Pagi berlalu dengan cepat, mentari yang tadinya unjuk diri kini meredup. Berganti rembulan yang telah siap di peraduan. Dua benda langit yang bertempat di suatu titik yang sama, tak pernah bosan menunggu saatnya mereka akan tiba. Meski, tidak dapat berdampingan. Ya, bulan dan matahari. Laksana minyak dan air, mustahil bersatu.
Matahari, bersinar terang menyinari jalan setiap makhluk hidup agar tidak salah dalam mengambil arah. Juga begitu banyak manfaat lainnya bagi tumbuhan yang dapat menghasilkan makanan untuk mereka setelah melewati proses fotosintesis. Alternatif terbaik pada beberapa metode pengobatan.
Menyembuhkan.
Menerangi.
Ya, sebesar itu pengaruh matahari bagi makhluk hidup. Termasuk Alpha.
Lalu bagaimana jika ia menyamakan eksistensi Aira sebagai matahari? Aira, mataharinya yang selalu dan sangat ia butuhkan dalam hidupnya.
Sementara ia sendiri adalah sosok bulan tersebut. Oh bukan, Alpha bukannya menyamakan ia sama seperti bulan karena dapat menyinari kegelapan. Tidak, sebab konteksnya dengan Aira jelas berbeda jauh.
Dirinya dengan Aira bukanlah hal yang dapat disamakan dalam banyak hal. Tentu saja! Batin Alpha berteriak kuat.
Aira terlalu naif untuk disamakan dengan dirinya yang tidak baik.
Mengapa Alpha menganggap diri sendiri sebagai bulan?
Pagi dan malam tidak bisa bertemu dan berdampingan sampai kapan pun. Begitu pula mereka.
Iya, Alpha dan Aira.
Hubungan darah keduanya yang kental. Ini menyakiti Alpha secara pribadi, namun akan sangat jahat jika harus menyalahkan takdir. Sebab, sudah kehendak Yang di atas.
Di sudut ruangan, lelaki itu terlihat sedang menatap pada gadis yang terus mengganggu pikirannya. Aira yang sedang melakukan pemeriksaan secara penuh dengan Tae Young di sana.
Hampir empat puluh menit pemeriksaan itu berlangsung dan selama itu pula Alpha tak bergerak se-centi pun tempatnya.
Tae Young berjalan menghampirinya sembari menyingsingkan lengan kemejanya. Alpha segera berdiri.
“Bagaimana, Tae?” tanyanya cepat.
Melirik Aira sekilas di ranjang pasien yang berbeda, gadis itu tertidur. Mungkin karena sepanjang pemeriksaan ia hanya dianjurkan berbaring dan menutup mata sehingga keterusan sampai ketiduran.
Dokter Tae Young menjawab, “Terakhir kali Aira merasakan sakit pada bagian ginjalnya, itu bukan karena ginjalnya yang bermasalah. Melainkan karena penyebaran kanker yang semakin melebar dan mengganggu kerja ginjal hasil transplantasi beberapa tahun lalu.”
“Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah kondisi jantungnya yang cukup lemah. Selain ginjal, Sepertinya Aira mengalami sakit pada bagian tubuhnya yang lain. Dan itu cukup sering.”
“Aira kesakitan di tempat lain?”
Pria berdarah Korea Selatan itu mengangguk. “Jantung, di sana dia sering merasakannya.”
Tapi Aira tidak pernah mengatakan apa pun mengenai sakit yang ia rasakan. Adiknya itu tidak pernah menyinggung masalah sakit jantungnya lagi, dan Alpha pikir mungkin Aira tidak lagi merasa sakit seperti sebelumnya.
“Di mana Aira sekarang?”
Alpha hampir bergegas dengan tergesa-gesa hendak mendatangi sosok tersebut. Namun dengan segera Taee Young tahan.
“Biarkan dia istirahat, Al. Aira sedang tidur. Pemeriksaan yang panjang membuatnya lelah.”
Tapi yang namanya Alpha Riandra tidak bisa ditentang. Tak menggubris perkataan dokter Tae young, ia melangkahkan kaki panjangnya menuju ujung di depan sana yang menyimpan Aira di atas brankar.
Sesuatu keluar mengaliri pipinya begitu mendapati sang adik yang terpejam. Wajah setenang dan selembut Aira bagaimana bisa menyembunyikan itu semua darinya?
Alpha tak habis pikir pada pola pikir gadis di hadapannya ini.
“Kenapa tidak bilang pada Kakak, Ra?” tanyanya pada keheningan yang mengambang. Lirih vokal yang ia keluarkan.
“Apa sebesar itu rasa bencimu terhadap Kakak? Sehingga dengan begini kamu bia menghukumku?”
Alpha menangis, terisak pila di samping Aira yang terlelap damai.
“Penolakkan yang kamu lakukan sangat baik Aira. Kamu tertawa dan bersikap biasa saja seolah tidak pernah ada kesakitan apa pun terhadapmu. Apa harus dengan cara seperti ini?”
Raga Alpha memang sehat walafiat, tapi jiwa dan batinnya selalu dipenuhi berbagai ketidakselarasan pada fisiknya.
Banyak tekanan yang membuatnya menjadi Alpha yang dingin dan tertutup seperti ini. Tidak lain karena masa lalunya yang masih berhubungan dengan Aira.
Di masa sekarang, semua kembali meyiksanya.
“Maafkan aku Aira, maafkan aku.” Isak yang berpadu dengan penyesalan yang besar. Alpha semakin tergugu dalam kesunyian.
Ia sempat mempercayai roda kehidupan, begitu kata orang-orang. Tidak selamanya roda itu di bawah, mereka pasti akan berputar ke atas dan mencapai puncak. Semua akan ada waktunya.
Tapi, lihat!
Semua tidak semenakjubkan itu. Waktu hanya mempermainkannya.
Dokter Tae Young segera menyingkir ketika melihat Alpha yang tersedu sedan di samping Aira. Lelaki itu melihat betapa hancurnya Alpha, terpukul pada keadaan yang ada.
Ya, kakak mana yang tidak terpukul melihat kondisi adiknya seperti ini. Tae Young rasa Alpha sedang membutuhkan waktu sendirinya. Jadi, ia keluar dari ruangan tersebut dengan segera.
***
“Kapan terapi Aira dilakukan, Kai?” Bintang bertanya.
Mereka sedang berada di ruangan spesialis bedah, tepatnya Bintang yang mendatangi kubikel Dokter Kaindra.
“Jika pemeriksaan Aira hari ini tidak ditemukan masalah baru lagi, kita akan melakukan terapi minggu depan,” jawab Kaindra. Es cup Americanonya sudah kosong dan ia singkirkan ke samping.
“Terapi radionuklir?”
“Hum!”
Dokter bedah umum itu menghela napas panjang.
“Tampaknya memang tidak ada jalan lain ya? Tapi bukankah prosedur ini cukup berbahaya, Kai?”
Malasah ini sudah mereka bahas sebelumnya, dan Kai adalah salah satu yang merasa agak ragu, tadinya. Tapi sekarang, dia bahkan menjadi lebih percaya diri dari yang lainnya. Baginya, tidak ada yang tidak mungkin jika kita bersungguh-sungguh dan terus meminta kepada yang di atas.
Satu hal lagi, Tae Young juga banyak menjelaskan kemungkinan yang terjadi. Bagaimana jika hal-hal yang tidak mereka inginkan terjadi dan segala hal yang berkaitan dengan terapi radionuklir tersebut.
Secara terperinci sekali, sisi baik dan tidaknya. Sampai kemudian Bintang yang datang dengan tergopoh dengan rahang kerasnya. Memberitahukan keadaan Aira yang sedang kesakitan saat itu.
“Tapi aku percaya keajaiban, Bi. Semoga Tuhan selalu berpihak pada kita,” Kai berujar tenang.
Lantas tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka, sampai nada getar dari ponsel Bintang terdengar. Lelaki yang mengaku manly itu segera mengangkat panggilan masuk berupa video itu.
“Chandra?”
Akhirnya. Batin Bintang berteriak.
“Halo, Chan? Astaga, baru ingat sahabatmu sekarang huh? Setelah sekian purnama menghilang tanpa kabar yang jelas!” cecar Bintang begitu panggilan mereka terhubung.
Di ujung sana, Chandra terkekeh.
“Maaf, Bi. Aku benar-benar sibuk.”
“Dasar caplang! Seenaknya meminta maaf begitu saja, tidak bisa! Bayar upeti dulu. Kau harus mentraktirku dan Alpha saat jam makan siang besok di tempat biasa.”
“Iya-iya, baiklah. Sekalian ada yang ingin kubicarakan denganmu. Jam makan siang ya?”
“Iya, awas kau kalau sampai tidak datang!”
Perdebatan kecil yang sudah lama tak terdengar. Bintang dan Chandra memang langganan setiap saat cekcok. Dan inilah yang dirindukan dokter bedah umum itu. Begini-begini dia sangat menyayangi sahabat-sahabatnya sepenuh hati. Chandra sudah seperti saudara kandungnya sendiri. Kalau kata Alpha mereka seperti saudara kembar.
Sambungan nirkabel tersebut langsung terputus.
“Tumben, suara Chandra kedengaran serius sekali,” monolog Bintang.
Sebab seorang Chandra itu sulit diajak bicara serius. Kalau tidak ngakak pasti usil. Dan barusan itu, Bintang merasa ada yang anaeh dengan gerangan.
Dokter bedah umum itu pun berdiri dari duduknya.
“Aku ingin melihat Aira, Kai. Kau tidak ikut?” tanya Bintang sebelum pergi.
“Duluan saja, nanti aku menyusul. Masih ada beberapa laporan kesehatan pasienku yang lain yang harus k****a. Setelah itu aku langsung ke sana.” Kai menjawab.
“Oke, yasudah kalau begitu aku duluan ya?” Dan anggukan dari Kaindra membuat Bintang lengser sungguhan dari kubikelnya.
Set!
Kaindra mengeluarkan selembar kertas dari dalam laci mejanya, rekam medis pasiennya yang lain.
“Winny Agelica.” Nama di dalam secarik kertas yang sedang Kai baca sekarang.