasa sakitnya tidak separah yang kemarin-kemarin saat ia merasa kesakitan pada bagian perut bawahnya. Jadi, Aira masih bisa menahannya. "Terima kasih, Cia. Kamu juga cantik. Cantik sekali." Balasan Aira membuatnya tersipu malu. Astaga, benar-benar menggemaskan. Aira jadi pengin cubit manja pipi gembulnya. "Tapi, kenapa Kak Aira memakai pakaian yang sama dengan Mama, Kak? Kata Papa pakaian seperti ini hanya untuk orang yang sakit?!" Alpha melirik adiknya yang terdiam di sebelahnya. Mendekat satu langkah ke kiri, ketika jaraknya dengan Aira tak terlalu jauh ia mengambil kelima jari lentik itu untuk ia bawa dalam genggamannya. Menyuguhkan senyuman terbaik yang ia punya saat empunya jari membalas tatapannya. "Uhum, Kak Airanya sedang sakit. Jadi pakai baju itu," jawab Alpha. "Kak Aira lagi sakit tapi masih secantik ini. Wah ..." Lagi-lagi decak kagum bocah itu membuat sepasang kakak beradik di sana tertawa. "Kakak kan sudah bilang, Kak Aira itu memang sangat cantik. Sama seperti kamu." Yang Alpha jawil hidung kecil Valencia. "Semoga lekas sembuh ya Kak Aira. Nanti kalau sudah sembuh kita main bersama." Aira mengangguk, "Iya Cia, terima kasih ..." "Sama-sama Kak Aira." Musim panas kali ini terasa sangat berbeda. Itu yang Alpha rasakan. Bersama Aira, baik dalam sedih maupun senang semuanya sangat indah baginya. Kecuali satu hal, fakta bahwa gadis yang ia cintai sedang berjuang dengan sakitnya. Banyak waktu yang telah ia lewatkan sejak dulu bersama Airanya. Tumbuh kembang adiknya yang tak pernah Alpha anggap penting dulu. Melewatkan banyak masa-masa terbaik dan membuat Aira tersakiti. Bahkan ia pernah secara langsung mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan pada Aira kecil. How stupid is he?! Alpha mengahardik diri sendiri. Pagi itu, di bawah langit biru dengan sinar mentari yang jatuh di atas kepala mereka, Alpha merasakan momen tersebut sangat berarti baginya. Ditemani gadis yang sangat berharga pula baginya. Seolah beban hidup yang ada pun terangkat dengan sendirinya. Dan semakin merasakan euforia bahagia itu di tengah rasa kekalutannya yang kental. Ya, Alpha sangat-sangat bersyukur. Setidaknya, Tuhan masih memberinya secuil kebahagiaan dan melibatkan Aira di dalamnya. Karena bagi Alpha, dunianya tanpa Aira adalah kelabu. Aira berhasil menariknya keluar dari zona merah, menuntunnya melangkah pergi dari lubang hitam yang sempat membuatnya terperosok jauh ke sana hingga dirinya hampir dibutakan oleh praduganya sendiri. Namun, disaat ia yang sudah kembali menemukan pijakkannya. Menyayangi Aira, mengasihi Aira, dan mencintai Aira, kenapa Aira harus menderita sakit itu semua? Tidak bisakah itu dialihkan saja ke tubuhnya?! Fakta lainnya, bahwa ia mencintai gadis yang tidak seharusnya ia cintai. Ya, kerumitan ini yang Alpha alami sekarang. "Anginnya semakin kencang, kita kembali ke ruangan kamu ya?" tanyanya lembut pada sosok mungil di sebelahnya yang masih menikmati cerahnya cuaca yang mulai merangkak siang. Snelli milik Alpha telah tersampir di bahu sempit Aira. "Iya, aku juga mulai lapar, Kak." Menampilkan cengiran khasnya. Alpha mengusak sayang surai legam Aira. Ngomong-ngomong, Valencia sudah kembali pada Papa dan Mamanya setelah seorang pria yang Alpha kenali sebagai ayah dari bocah tersebut menghampirinya. Papanya Valencia juga memberi dua bungkus roti berukuran cukup besar pada Alpha. Katanya, ucapan terima kasih dari Valencia untuk Kakak dokter yang tampan. Hal tersebut Aira tanggapi dengan tawa cerianya. Dan kedua isi bungkus roti tersebut sudah berhijrah ke dalam perut Aira. "Hoam ... ayo Kak kita kembali. Aku ngantuk sekali." Alpha terkekeh gemas, mengusap sayang pipi kemerahan adiknya. "Tadi kamu bilang lapar, sekarang bilang mengantuk." "Ngantuk aja deh Kak, laparnya dicancle dulu." Memang bisa begitu? Dasar Aira. "Eh! Loh Kak kenapa Aira digendong?" Aira kalang kabut. Celingukkan ke kanan-kiri. Alpha menggendongnya, bagaimana kalau ada yang melihat mereka? Gendong depan lagi. Bukan ala bridal style tapi seperti ibu yang menggendong bayi mereka saat si bayi menangis. Ya ampun, Aira malu sekali. Wajahnya sudah semerah rebusan air stroberi. "Kak ..." protes Aira. "Kakak hanya ingin memastikan kamu tidak terkena sapuan angin dengam kencang." "Yasudah gendong depan saja tapi jangan seperti ini bentuknya, Kak." Aira malu. Tentu saja. Bisa-bisa orang lain yang melihat akan menganggapnya manja. "Oke, gendong depan biasa," putus Alpha. Yakni gaya bridal. Ya, begini lebih baik. Aira lekas melingkarkan kedua lengannya di leher Alpha, sementara kepalanya terkulai di bahu bidang tersebut. Satu hal yang Aira rasakan, nyaman. Tidak sampai satu menit, Aira telah menutup kedua matanya. Alpha terkekeh, "Ngantuk sekali ya?" Dan ia sematkan kecupan singkat di dahi putih adiknya. Sungguh kisah yang indah dan menyedihkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN