"Hanya itu?" tanya seseorang dengan lawan bicaranya di sana.
Seorang gadis di hadapannya pun mengangguk. "Iya, boleh kan, Dokter?"
"Tidak ada permintaan yang lebih mahal lagi, Aira?" Kai bertanya.
"Mahal bagaimana? Aku ingin itu, Dokter Kaindra. Boleh ya?"
Pria berkemeja putih itu pun mengangguk meski dia tahu gadis di hadapannya tidak bisa melihat itu.
"Oke, tapi kita harus kembali ke rumah sakit, hum?"
"Iya, baiklah."
Maka, di sinilah mereka sekarang. Sebuah lolipop raksasa berada di pangkuan Aira yang sejak tadi duduk di kursi roda dengan Kai yang mendorongnya.
"Bagaimana, kau suka?" tanya Kai, tersampir senyum jail di wajahnya.
"Tidak sebesar ini juga, Dokter. Lihat, lingkarannya bahkan lebih besar dari pada kepalaku." Gadis itu cemberut. Sementara Kai hanya terkekeh melihatnya.
"Lagi pula permintaanmu minim sekali. Lolipop satu buah itu hanya sepuluh ribu, Aira. Jadi, agar terlihat keren, aku membelikanmu yang besar. Hehe ..."
Aira pun menggelengkan kepalanya. Ada -ada saja.
Lantas, ahli bedah toraks kardiovaskular itu pun berlutut di hadapan Aira. Mereka sedang di koridor rumah sakit lantai satu. Kaindra menyangga bobot tubuhnya dengan kaki dan lutut yang ia jadijan pertahanan, sementara wajahnya berhadapan dengan gadis yang duduk di kursi roda itu.
"Aira?!"
"Eh?" Terkesiap, sebab ia merasakan seseorang berada sangat dekat dengan posisinya.
"Aku tahu kau tidak menginginkan bedah apa pun lagi. Benar?" Ada nada berat dan wajah serius yang bertengger dalam vokal dan paras Kaindra. Andai Aira dapat melihatnya.
"Dokter tahu dari mana? Kak Alpha ya?" Ia mencicit takut.
"Dari mana saja, Aira dengar! Bagaimana kalau sampai umurmu pendek? Kau mau kepergianmu meninggalkan luka yang dalam untuk kakakmu?"
Ini mungkin terdengar jahat, tapi apa boleh buat. Dia harus menggembleng semangat Aira agar mau menjalani operasi ginjal kembali.
"Dokter ..." Keraguan yang tergambar jelas dari bibirnya yang bergetar. Kai menyeringai sejenak.
"Begini, Ra. Jika kau hilang dari bumi ini selamanya, apa kau pikir Alpha akan menunggumu sampai hari tuanya? Tidak, dia akan mencari wanita lain untuk dicintai-"
"Dokter ini bicara apa?!" Aira memangkas.
Kaindra justru tersenyum tenang.
Bravo!
Kena kau Aira, batinnya.
"Akui saja, aku tahu dari pancaran matamu yang selalu berbinar saat Alpha berada di dekatmu. Kau menyukainya kan?"
Sementara Aira, kesepuluh jarinya ia remat gelisah. Masih dalam posisi yang sangat dekat dengan Kai, gadis itu membiarkan dokter bedah toraks kardiovaskukar itu menjelajah figur wajahnya baik - baik. Atau lebih tepatnya, dia tidak tahu sedang diperhatikan sedetail itu.
Hei, bisa terjadi kesalahpahaman kalau sampai Alpha melihatnya.
"Ti-tidak suka dalam artian yang begitu, Dokter. Tentu saja aku menyukainya. Dia kan kakakku," jawabnya terbata.
"Bukan suka dalam artian begitu. Tapi, suka karena sangat menyayangi, takut ditinggalkan, takut disalahkan, dan masih banyak lagi takut - takut yang lain?"
Ada yang berdecak, bukan Aira maupun Kaindra. Pria berkulit tan itu sedang sibuk mengoceh.
Lantas, siapa?
Kaindra mendongak.
"Ck ck ck. Kalian sedang apa? Dicari dari tadi ternyata malah teronggok di sini." Suara Bintang mengalun merdu. Hingga beberapa perawat yang lewat pun menoleh padanya.
"Kecilkan volumemu, Dokter Bintang!"
Abai, Bintang berjalan ke belakang punggung Aira, menggapai dorongan kursi yang gadis itu duduki.
"Anda dipanggil ke ruangan Prof. Fany, Dokter Kaindra. Beliau bilang ada informasi penting yang harus disampaikan. Aira biar aku saja yang mengantarnya," jelas Bintang.
"Baiklah, di ruangannya?"
"Di ruang operasi kita tadi pagi."
"Oke."
"Ayo, Alpha sudah gegana menunggu kedatangan kamu yang tak kunjung pulang, Princess," ucap Bintang. Aira mengangguk saja.
"Ge ... gana?" bingung Kaindra.
"Gelisah Galau Merana, Dokter Kaindra Yang Terhormat." Bintang menimpali. Lantas mendorong Aira pergi membawanya kembali ke ruang rawat.
"Aira, pikirkan baik - baik perkataanku ya!" teriak Kaindra. Yang masih dapat Aira dengar.
"Memangnya dia berkata apa dengamu, Princess?"
"Tidak ada, Kak. Kita hanya mengobrol biasa," dustanya.
Sepanjang perjalanan menuju ruang rawatnya, perkataan Kaindra sukses membuat batinnya berperang.
Tidak salah, dia memang menyukai Alpha. Sebagai kakaknya yang sangat ia banggakan dan hormati. Ya, hanya sebatas itu. Lantas, mengapa dokter Kaindra malah mengatakan bahwa dia menyukai Alpha sebagai seorang wanita kepada prianya?
Dan juga, ketakutan - ketakutan yang pria itu ucapkan pun tidak meleset. Lantas, apakah dengan begitu bisa dikatakan bahwa dia menyukai Alpha dengan maksud lain?
"Tidak!" Otaknya menegaskan.
Dia dan Alpha adalah sepasang saudara kandung yang saling menyayangi satu sama lain. Alpha telah berubah, bukan lagi Alpha yang dulu. Dan Aira pun selalu memaafkan pada kesalahan sang kakak di masa lalu.
Begitu kan, konsepnya?
***
"Tidak tahu."
Alpha mengusap wajahnya gusar. Sudah satu jam lebih Aira di bawa pergi oleh Kaindra. Dan selama itu puka ia merasa cemas bukan main. Ini kali pertama ia melepaskan Aira selain tanpa dirinya, ayah, Bintang, dan Chandra.
Sekarang, seluruh tim satu divisinya ia tanyai ke mana adiknya dan Kai pergi.
"Bukannya tadi kamu bilang, mereka akan pergi melihat lukisan - lukisan Aira, Al?" Itu Julio, yang sempat bertanya mengenai kepergian Aira dengan Kaindra yang sempat ia lihat dikoridor saat dirinya hendak memeriksa pasien yang lain.
"Mereka hanya pergi ke galeri seni di Jl. Brahmana, Jul. Tidak terlalu jauh dari sini. Seharusnya dua puluh menit saja sudah kembali kalau hanya untuk melihat lukisan Aira. Tapi, ini bahkan sudah satu jam lebih lima puluh dua menit."
"Mungkin mereka terlalu menikmati lukisan - lukisan di sana sampai lupa waktu, Dok. Anda tidak perlu khawatir," ucap Lia menenangkan.
"Atau terjebak macet mungkin, Al. Jakarta kan suka padat pengendara kalau jam - jam segini," timpal Bagus. Yang diangguki saudara kembarnya. Bagas.
"Kak Alpha!"
Semua yang berada dalam ruangan itu menoleh ke sumber suara. Seseorang yang sejak tadi menjadi topik pembahasan mereka muncul di balik pintu dengan Bintang yang ada di belakangnya.
"Aira!"
"Ya ampun, Ra. Kamu membuat Kakak khawatir." Alpha sampaikan keresahan hatinya yang sejak tadi ia rasakan. Sebuah pelukan pun ia berikan untuk adik tercinta.
Gadis dalam dekapannya itu pun terkekeh kecil. Balas memeluknya sama erat.
"Aira kan sudah pamit dengan Kakak tadi. Lagi pula Aira perginya dengan Dokter Kaindra, kok," jawabnya.
"Iya, tetap saja. Kalian perginya terlalu lama. Kakak kan jadi tidak tenang."
"Dasar posesif!" celetuk Bintang. Yang kemudian mendapat pelototan horror dari Alpha.
"Lalu, di mana Dokter Kaindra sekarang? Kamu kembali dengan Bintang."
Alpha memberi spasi, yang Aira jawab dengan cepat.
"Ada urusan katanya. Tadi di depan bertemu dengan, Kak Bintang. Jadi, bisa bersama Kak Bintang deh."
Bintang mengangguk."Dia dipanggil Prof. Fany. Dan aku bertemu mereka di lantai dasar. Jadi, yasudah ku bawa saja Aira denganku," jelasnya.
Dengan begitu, seorang Alpha yang sangat sensitif jika menyangkut keberadaan Aira pun dapat menghela napas lega.
Huh ... dasar Alpha.
"Ya Tuhan, Ra. Itu apa sebesar itu?" Lia bertanya setelah fokusnya teralihkan pada sebuah lolipop raksasa di pangkuannya.
"Ini," Aira tunjuk permen besar itu. "Dokter Kaindra punya kerja." Lantas, ia terkekeh sejenak.