Bab 57

1141 Kata
“Hai Aira ...” Tersenyum lebar, kaki melenggang ringan menujunya, juga raut ramah tamah yang terlihat manis. Uh ... Tak habis pikir Aira melihat sosok di hadapannya kini. Sheila yang datang dengan wajah demikian sungguh membuatnya muak. Sangat muak bahkan tapi, Aira enggan menunjukkannya. Seperti biasa setiap kali datang berkunjung, sebucket parsel buah-buahan berikut dengan jenis makanan lainnya turut Sheila bawa. Diletakkan pada nakas yang berisi sebuah vas bunga mawar putih kecil. Ada air dalam vas tersebut. “Bunganya bagus, kamu suka mawar putih ya, Ra?” Bertanya pun dengan lemah lembut. Tidak seperti waktu itu Sheila yang mendorongnya dengan kasar, atau menatapnya sinis seolah hendak menelannya hidup-hidup. “Iya, Sheil. Aira suka sekali dengan mawar putih makanya setiap hari aku akan selalu menggantinya dengan mawar yang sama.” Itu Kak Alpha yang menjawab. Oh ya, Aira paham sekali. Sosok Sheila yang seperti ini kan hanya bisa ia temui jika Kak Alpha ada bersamanya. Sheila yang ramah dan menjelma menjadi gadis baik. Hanya ada pada saat-saat tertentu. Dan Aira hampir melupakan fakta itu. “Ya ampun bahkan bunga favoritmu pun selaras dengan wajah lembutmu, Sayang.” Fakta bahwa perempuan yang tengah mengumbar senyum dan tawa ringannya itu mengenakan topeng. Sayang? Apa Aira tidak salah dengar? Kemana kalimat-kalimat jahat dan makian yang acap Sheila jadikan sumpah serapah padanya? Gadis buta, bodohh, dan lain sebagainya yang sangat mengganggu rungunya. “Terima kasih, Kak Sheila ...” Tetapi, Aira tetaplah Aira yang baik hati. Atau mungkin, ia akan mengikuti drama sebagaimana yang sedang Sheila lakukan sekarang? Baiklah, jika Sheila adalah aktris yang handal maka, Aira adalah si pemegang piala oscar. Ya, lihat saja! “Bagaimana kabar kamu hari ini, Ra? Kamu terlihat lebih rupawan dari hari sebelum-sebelumnya.” Aira melirik pada kakaknya yang juga terkikik di seberang sana. Masih sibuk dengan ponselnya. Mungkin sedang melihat file kerjanya. “Tidak, Kak. Aku tetap seperti biasa. Justru Kakak yang hari ini terlihat lebih manusiawi,” sahut Aira santai. Tak lupa mengulas senyum simpul hingga sebelah lesung pipinya muncul dengan anggun. Dan ... Skakmat! Bagi Sheila yang mendengarnya saat itu. Alpha pun langsung mengalihkan pandanganya pada dua wanita beda generasi di hadapannya. Masih duduk pada kenyaman sofa, Alpha berniat memantau terlebih dahulu. Ada apa Aira tiba-tiba berbicara demikian. “Lebih manusiawi? Maksud kamu?” Oh ini dia. Ini yang hendak Aira saksikan sejak tadi. Akhirnya sosok Sheila yang asli muncul juga. Senyum ramah dan mata yang menyipit membentuk bulan sabit itu, kemana perginya? Kenapa sekarang Kak Sheila malah terlihat mengerikan. Wajah datar dengan sorot mata tajam, Aira juga bisa mengetahui bahwa di dalam mulut Kak Sheila, gerangan tengah menggegat giginya sendiri. Namun, tetap berucap dengan gaya bicara yang baik. Aku kamu, padahal jika tanpa Kak Alpha, Kak Sheila akan menggunakan lo-gue. Dengan posisinya yang membelakangi Alpha, tentu Sheila bisa leluasa mengatur mimik wajahnya. Termasuk memunculkan devil expressionnya. Melihat hal itu, Aira tersenyum. Jenis senyuman yang indah seperti biasanya ia yang tersenyum. Tidak ada yang berbeda. Kecuali, pada pandangan Sheila. Dua buah lekuk pada sudut bibir Aira seolah mengatakan kemenangan di sana. Bentuk ejekan yang merendahkannya. “Iya, Kak Sheila lebih manusiawi hari ini. Karena biasanya Kakak terlihat sangat cantik seperti bidadari turun dari surga.” Vokal Aira kembali terdengar. Pada detik itu, Alpha segera mengangsurkan tawanya. Terkekeh ringan membuat wajah rupawannya semakin betah ditatap. Aira pun menyukai hal tersebut. “Hahaha ... benarkah?” Sheila kembali memasang topengnya yang kesekian. Dibalut keheningan yang sempat mencekam beberapa saat lalu, kini wanita itu tampak seperti Sheila yang ramah. Tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya, “Kakak bahkan tidak ada setengahnya dari kamu.” Tutur katanya pun kembali seperti semula. Aira hanya diam tak lagi menjawab, tersenyum tipis sebagai mimik wajah yang dikeluarkannya. Dalam hati, Aira sedang merasa jengah. Pada sosok yang terlalu palsu ini. Gadis berseragam rumah sakit itu pun merasa lama-lama Sheila jadi mirip binatang yang ia tahu bernama bunglon. Dapat berubah kapan saja sesuai kondisi dan suasana sekitar. Horror sekali. Ada ya manusia seperti itu. “Sudah ... dua-duanya sama-sama cantik kok,” celetuk Alpha yang beranjak dari posisinya dan menghampiri Aira di atas ranjang pasien. Satu kalimat sederhana tapi berefek cukup hebat bagi Sheila, terutama pada hatinya yang seketika hangat. Tersenyum lebar hingga bibirnya tertarik beberapa centimeter pun tak Sheila hiraukan. Perkataan Alpha membangkitkan rasa bahagia dalam dirinya. Berusaha menahan mimiknya agar tetap terlihat biasa saja, atau paling tidak jangan sampai Alpha menyadari kebahagiaannya yang meletup-letup seperti sekarang. “Jam, Sheil jaim. Ingat! Alpha gak suka cewek yang agresif.” Batinnya berteriak merdu. Sementara di dalam sana sudah tidak tahan ingin berteriak saking bahagianya. Well, ini sama dengan kalau secara tidak langsung Alpha mengatainya cantik kan? Oh my God! Hari terindah sepajang hidupnya. “Mau ke taman?” tawar Alpha pada sosok adiknya yang terdiam. Aira mengerjap beberapa saat, memerhatikan kakaknya dan Sheila secara bergantian. Oh, mulai berubah kembali rautnya. Kelihatan kesal? “Iya, Kak,” jawab Aira kemudian. Dia sudah tak tahan berada di ruangan yang sama dengan Sheila sejak tadi. Namun, Aira tak banyak beraksi apa pun kecuali diam dan bersabar. “Sheil, aku dan Aira akan ke taman belakang sebentar. Sinar matahari pagi bagus untuk keadaan tubuhnya. Kamu mau ikut?” Oh tidak, jadi Kak Apha berniat mengajak Kak Sheila ya. Seketika sinar Aira berubah redup. Dia pikir hanya ada dia dan kakaknya saja, ternyata Kak Alpha memikirkan eksistensi Kak Sheila juga. “Oh boleh, kebetulan aku gak terlalu sibuk kok hari ini jadi bisa ikut nemenin Aira juga.” Sheila menjawab cepat. “Yaudah sebentar ya, aku ambil kusi roda dulu.” Ketika Alpha hendak memutar tubuhnya, namun urung sebab ujung pakaiannya ditarik seseorang. Set! Itu Aira. “Ada apa, Ra?” “Gak mau naik kursi roda!” Alpha tampak sabar dan duduk di pinggiran ranjang. Mengambil tangan yang lebih kecil dari miliknya itu untuk ia dalam kungkungan telapaknya. “Lagi?” Gadis itu menggeleng. “Gak mau, Kak Alpha.” Oh please, jangan lupakan eksistensi Sheila di sana. Wanita itu tampak cemberut seketika. Menyaksikan Aira dan sikap manjanya pada lelaki yang ia suka, sangat-sangat hal yang ia benci. “Oke-oke ... Kakak gendong aja ya?” What the?!!! Opsi yang amat menyebalkan. Menurut Sheila. Melalui tatapannya yang kembali menajam, Sheila hunuskan kebengisan sedemikian rupa pada sosok Aira ketika kedua lensa mereka saling bertabrakkan. Jangan! Seolah demikian ia mengatakan melalui jenis tatapannya tersebut. Namun, jawaban Aira adalah ... “Iya, gendong belakang.” Menyebabkan salah satu dari tiga jiwa di sana terbakar api yang berkobar besar. “Ayo Kak Sheila.” vokal Aira ketika sudah berada di atas punggung kakaknya. Menempel bagai permen karet di atas rambut, sulit dilepas. Kedua tangan rampingnya memeluk erat leher Alpha dan wajah yang ia letakkan pada sebagian sisi ceruk leher kakaknya. Lantas tersenyum secerah purnama, seindah kuncup bunga yang baru mekar, dan setulus Aira seperti biasanya. Di mata Alpha, Aira adalah malaikat yang tersesat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN