“Apaan nih, Sheil?”
Selembar kertas berkurukan 6x12 cm yang menunjukkan foto seseorang di dalamnya, Sheila serahkan pada Loren di menit pertama mereka bertemu sesuai perjanjian.
“Ini-”
“Dia orangnya,” potong Sheila berapi-api.
Hatinya sangat tak terima melihat adegan yang Alpha lakukan tadi pada Aira. Karena demi apa pun Sheila membenci semua yang membuat Alpha tak dapat meliriknya. Meski itu seekor semut sekali pun.
“Gue mau lo habisin orang itu. Tenang aja, Ren. Dia cewek lemah yang gak bisa apa-apa. Gue rasa untuk orang kayak lo, lo cuma butuh menjentikkan kelingking doang dan ... selesai.”
Diakhiri dengan kekehan kecil Sheila mengucapkan tujuannya menemui Loren di sini. Di cafe dekat rumah sakit Alpha bekerja.
Dan di mata Loren, jenis kekehan itu adalah pertanda yang tidak baik. Ada seringai sinis dan gejolak amarah dari sorot gelap Sheila.
Loren memandangi foto tersebut dengan seksama. Lebih tepatnya mencari sesuatu di sana.
“Sheil, ini perempuan loh.”
Sheila menganggukkan kepalanya, “Gue gak pernah bilang dia cowok atau banci sekalipun. So why?”
“Iya tapi, gue gak pernah terlibat urusan yang kayak gini-gini tuh sama perempuan, Sheil. Gue gak pernah bisa nyelakai perempuan. Lo mau gue berbuat apa sama dia?” Penuh kehati-hatian Loren bertanya.
Padahal jantungnya di sana sudah dugun-dugun hampir keluar.
“Oh ya, gitu ya? Padahal gue udah bilang tadi supaya lo habisin dia.” Sheila menyeringai penuh.
Loren masih diam, tak bereaksi apa pun. Lebih baik ia mendengarkan terlebih dahulu apa yang adik sahabatnya ini inginkan.
“Tadinya gue mau lo buat dia gak bernafas lagi. You know what I mean kan? Atau mungkin lo bisa balikin dia ke keadaan sebelumnya. Buat dia gak bisa melihat lagi dan itu secara permanen sampai selama-lamanya.”
Jadi sebelumya, gadis dalam foto ini butaa?
Loren bisa menangkap makna perkataan Sheila dalam sekejap.
“Yang lebih menarik lagi, gimana kalo lo buat pincang sebelah kakinya, terus lo sekap di suatu tempat terpencil yang gak bisa ditemui seorang pun. Gak ada makanan, gak ada minuman, dengan begitu dia bisa matii dengan sendirinya tanpa lo harus repot-repot lagi kan?”
“Sheila!”
“Oh! Atau kita pilih opsi terakhir aja.”
“Opsi terakhir?”
“Yap. Lo bisa enjoy dan gue diuntungkan. Ya, sama-sama diuntugkan sih kita sebenarnya.”
“Jangan macem-macem, Sheil. Lo gilaa ya ada-ada aja ideh aneh lo itu.”
“Lo sentuh aja dia sekalian. Gue yakin lo bakal puas, secara fisik dia cantik kan, Ren? Lo udah liat sendiri fotonya. Sepuasnya gue persilahkan dia untuk elo paka-”
“Sheil-Sheil, udah! Udah cukup Sheila!” bentak Loren keras.
“Lo kenapa jadi kayak gini sih? Ada dendam apa lo samma perempuan ini?”
Yang Loren tunjuk-tujuk selembar kertas menampilkan wajah Aira di sana.
Sheila terkikik di tempat, menunjukkan sikap yang tetap tenang tak gyah sedikit pun.
“Lo gak kayak Sheila yang gue kenal?”
Loren memanglah teman Gio, yang merupakan kakak dari Sheila. Tapi, selama hampir enam tahun ini ia mengenal sosok wanita berpendidikan dan mandiri itu. Sheila bukan seseorang antagonis yang penuh kejahatan.
Sheila yang Loren kenal selama ini adalah, adik kecil yang sering kali mengikuti kemana pun Gio pergi dan merengek pada sahabatnya itu.
Dan sekarang, yang berdiri di hadapannya masihlah orang yang sama. Sheila yang sama namun dengan keadaan yang jauh berbeda.
Yeah, keadaan otaknnya setidaknya. Begitu yang Loren pikir.
“Semua orang bisa berubah kapan aja, Ren. Udah deh gak usah bahas itu. Lagian gue cuma butuh kerja sama lo, gak lain-lain kok.”
“Kerja sama apa yang isinya harus menyakiti perempuan Sheila. Gue gak bisa sama manusia bernama kaum hawa.” Kalimat lantang dari seorang Loren.
Wanita berambut panjang sepinggang itu pun berdecak kesal. Kedua bola matanya berputar geram.
“Ribet banget ya lo. Tinggal bilang iya aja susah banget sih.”
“Ini percobaan pembunuhan namanya, Sheil. Gue gak bisa nerima, sorry,” ucap Loren kemudian berdiri dari posisi duduknya.
Berniat pergi sebelum suara Sheila kembali terdengar dan mengurungkan niat Loren untuk beranjak.
“Bukannya lo udah sering main ‘warna merah’ diam-diam selama ini, Loren? Lo bahkan ngelakuin itu pake tangan lo sendiri.”
“Iya, tapi bukan pada sembarangan orang apalagi perempuan Sheila.”
Sheila berdecih, “Sama aja kali,” katanya.
“Beda. Gue ngelakuin itu sama orang-orang yang gak berperikemanusiaan. Sama komplotan pejahat yang suka meresahkan orang lain, atau sekedar memberi pelajaran ke orang itu supaya bertingkah layaknya manusia. Kita ini makhluk yang paling sempurna secara akal, Sheil.”
“Terus?”
“Alangkah baiknya kalo kita bisa mempergunakan akal itu sebaik mungkin. Emang apa yang udah dia perbuat ke elo sampe segininya lo mau nghabisin dia?”
Lagi, foto Aira dalam genggaman Loren ia tunjuk-tunjukkan pada Sheila.
Tak mengindahkan pertanyaan Loren, Sheila justru merebut foto Aira dari lelaki itu. Kemudian pergi begitu saja dengan gerutuan kesal yang masih dapat Loren dengar.
“Salah gue minta bantuan sama lo. Ditanggapi enggak malah kena ceramah!”
Dan bantingan pintu cafe yang tertutup dengan keras membuat beberapa pengunjung lainnya menatap ke arah perginya Sheila. Termasuk Loren yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian, ketika Loren hendak beranjak berdiri dari duduknya, seseorang menghampirinya saat itu. Mendistraksi niatnya.
“Maaf, siapa ya?”
“Kakak cantik!”
Teriakkan nyaring yang berasal dari seorang bocah lelaki dengan seragam pasiennya, menghampiri Aira dan memanjat kursi sebelah ranjang pasien.
“Juno, hati-hati. Awas jatuh!” Suara Alpha terdengar dari arah pintu di belakang Juno. Bersamaan dengan eksistensi Julio, Chandra, dan Tae Young di sana.
Uwow! Untuk sesaat Aira terpanah dengan empat orang dewasa itu. Seperti tokoh kartun sedang berjalan ke arahnya.
Kakaknya yang shining, Kak Julio yang shimmering, dan dokter Tae Young yang splendid. Juga Kak Chandra yang kadar visualnya terlalu bright.
Uh ... awasome.
Namun, Aira lekas menggelengkan kepalanya saat meneyadari pikirannya sudah melanglang buana terlalu jauh. Juga suara Juno yang menarik perhatiannya.
“Kakak cantik, Juno kangen banget sama Kakak.”
“Benarkah?”
“Uhum,” jawab Juno semangat.
Membuat empat pria dewasa di sana tertawa melihatnya. Pun Aira yang langsung membawa bocah lelaki tampan itu ke dalam dekapannya.
“Kakak juga rindu Juno tau,” kata Aira.
Dan rona merah menghiasi kedua pipi kecil Juno. Semburat kemalu-maluan yang terlihat jelas dan disadari oleh Aira juga para dokter tampan di sana. Juga Kak Chandra tentunya.
“Juno, apa kamu sedang malu?” Julio bertanya.
“Nggak kok.”
“Tapi wajah kamu merah semua, ya ampun gemasnya.”
“Itu karena ada Kak Aira di sini,” sahutnya cepat.
Cup!
Dan kecupan tak terduga pun berlabuh pada sebelah pipi kanan Aira yang pucat.
“Oh! Wow wow apa itu?”
“Hei Juno, awas pemiliknya marah kamu asal cium-cium saja loh.”
Suara Chandra dan Tae Young bersahutan.
“Memang siapa yang marah? Juno kan sayang Kak Aira, makanya cium. Seperti Mama yang juga sering mencium Juno karena menyayangi Juno,” kilah si kecil, polos.
Ungkapan yang membuat penghuni ruangan itu tertawa.
Namun, dua pasang mata lainnya menatap pada sosok Alpha yang terkikik tetapi tetap tak mengalihkan pandangannya pada Aira.
“Jangan lupa berkedip, Dokter Alpha yang protektif. Airanya tidak hilang atau dibawa lari kok,” celetuk Chandra.
Dan mengundang tawa yang lebih lagi dari rekan-rekan kerjanya di sana.