Author POV
Sepulangnya dari rumah sakit setelah menjenguk Aira, Sheila mampir ke bar terdekat. Bersama Irish yang menemaninya.
Dua botol coctail tersaji di hadapan dua orang wanita di sana. Irish tampak seperti wanita penghibur dengan pakaiannya yang serba terbuka sana sini. Mempertontonkan tubuh bagian depan dan belakangnya yang terpampang nyata.
Sementara Sheila berdecak, tas selempang yang ia bawa sepulang dari rumah sakit tadi dicampakkannya ke sisi meja bar yang kosong.
"Nyesel gue pake baju kayak gini, fucek banget!" sarkas Sheila.
Irish yang masih menikmati minumannya pun terkekeh sejenak.
"Udah kayak lontong deh lo, Sheil. Haha ... ke bar pake jeans sama blouse begitu. Udah kayak ABG labil aja deh lo," hardiknya.
"Ya kali, gue ke rumah sakit pake baju kekurangan bahan kayak lo gini, Ris. Apa dong kata Alpha ntar."
"DUH SHEIL! NGOMONGNYA RADA KUATAN DIKIT. GUE MULAI HANG OVER NIH KAYAKNYA." Irish berteriak nyaring.
Sheila berdecak, menyalahkan music dj yang memenuhi seisi bar dengan kerasnya.
"Gue perlu curhat, bangsul. Udah yuk ke ruangan VIP dulu!" balas Sheila dengan teriakannya. Lantas menyeret sahabatnya itu ke tempat yang ia maksud.
Ruangan VIP lantai dua yang tenang dan kedap suara. Meski dari atas sana mereka masih bisa melihat kegemerlapan dance floor sebab ruangan itu dilapisi oleh kaca transparan.
Seorang penari tanpa berbalut pakaian di bawah sana masuk di indra penglihatan Sheila. Wanita itu cuek dan melanjutkan obrolannya dengan Irish yang sempat tertunda.
"Jadi, kenapa lo pake pakaian kayak gini ke club, Sheila?"
Empunya nama memutar mata malas.
"Gue abis dari runah sakit, jengukin adik dari cowok yang gue suka itu, Ris. Aira, adikya Alpha."
"Wow, oh ya? Berarti hubungan kalian udah sejauh itu dong?" Irish bersemangat.
Sheila menggeleng beberapa saat.
"Gak sejauh yang lo pikirin."
"Terus gimana - gimana?" Irish menegakkan tubuhnya dan mulai menatap sahabatnya dengan serius.
"Terus kenapa setelah dari jengukin adiknya doi, muka lo malah keliatan kusam dan muram gini, Sheil? Kan udah ketemu Alpha - Alpha itu kan? Oh atau jangan - jangan, lo udah nyatain perasaan? Di tolak ya?" tanya Irish beruntun.
Sheila mendengkus kasar.
"Ihh ... gak ditolak juga kali, Ris. Mana ada sih laki - laki yang sanggup nolak gue," bangganya.
"Iya terus, kenapa dong?"
"Emang sih, udah ketemu sama Alpha. Tapi gue sebel banget sama adiknya. Makanya itu gue minta lo jemput gue di rumah sakit tadi."
"Hmm, abisan lo sih. Ada - ada aja suka sama orang modelan kayak Alpha. Biasanya kan yang lo incer fucek boy fucek boy semua, Sheil."
"Gak ada yang bisa nandingin kegantengannya dia, Ris. Terus nih ya, Alpha juga tipe cowok yang baik dan setia sih kayaknya. Ya ... walaupun hidupnya gak sekaya gue." Ada nada sombong dalam suaranya.
"Jadi makin penasaran gue, seganteng apa sih yang namanya Alpha itu?"
Sheila berdecak, lagi. "Ganteng banget pokoknya. Lo gak perlu liat, ntar lo rebut," sahut Shiela sarkas. Irish mencibir sesaat.
"Betewe - betewe, emang kenapa sih sama adiknya? Senyebelin apa sih? Kok keliatannya lo kesel banget."
"Ya gimana gue gak kesel ya. Adiknya itu ... prioritas utama Alpha. Sebagai seorang perempuan, gue bisa ngeliat di matanya tuh, ada rasa yang terpendam sama adiknya."
Dan Sheila benci pada kenyataan bahwa dirinya memang tak seunggul Aira yang mampu menguasai seluruh atensi Alpha terhadapnya.
Ada perasaan tidak suka dalam dirinya saat Alpha mengatakan bahwa pria itu mampu hanya menatap sang adik dalam waktu yang panjang.
Sheila merasa dia seperti tidak ada harapan. Dari gelagat yang Alpha tunjukkan, pria itu seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. Begitu keresahan hati seorang Sheila.
"Tapi, Sheil. Ya kali ah. Mereka bukannya kakak adik?" bingung Irish.
"Iya. Gak bener kan ya kalau Alpha cinta sama adiknya sendiri?"
Irish berdecak sembari terkekeh singkat. Jenis kekehan yang hanya menarik salah satu sudut bibirya.
"Gak mungkinlah. Kecuali ..." Menjeda. Kekehan itu berubah menjadi seringaian yang di mata Sheila terlihat menakutkan.
"Kecuali apaan?!" sentak Sheila tak sabaran.
"Kecuali kalau mereka bukan saudara kandung terus Alpha tahu deh kebenarannya. Hahaha, apaan deh gue. Udah kayak cerita sinetron aja perasaan."
Berbeda dengan Irish yang tertawa terbahak - bahak. Perkataan wanita berpakaian minim itu justru dianggap serius oleh Sheila. Tiba - tiba saja muncul kemungkinan - kemungkinan mengerikan di kepalanya.
Wanita dengan rambut kecokelatan itu pun menggeleng beberapa kali.
"Nggak - nggak, hal itu gak boleh terjadi. Pokonya gue harus selidiki semuanya sampai gue bisa dapetin Alpha secara mutlak. Iya, liat aja."
Dan mulai detik ini, Sheila bertekad. Dengan cara kotor sekali pun ia harus mendapatkan hati seorang Alpha Riandra. Termasuk, jika harus melenyapkan eksistensi Aira.
Seringaian tajam hadir di bibirnya.
"Karena Sheila, akan selalu menjadi pemenang," monolognya angkuh.
Lantas, dalam sekejab seringaiannya berubah menjadi sebuah senyuman yang teramat manis. Membuat Irish yang sejak tadi memerhatikannya pun bergidik ngeri.
"Gue mulai sandiwaranya sekarang ya," ucap Sheila. Kemudian mengetikkan sesuatu di ponselnya dan ia kirimkan pada nomor dengan nama kontak yang ia simpan 'Alpha Alpha'
Beberapa saat, di ujung sana. Alpha menerima sebuah pesan masuk darinya.
To : Alpha Alpha
'Maafkan sikapku yang tadi ya, Al. Sungguh aku tidak bermaksud apa pun. Besok, aku akan mengunjungi Aira lagi. Aku merindukannya.'
Rindu yang ia maksud adalah sebuah lakon dengan peran sebagai si antagonis yang berpura - pura baik.
***
Di sisi lain, Aira yang berhasil Kai bawa pergi membuat gadis itu meringis sekarang.
Tempat penyimpanan lukisan - lukisannya adalah di sebuah galeri khusus orang - orang berkebutuhan khusus. Para penyandang d*********s yang senang melukis dan mengekspresikan diri dengan memainkan warna - warna.
Jalan Brahmana, nomor 17 gedung kesenian khusus pemilik kepribadian khusus dan tuna netra. Gedung lantai 3, Kai menatap tiga sampai empat buah kanvas yang terjejer di hadapannya. Hasil karya Aira.
Dari sekian banyak karya seni lukis yang terpampang di sana, beberapa lukisan Aira menjadi objek utama yang Kai tangkap.
Seorang pemuda dengan paras bak dewa yang terdapat mahkota kecil di atas kepalanya, tersenyum simpul dengan gurat tenang. Di depannya, seorang wanita dengan kacamata hitam dan tali yang mengikat kuat leher serta kakinya terdapat dalam lukisan itu.
Beberapa unsur abstrak dengan warna - warna cerah namun, jika dilihat sejenak akan terlihat seperti warna gelap memenuhi sekeliling dua orang itu.
Garis vertikal dan horizintal yang tidak tentu arah, bunga - bunga berpadu rumput lalang yang tinggi dan sebuah gedung kumuh turut menjadi isi dari kanvas berukuran sedang tersebut.
Indah, adalah kata yang cocok menggambarkan lukisan yang Kai lihat sekarang. Maknanya pun sangat dalam. Dia memang bukan seorang pengrajin seni atau seniman. Tapi, kegemarannya di dunia kesenian membuatnya mengetahui banyak sedikit tentang sebuah lukisan dengan pesan moral yang kuat.
Dan lukisan Aira, adalah sesuatu yang sangat mengangumkan. Seperti pelukisnya, hiasan dinding ini akan bersinar suatu saat nanti. Begitu yakin Kai membatin.
"Sudah ku bilang jelek, Dokter. Sekarang, Anda pasti menyesal. Iya kan?" Suara Aira mengalun lembut masuk ke telinga Kai dengan sopan.
Yang bisa Kai rasakan ada sedikit kejengkelan di sana.
"Bagus, Ra. Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan baru lagi?" Kai bernegosiasi.
Sementara Aira mendongak cepat. Matanya masih terbalut perban tapi, dirinya sudah gentayangan ke mana - mana. Untung perginya bersama dengan Kaindra, yang notabene adalah salah satu dokter terbaik masa kini. Jadi, orang -orang tidak perlu merasa khawatir.
Sepanjang perjalanan pun, Aira berada di kursi roda. Jika mengharuskannya jalan maka, Kai akan menggendongnya.
"Kesepakatan apalagi Dokter Kaindra? Permintaan pertamaku saja belum ku katakan," celetuk Aira jengkel.
"Lalu, apa itu tadi. Ra? Sejak kapan kita pernah menjadi dekat?" sambungnya. Masih dengan nada suara yang sama.
Kai menghela napas sesaat. Lantas, memutar kursi roda yang Aira duduki menjadi menghadap dirinya.
"Kau ini, ternyata cerewet juga ya," ucap Kai.