Dua puluh menit berlalu,
Ruang rawat Aira yang tadi sempat ramai oleh kedatangan dokter-dokter tampan dan Juno, kini terpantau lengang.
Juno segera dilarikan ke ruangannya sendiri karena saat berada dalam pelukan Aira, bocah itu tertidur. Dan Julio yang menggendongnya mengembalikan ke ruangan bocah itu. Setelahnya ada operasi yang harus ia kerjakan.
Sementara dokter Tae Young yang sejak berada dalam ruang rawat Aira pun tak bisa lepas dari tabletnya. Matanya fokus pada benda pipih tersebut, sesekali menanggapi candaan rekan-rekan kerjanya yang lain.
Kak Chandra tidak bisa lama-lama karena katanya Kak Winny sedang sakit dan dirawat di rumah sakit yang sama dengannya. Oleh sebab itu, Chandra segera pamit untuk melihat kondisi Kak Winny.
Sisalah Aira dengan kakaknya dalam ruangan tersebut.
“Kak Alpha.”
“Hum ...” Selembut squishy dan secerah matahari pagi, Alpha menyahut dengan gumaman bercampur suara baritonnya.
Kalau saja itu adalah tumpukkan es, Aira pastikan dia sudah meleleh sekarang.
Duh, Kak Alpha kenapa semenawan ini sih? Kan Aira jadi berdebar tidak karuan hanya karena dehaman sederhana itu.
“Kak Winny dirawat di sini?”
Sembari membaca buku, Alpha mengangguk, “Seperti yang Chandra katakan pada kamu tadi.”
Oh ya, sebuah kacamata bundar silver yang membingkai kedua mata indah kakaknya pun membuat Aira salah fokus.
Pada tulang hidung yang tinggi, menawan, tampak bangir dengan proporsi yang tepat.
Jadi sulit berkonsentrasi kalau begini.
“Ekhem!” Dan alternatif yang Aira pilih adalah berdeham. Menormalkan kembali pita suaranya yang tiba-tiba saja menghilang tanpa ia komando.
Kalau saja ia sedang berdiri, mungkin kedua lututnya sekarang sudah selembek jelly.
“Tapi Kak Winny sakit apa, Kak? Selama ini Kak Winny terlihat baik-baik saja.”
Alpha tutup buku dalam genggamannya, ia letakkan pada meja yang terdapat di ruangan Aira Kemudian menghampiri si kesayangan untuk ia genggam sebelah tangannya.
Jemari lentik putih milik adiknya ia mainkan, sesekali mengelus lembut punggung tanggannya.
Bingung, harus dari mana Alpha mulai menjelaskannya.
Winny mempunyai riwayat kanker darah, dan sudah memasuki stadium akhir.
Seperti itukah?
Tapi, Alpha tidak ingin membahas hal yang kiranya dapat mengganggu pikiran adiknya. Winny dan Aira, meski tidak sama-sama kaker darah tapi, adiknya juga menderita riwayat kanker.
Alpha enggan setelah mengatakannya, Aira akan sedih dan takut. Selama ini ia sudah mencoba menjaga perasaan Airanya penuh kehati-hatian.
“Kak ...”
Menunduk, ia tatap wajah cerah berselimut pucat di paras cantik Aira. Sementara Aira mendongak untuk menatapnya.
“Winny sakit kanker, dan menurut prediksi dokter sudah memasuki stadium akhir.” Tak lepas barang sedetik pun usapan lembut pada punggung adiknya. Kini, tatapan Alpha menyorot penuh pada paras cantik itu.
Paras lembut dengan sorot mata tulus, sayangnya dulu pernah ia benci setengah matii.
“Sejak kapan, Kak?”
“Hum?”
“Kak Winny, sejak kapan masuk rumah sakit? Kenapa disaat kankernya sudah menyebar sejauh itu baru mendapatkan perawatan intensif?”
“Sudah sejak lama, Ra. Winny menderita kanker jauh sebelum ia mengenal Chandra. Tapi, karena ketakutan dan kepasrahannya, Winny selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit.”
“Kenapa begitu?”
Alpha menggeleng sejenak.
“Mungkin dia takut pergi.” Dan kalimat Alpha, lelaki itu ucapkan sembari mengalihkan maniknya pada hazel serupa batu safir milik Aira.
Perihal kehilangan, siapa pun pasti tak ingin mengalaminya. Namun, apa daya. Manusia hanya bisa berjalan pada garis yang telah ditentukan masing-masing. Sebab, semua yang bernyawa pasti akan tutup usia pada akhirnya.
Melalui tatapannya yang dalam, jemari pun Alpha buat saling merekat di antara sekat agar tak mencipta ruang.
Mulut tak berbicara, juga tiada gerakan apa pun dari tubuh maupun yang lainnya. Hanya saja, benaknya berbicara dengan lantang, “Maka tetaplah tinggal demi Kakak dan Ayah. Demi kamu dan semua yang akan terjadi di masa depan.”
Walau hanya sebatas angan-angan, bahkan mimpi belaka yang tak kan bisa tersampaikan. Tak mengapa, Alpha hanya ingin semua orang tahu bahwa Aira adalah adiknya. Gadis kecil setulus dan sebaik malaikat ini adalah keluarganya.
Seseorang yang menempati ruang istimewa di sana.
Bahwa keinginan untuk memiliki Aira seutuhnya selalu menjadi harapan dan cita-cita bodohh baginya. Ya, Alpha merasa demikian.
Setiap mengingat hal itu, ia selalu mencap dirinya sebagai lelaki bodohh yang hanya kehilangan akal.
Bagaimana mungkin dia bisa memiliki Aira? Perasaan untuk mencintai saja sudah salah.
“Kenapa harus pergi? Kita menetap dan bertahan karena ada alasan yang kuat untuk selalu ingin bersama. Walau waktu dan semesta tak mengizinkan, jika hati sudah teguh pada pendirian. Maka, semuanya akan indah. Meskipun tak dapat bersama selamanya.”
Dua buah tangan yang saling melekat itu Alpha longgarkan.
“Apa maksud kamu, Ra?”
Hati-hati sekali ia bertanya. Hanya tak ingin mendengar jawaban yang akan membuatnya kembali terluka.
Aira, gadis ini terlalu berharga baginya.
“Tidak selamanya pergi adalah pilihan yang salah. Awalnya memang menyakitkan tapi, Kak. Aku percaya apabila perasaan itu kuat, di mana pun seseorang yang kita ingikan itu berada akan terasa selalu dekat. Perpisahan hanya sebuah ungkapan.”
“Dan aku belum siap adanya kata perpisahan di antara kita Aira.”
“Tidak ada sesuatu yang sangat mengerikan terjadi tanpa balasan indah setelahnya. Semua pasti setimpal, Kak. Pergi untuk kembali, dan kembali setelah pergi.”
“Maka sampai kapan pun itu, aku tak kan pernah bisa bernafas tanpa dirimu.”
“Jangan pergi untuk kembali, Ra. Tapi, tetaplah bersama sampai kepergian itu tak kan kembali.”
Di tempatya, Aira terkikik kecil.
“Mana bisa begitu, Kak Alpha. Kita bukan siapa-siapa yang bisa mengendalikan takdir. Suatu saat, semua akan mengalami kepergian itu.”
“Tapi tolong jangan pergi terlalu cepat. Setidaknya jangan sekarang atau bahkan puluhan tahun yang akan datang. Bagaimana hidupku jika harus tanpamu Aira?”
Tak mampu lagi berkata, mulut terasa sulit digerakkan. Pun air mata yang sudah mengumpul di pelupuk menunggu untuk diteteskan.
Oleh sebab itu, Alpha tarik adiknya ke dalam sebuah pelukan hangat yang sarat akan ketakutan.
Ketakutan yang cukup kompleks.
Takut ditinggalkan, takut pada waktu yang berhenti tidak pada porosnya, takut pada kesempatan yang tak kan bisa ia dapatkan. Dan takut-takut lainnya yang selalu menghantuinya.
Ya, Alpha takut.
Dulu Arina, kehilangan yang membuatnya sadar pada kesalahan yang pernah ia perbuat. Kehilangan yang telah ia alami sebelumnya. Dan Alpha tahu sesakit apa rasanya kehilangan itu. Jadi, sekarang ia hanya bisa berdoa.
Pada Sang Maha Pencipta, untuk jangan merenggut siapa pun lagi dari hidupnya. Terutama Airanya.