"Eh bentar deh, Ris. Dompet gue mana ya?" Sheila menghentikan langkahnya. Mengobok isi tas jinjing yang ia bawa. Irish duduk di kursi pengemudi, kuda besi mereka melenggang lancar di jalanan sepulangnya dari rumah sakit seusai menjenguk Aira.
Meskipun Sheila tidak berminat menjenguk. Ia hanya ingin bertemu Alpha dan terlihat perhatian kepada adiknya agar Alpha semakin jatuh hati padanya. Namun, saat tiba di rumah sakit tadi, pria itu malah sedang sibuk. Sehingga ia hanya mengobrol dengan Aira, Alpha bahkan menitipkan gadis tanggung itu kepadanya.
Ck, merepotkan!
Jika bukan karena Alpha, mana sudi dia.
"Kayaknya ketinggalan deh di ruangannya Aira tadi," ucapnya pada Irish yang seketika membulatkan matanya.
"Jangan ngadi-ngadi deh, Sheil. Dah jauh banget nih kita dari rumah sakit." omel wanita ber-blouse putih tersebut.
"Iya nih beneran ketinggalan, puter balik, Ris."
Dan decakkan jengkel Irish terdengar merdu. Dengan wajah bersungut-sungut, ia memutar stir pasrah. Membelokkan arah kembali ke rumah sakit tempat Aira di rawat.
"Dicek sekali lagi, mana tau nyempil di tempat-tempat apa gitu."
"Gak ada, Irish bawel. Yaudah sih tinggal puter balik aja lo elah. Susah amat!"
Irish memutar bola mata malas.
Dari Timur ke Barat, melalui Selatan, Barat Daya, hingga sampai ke tujuan. Sepanjang perjalanan itu pula Irish menggeretu membuat telinga Sheila memanas.
"Dah dah, gak usah ngerap terus. Lo tunggu di mobil aja, gue yang turun!"
"Nah gitu dong." Sheila yang kali ini memutar bola mata malas.
Pintu tertutup dengan keras. Sheila segera menuju ruang rawat Aira.
"Kira-kira Alpha masih di sana gak ya? Duh baru aja ketemu tadi udah kangen lagi. Hihi ..." Diakhiri kikikkan kecilnya.
Sampai tepat kaki jenjangnya yang menjejak di sana. Sheila mendengar teriakan dari dalam.
"Eh?!" Ia tersentak kaget dan bergegas membuka daun pintu.
"Aira?"
"Kamu makan ya? Kakak ambilkan sebentar di pantry," ucap Alpha.
"Hum." Aira balas dengan anggukan kecilnya.
"Kalau perlu sesuatu selagi Kakak keluar jangan lupa pencet tombol daruratnya."
"Iya, Kak Alpha."
Lantas Alpha keluar, tak lama setelahnya Aira menyusun bantal menyamankan posisi duduknya yang bersandar di kepala ranjang pasiennya.
Namun, ketika ia hendak meraih segelas air di atas nakas yang berada di sampingnya, Aira meringis perlahan.
"Aduh!" Pekikkan ringan meluncur dari bibirnya tatkala rasa sakit menyerang bagian perut sebelah kiri bawah Aira.
Ia menekan cukup keras pada bagian yang sakit tersebut. Bermaksud agar nyerinya sedikit menghilang. Tapi,
"Akhh!"
Gelas berisi air putih yang hendak Aira ambil jatuh, berserakkan menjadi serpihan di lantai. Sementara nyeri di bawah rusuk kirinya semakin menjadi.
"Akhh, sakit ..."
Bersamaan dengan itu, pintu ruangannya terbuka. Masih dengan menahan nyeri yang luar biasa di sana, Aira mendongak. Menatap siapa gerangan yang datang dan dapat membantunya. Karena ia sedang berusaha meraih tombol darurat di dinding atas dekat nakas.
Namun, yang ia lihat,
"Kak Sheila?"
Wanita itu bergeming, menatap sekeliling dan keadaan secara ramdom. Pecahan kaca dan gadis di atas brankar yang bergelung kesakitan. Aira bahkan merintih terputus-putus padanya.
"Kak Sh-Sheila, tolong akhh teh-kan tombol dar-ruratnya, Kak."
Tekanan tangan Aira pada perutnya semakin erat. Sesekali matanya memejam merasakan serangan mendadak itu, harapannya hanya satu, siapa pun tolong dirinya.
Dan di depan sana, Sheila berdiri. Wanita itu menatap padanya dengan mata membulat namun, enggan mendekat. Tak kunjung bereaksi apa-apa.
"Kak Sheila tolong ..." Sekali lagi.
Sheila mendekat, berhenti tepat di depan nakas yang keberadaan tombol darurat itu kurang dari 15cm di hadapannya.
Set!
Dompet lipat wanita berwarna daisy di atas nakas dengan cepat Sheila ambil. Kini, benda itu secepat kilat berada dalam genggamannya.
Aira masih sama, memegangi sisi kiri tubuhnya dan menatap dirinya dengan mata memelas.
"Kakh!"
Alih-alih membantu dengan menekan tombol darurat, Sheila justru berucap, "Sorry ya, Ra. Gue kesini cuma mau ambil dompet yang ketinggalan. Bukan ngurusin orang sakit!"
Demikian ia yang segera menjauhi Aira, hendak keluar namun pergerakkan kakinya kembali terhenti di ujung. Sebelum benar-benar keluar, sekali lagi Sheila berkata dengan tampang angkuhnya, "Kayaknya emang lebih baik, lo gak harus ada di antara hubungan gue sama Alpha. Lo itu cuma nyusahin sana-sini. Dengar?!"
Setelahnya, barulah eksistensinya habis di telan daun pintu.
Meratapi bukanlah hal yang Aira sukai sejak dulu. Sedari kecil, ia telah tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik jelita dan tegar. Meski kepergian Ibu waktu itu pernah membuatnya menangis hingga berhari-hari namun, sekarang Aira adalah sosok yang penuh kekuatan.
Dirinyalah yang menguatkan diri sendiri. Bersembunyi, menyembunyikan, dan masih setia tersembunyi. Itu Aira.
"Akhh! Aduh!!"
Di lorong koridor, Bintang dan Julio baru selesai dari operasi mereka. Keduanya tengah bercakap ria sembari menuju ke ruang rawat Aira. Bintang yang rindu dengan princess kecilnya, sementara Julio tidak pernah bosan memandangi wajah Aira meski dalam waktu yang lama.
"Jangan suka sama Aira lah, Jul. Yang lain aja udah." Bintang berucap, membuat pria yang lebih tinggi di sebelahnya praktis mengernyitkan dahi kebingungan.
"Kenapa?"
"Gak liat? Pawangnya sejenis Alpha gitu?" Julio terkekeh.
Iya, kalau dipikir-pikir Alpha itu selain kakak yang berada dalam paket komplit juga merupakan tipe kakak yang posesif. Untuk mendekati Aira saja susah apalagi serius menginginkan gadis itu?!
Well, Aira pribadi yang menyenangkan. Gadis itu sungguh cantik di mata Julio, pun hatinya yang jernih.
"Kan kan, malah ngehaluin orang yang dilarang disukai," semprot Bintang lagi.
Julio masih anteng di sebelahnya. Kedua tangannya berada dalam saku. Terlihat cool dan amazinh disetiap langkahnya.
For your information, spesialis bedah jantung dan sejenisnya adalah gudang visual. Jadi eksistensi orang-orangnya memang se-wow itu.
"Gue belum cinta kok, Bi. Masih rencana tapi kalo suka udah." Diakhiri cengiran tampannya Julio bersuara.
Bintang menggelengkan kepala dengan bibir yang monyong-monyong kesal. Sibuk menyinyiri perasaan suka kepada Aira yang baiknya dicancle saja. Sebab, Bintang tahu. Ada Alpha yang menjadi garda utama pada siapa pun yang berani mendekati adiknya. Karena Aira spesial bagi pria itu.
Percakapan itu terhenti ketika kaki mereka telah sampai di depan pintu ruang rawat Aira. Yang langsung saja Bintang putar handle-nya.
Dan,
"AIRA?!"
"Ya Tuhan Aira!!!"
Gadis itu menyudut di pojokan kepala ranjang dengan kedua tangan yang menekan sisi kiri perut bawahnya. Terlihat jelas keringat yang membasahi seluruh wajahnya.
Kedua pria itu berlari mendekatinya.
"Ada apa, Ra? Apanya yang sakit?" tanya Bintang cepat. Wajahnya mendadak merah keseluruhan.
"Pe-rut," lirihnya dengan wajah pucat pasi.
"s**l!" maki Julio. Ia menekan tombol darurat di dekat nakas namun, benda merah itu tak berfungsi.
"Tombolnya rusak!" Julio berapi.
Pria itu segera mengeluarkan beberapa cairan dan suntik baru dari dalam saku snellinya. Bintang telah membaringkan Aira secara perlahan. Julio bertindak, cepat-cepat menyuntikkan cairan tersebut pada lengan Aira.
"Panggil Lia, Bi! Aira perlu infus." Julio memberikan perintah.
"Oke!" Bintang segera berlari keluar mencari orangnya.
Julio masih berkutat dengan cairan obat-obatan Aira dan menyuntik gadis itu sekali lagi. Ia melirik arah jarum jam menunjukkan pukul enam sore.
"Dimana Alpha?!" desisnya dengan rahang menggegat kuat.
Disaat seperti ini orang itu malah tidak ada.
Julio alihkan tatapannya kembali ke wajah pucat Aira. Oke, mari lupakan tentang Alpha sejenak.
"Ra ... hei. Masih sakit?" tanyanya lembut. Tangannya mengusap dahi putih Aira yang basah oleh keringat. Menyingkirkan beberapa helai anak rambut gadis itu yang menutupi paras tanpa rona kemerahannya.
Demi Tuhan, muka Aira seperti tanpa darah. Pucat layaknya kanvas putih.
"Perut kamu masih sakit?" Aira menggeleng kecil menjawabnya.
Julio mengangguk sekenanya. Masih setia mengusap pipi dan kelopak matanya. Ia telah menyuntikkan penghilang rasa sakit dan antibiotik tadi. Dosisnya cukup tinggi sehingga rasa sakit cepat tersamarkan. Namun, salah satu efek yang terlihat jelas adalah.
"Aira ngantuk, Kak." Ia berucap pelan.
Ya, efek dari obatnya mulai bekerja. Julio tersenyum singkat.
"Tidurlah, Kakak di sini menemani kamu selalu."
"Terima kasih Dokter, rasa sakitnya sudah hilang," ucap Aira polos. Dengan mata lima watt-nya yang hampir terpejam. Julio terkekeh dibuatnya.
"Sama-sama ... tidurlah."
"Hum." Secepat itu pula kedua kelopak yang menyimpan obsidian indah sejernih telaga itu kembali menutup.
Aira memasuki alam bawah sadarnya dengan segera. Obat penghilang rasa sakit itu membuatnya tertidur. Julio masih duduk di sana.
Wajah pucat yang terlihat sangat lemah itu membuatnya terenyuh. Secara naluriah tangannya merayap menggenggam jemari lentik Aira.
"Aira ... kenapa harus kamu?" monolognya.
Ya, kenapa harus Aira. Di antara milyaran manusia di muka bumi ini, mengapa harus Aira yang menanggung kesakitan ini semua. Gadis ini terlalu rapuh, definisi indah yang sesungguhnya. Mengapa demikian?
Sebab Julio tahu, Aira adalah gadis yang bukan hanya wajahnya saja yang cantik. Tapi juga dengan hatinya. Aira terlalu polos dan bersih dari perbuatan yang tidak baik. Meski baru mengenalnya, Julio dapat memahami itu. Pancaran dan sorot mata yang selalu mengerjap lembut tiap kali ia ajak bicara.
Aira, dia mampu menggetarkan sesuatu dalam diri Julio yang selama beberapa tahun ini tak pernah ia rasakan. Jatuh cinta.
Karena serius, lelaki asli Indonesia berwajah bule itu sangat menikmati disetiap tatapannya beradu dengan telaga jernih Aira. Mendebarkan rasa yang membuatnya tersenyum dan merasa hangat.
Masih di temani keheningan bersama detik jarum pada jam dinding. Julio berucap pelan, "Aira ... bagaimana kalau aku sungguh-sungguh ingin memintamu dari Alpha?" Kali kedua, Julio merasa sangat menyayangi wanita selain Mamanya. Setelah kepergiannya.
Pintu terbuka dengan keras. Terlihat Alpha berlari sipat kuping. Diikuti oleh Bintang, Kaindra, dan Tae Young di belakangnya.
"Aira ..." ucapnya selembut mungkin sembari mengusap pualam Aira yang terlelap. Lantas melirik sejenak pada Julio di seberangnya.
"Terjadi hal yang serius?" tanyanya menggebu.
Julio berdeham sejenak, "Sepertinya ginjalnya berulah, Al. Aku menyuntikkan antibiotik dan pereda rasa sakit," jelasnya.
Alpha menundum gusar. Melihat pecahan gelas di sana perasaannya semakin kacau.
"Pecahan kaca itu-"
"Mungkin Aira ingin memencet tombol darurat, Al. Tapi malah menyenggol gelas di sana."
"Tapi-" Bintang ikut menyuarakan pendapat. Ia maju selangkah mendekati tombol merah tersebut. "Benda ini tidak berfungsi. Bagaimana bisa rusak dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Kemarin malam saat aku menekannya masih bisa," sanggah Bintang.
"Jadi maksudmu benda ini sengaja dirusak, Bi?" Kaindra bertanya.
"Bisa saja kan?!"
"Ya Tuhan apalagi ini." Alpha mengusak wajah dan surainya gamang.
Demi Tuhan, dia sudah sangat kalut dengan kondisi Aira dan sekarang sabotase?
Siapa pula gerangan yang ingin mencelakai adiknya?
"Aku mohon, Bi. Kita bicarakan itu nanti. Tolong kita bahas penanganan Aira secepatnya. Jika operasi ginjal itu bisa kita lakukan, aku ingin secepatnya." Alpha bersikeras.
Tae Young menggeleng. "Tahan, Alpha. Kita perlu melakukan pemeriksaan sekali lagi. Operasi bukanlah pilihan yang tepat ketika kanker dan jantungnya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja," jelasnya
Bintang dan Kaindra secara kompak mengangguk. Pun dengan Julio yang berpikiran sama.
Julio lekas berdiri dari posisi duduknya.
"Aku akan memasang infus pada Aira lebih dulu. Setelah ini kita lakukan rapat darurat di ruanganku. Kita akan menjaga Aira bergantian. Seperti yang Bintang katakan, kelihatannya memang ada seseorang yang berniat jahat pada Aira." Ucapan Julio disetujui.
Selagi Julio memasang infus, Tae Young memeriksa kondisi jantung dan tubuh Aira. Kaindra dan Bintang menggiring Alpha untuk duduk di sofa. Alpha terlihat kalut, masalah tidak akan selesai dengan kepala panas. Sehingga, mereka berniat melunakkan Alpha terlebih dahulu.
Semua akan berjalan satu-persatu secara terperinci.
"Kemana Lia?" Bintang bertanya. Mengalihkan suasana garuh yang menyelimuti.
"Sepertinya sedang ada operasi. Aku lupa memberitahumu tadi, Bi." Julio yang menjawab di ujung sana.
Bintang mengangguk. "Pantas saja kubikelnya kosong. Di ruang perawat pun tidak ada, kalian juga. Untung aku bertemu si kembar yang mengatakan posisi kalian. Sedang berdiskusi apa?"
"Aira akan menjalani terapi radionuklir secepatnya," sambar Kaindra.
Bintang sontak melirik pada Alpha yang sejak tadi masih diam.
Lelaki itu, tampak kacau. Wajah pias, yang sarat akan frustasi dan marah.
"Sabar, Al. Aku yakin semua akan baik-baik saja." Bintang berucap menenangkan sembari menepuk bahu kokoh Alpha beberapa kali.
Alpha mengangguk singkat.
Dalam diamnya, banyak hal yang sedang Alpha pikirkan. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada kondisi Aira, pilihan untuk sang adik melakukan terapi radionuklir. Sudahkah benar itu?
Dan lagi, siapa orang yang hendak mencelakai Aira? Tombol darurat yang teman-temannya bahas tadi, meski Alpha mengatakan untuk membahasnya nanti namun, secara pribadi kepalanya berbunyi nyaring. Alarm yang membuatnya marah pada siapa pun yang berniat demikian pada adiknya.
Satu pertanyaan besar pun muncul di benaknya, mengapa ini semua ternadi setelah Alpha kembali pada jati diri ya yang seperti dulu?
Alpha yang hangat dan bersedia menerima orang baru dalam kehidupannya.
Ia angkat wajahnya yang tertunduk. Melihat siluet Aira di depan sana yang terbaring tanpa daya.
Kenyataan itu menyakitinya, lagi. Seolah ia sedang dihantam untuk kesekian kalinya. Setelah dulu, begitu banyak kesalahan, kebodohan, dan luka yang ia sematkan pada Aira. Kini, semua seakan berbalik menghukumnya. Ya, karma. Alpha sedang merasakan siksaan batin yang dalam.
"Aira ... Kakak berjanji akan selalu menjagamu. Tolong, kuatlah. Sehat dan kembalilah pada Kakak. Aku begitu menyayangimu, Aira."
"Siapa pun yang hendak melukaimu. Semua akan berurusan langsung denganku. Kakak janjikan itu semua. Siapa pun!"
Yang hanya dapat Alpha ungkapkan dalam hatinya. Sebab, ia tak ingin dikata seorang lelaki yang mudah berjanji namun selalu mengkhianati. Lelaki yang hanya besar omong dan selalu mengumbar janji. Ya, karena Alpha berjanji pada dirinya sendiri.
Ingat! Aira segalanya bagi pria itu.