Alpha POV
Usai kembalinya Aira dengan Kai dari galeri seni, kini adikku telah tidur di ruang rawatnya. Prof. Fany sempat mengomel karena Aira yang dibawa pergi keluar, sementara ia baru saja selesai melakukan operasi mata.
Namun, setelah Kai menjelaskan sesuatu yang tak ku ketahui kepada Prof. Fany, pemilik saham terbesar di rumah sakit Saudavel itu pun luluh dalam sejekap. Ntah apa yang Kai katakan. Yang pasti, Prof. Fany tidak lagi mengomel.
Sekarang, sebab Aira telah tertidur dan waktu mulai menunjukkan eksistensi raja siang yang semakin terik. Bersama anggota tim yang sama saat mengoperasi Aira, kami berdiskusi di laboratorium onkologi di lantai 10. Sekaligus sebagai penyambutan dokter onkologi terbaik dari negeri gingseng. Dr. Tae Young.
"Frist, I want to say thank you so much for your coming, Dr. Tae Young-"
"It's okay, aku bisa berbicara bahasa Indonesia. Walau mungkin pengucapanku tidak sempurna," potong dokter tampan tersebut.
Ngomong - ngomong, divisi tim bedah mereka yang diketuai oleh Julio sedang naik daun sekarang. Setelah sebelumnya, para perawat dan dokter wanita di Saudavel mengetahui dokter bedah umum atas nama Alpha Riandra kembali ke datarannya. Menyudahi masa cuti.
Tentu saja karena paras dan postur tubuh tiap anggota timnya yang menyegarkan mata, sedap di pandang.
Terutama para suster penyandang gelar penggemar cogan alias cowok ganteng itu seakan mendapat tripple kill tamparan visual secara berturut - turut. Mulai dari Alpha, lalu datang Julio, kemudian Kaindra. Dan sekarang bedah onkologi terbaik seasia, Dr. Tae Young yang wajahnya tampak tidak nyata. Seperti tokoh mangga.
Oh, lantas bukan tripple lagi. Ini grand prize namanya.
"Wow! Berapa bahasa yang Anda kuasai, Dokter Tae Young?" Lia yang bertanya antusias.
"Hmm, sekitar tiga atau empat."
"Wah ... genius. Bahasa apa saja Dokter?" Bintang dengan segala kekepoan-nya.
"Bahasa negaraku tentu saja ..." Bahasa Korea. "Inggris, Mandarin, dan Indonesia."
Kami bertepuk tangan kecil - kecilan di sana secara naluriah. Pria itu pun membungkukkan tubuhnya beberapa kali sebagai ucapan terima kasih.
"Oke, ku rasa cukup sampai di sini perkenalan singkat kita, kalian bisa bertanya apa pun padaku nanti. Sekarang, rapat kita mulai dulu." Tae Yong berpendapat.
Kami pun mengangguk setuju.
"Aira Sabila, katanya dia adik dari salah satu tim ini?"
Aku lekas mengangguk. "Adikku, Dok," jawabku singkat.
"Aku sudah membaca rekam medis milik pasien dan telah mempelajarinya secara menyeluruh." Ia berjalan ke arah mejanya dan mengambil sesuatu di sana.
"Ini, penggambaran fungsi hati yang rusak jika kanker menyebar dengan cepat." Memberikan dokumen lengkap dengan gambarnya.
"Keadaan seperti ini bisa saja terjadi, kemungkinan yang paling parah jika sampai menyentuh fungsi paru - paru. Kita akan melakukan pembedahan ginjal terlebih dahulu, secepatnya."
"Tapi, pasien memiliki riwayat lemah jantung, Dok," timpalku cepat.
"Serangan jantung tidak akan terjadi jika itu yang kalian takutkan."
"Bagaimana mungkin?!" sambung Julio.
"Bisa, tapi prosedur ini terlalu berbahaya untuknya, Dr. Tae Young." Kai ikut angkat suara.
Mendadak suasana menjadi semakin mencekam. Ini memang bukan situasi yang baik tapi, terlihat dari wajah - wajah para terkemuka yang semakin serius.
Dalam hati, kurapalkan seribu doa sembari diskusi ini. Semoga saja kami menemukan titik terang dari persoalan ini.
Karena, dalam benakku hanya kesembuhan Aira yang utama.
"Dia sempat mengalami gagal jantung kongestif di kali terakhir pemeriksaan. Saat operasi transplantasi mata itu berlangsung, pasien bahkan mengalami serangan jantung mendadak, Dok. Tidakkah ini agak membahayakan pasien untuk melakukan pembedahan lainnya," jelasku resah.
"Sementara pemasangan ring jantung hanya mempercepat kematiannya," sambung Kai cepat.
Ya, sebisa mungkin ku atur ritme pernapasan yang mulai menyempit hingga menimbulkan sesak. Dan mencoba berpikir tenang.
Pria berkebangsaan Korea Selatan itu pun mengangguk kecil beberapa kali.
"Ada alternatif lain yang bisa kita lakukan terhadapnya. Dengan catatan, hal ini akan sedikit lebih beresiko dengannya," ucap Tae Young.
Hal yang membuatku dapat mengambil napas beberapa saat.
"Apa itu, Dok?"
***
"Hmm ... Tidak juga. Kebetulan aku suka rasa itu."
"Aku tidak suka, Kak. Baunya sangat menyengat. Dan saat ku makan, rasanya seperti memakan rumput. Hehe ..."
"Haha ... ada - ada aja kamu, Ra. Oke, lain kali aku tidak akan membawakan makanan rasa matcha lagi ya. Supaya kamu bisa memakannya."
"Terima kasih, Kak."
"Sama - sama," sahut Sheila lembut. Sebelah tangannya terulur mengelus puncak kepala Aira.
Lihat, Sheila adalah orang baik. Lantas, mengapa bisa Bintang menuduhnya sejahat itu.
Pemandangan ini ku lihat saat aku akan memasuki ruangan Aira. Namun, suara cakap - cakap dari dalam membuatku menahan langkahku seaaat dan memilih mencuri dengar apa yang sedang mereka obrolkan. Ternyata yang datang sheila.
"Tapi tidak masalah kok, Kak. Kak Alpha suka matcha. Nanti Kak Alpha saja yang memakannya."
"Oh ya?"
"Huum. Kakakku bahkan penggemar matcha."
"Wah syukurlah. Ku pikir mungkin makanan ini akan mubazir dan berakhir di tong sampah karena kamu tidak suka, Ra." Ada nada keputus asaan dalam sara Sheila.
"Tidak akan, kak. Kak Bintang dan Ayah juga suka matcha. Jadi, kalau Aira dan Kak Alpha tidak bisa memakannya, masih ada mereka."
"Hmm ... baguslah."
Aku tersenyum di depan pintu. Lalu, memutuskan masuk. Menyudahi acara mengupingku. Beberapa percakapan tadi sudah membuntikan bahwa Sheila bukan orang jahat seperti yang Bintang katakan.
Bintang pasti hanya khawatir terhadap Aira yang mulai berinteraksi dengan banyak orang. Ya, pasti begitu.
"Alpha? Sedang apa kamu di sini?" Suara yang sangat ku kenali masuk ke runguku.
"Ayah, hmm ... tidak ada, Yah. Tadi ada yang menelepon," dustaku. Sebab tak mungkin ku katakan yang sebenarnya kalau aku sedang menguping kan?
"Ayah sudah makan?"
Ayahku mengangguk singkat. "Sudah, sekarang Ayah ingin melihat Aira," jawabnya sembari membetulkan posisi masker yang beliau kenakan.
"Setelah itu Ayah pulang ya. Aira banyak yang menemani di sini, Yah. Ayah sedang sakit, nanti bisa semakin drop jika dipaksakan."
Semenjak menunggui Aira dari beberapa hari lalu secara nonstop, Ayah terserang flu dan batuk. Sudah mendapat penanganan dari dokter dan diharuskan bed rest sebab Ayah juga kelelahan karena selalu memforsir tenaganya.
"Iya, Al. Habis ini Ayah akan segera kembali ke rumah untuk istirahat."
Aku pun tersenyum kecil. Kemudian, kami memasuki ruangan Aira yang masih saja mengobrol dengan Sheila di dalam sana.
"Eh, ada tamu ya?!" celetuk Ayah melihat Sheila.
"Paman, apa kabar? Bagaimana keadaan paman?" Sheika bertanya dan beranjak dari duduknya untuk menyalami tangan Ayah.
"Sudah semakin membaik, hanya flu ringan."
"Syukurlah, Paman. Ini Sheila bawakan beberapa buah - buahan juga, semiga Paman suka ya." Ia tersenyum cerah. Cantik.
Senyumannya cantik.
"Terima kasih, Nak Sheila. Kamu tidap perlu repot - repot."
"Eiy ... jangan begitu Paman. Membeli beberapa buah dan makanan tidak merepotkan kok. Malah Sheila senang melakukannya."
Lagi - lagi ucapannya terdengar ramah dan indah di pendengaranku.
Lihat, Sheila tidak seburuk itu.
"Oh iya, Al. Ini aku juga bawakan vitamin untukmu. Supaya kamu tetap sehat dan bisa menjaga Aira terus." Ia mengeluarkan sebuah botol suplemen kesehatan yang kutaksir harganya pasti agak mahal.
"Sheila, kamu sangat baik. Terima kasih tapi, benar kata Ayah seharusnya kamu tidak perlu repot -repot," kataku.
Wanita itu menggeleng sejenak.
"Tidak, Al. Aku tidak kerepotan. Kamu ini sama saja dengan Paman," gerutunya dengan raut mencebik. Membuatku dan Ayah terkekeh sejenak.
Aku semakin yakin kalau Sheila adalah orang baik. Wanita ini terlihat tulus dan tidak ada sedikit pun gerak - gerik yang menunjukkannya seperti orang tidak baik. Bahkan, dia juga sangat sopan dengan Ayah.
"Aku membawa roti matcha denga selai aprikot. Ku buatkan sebentar ya untuk Paman dan kamu, Al," katanya lagi.
"Aira mau jus apel, Kak." Suara adikku terdengar.
"Iya siap, sebentar ya Kakak ambilkan dulu jusnya." Begitu.
Begitu terus selama setengah jam berlalu. Sheila dengan sabar menghadapi Aira yang sedikit manja. Ia bahkan membuatkanku dan Ayah roti. Setelah itu, mengobrol dan selalu menanggapi ucapan Aira dengan antusias.
Sheila wanita baik - baik. Aku tidak salah kan?