Siang itu, sepulangnya Aira dari galeri kesenian bersama Kai. Saat adikku tertidur, sementara aku terdampar di sofa sebenarnya aku sedang sibuk dengan ponsel di tanganku. Ruang chatku saling berbalasan dengan dokter spesialis toraks kardiovaskular itu di seberang sana.
To : Dokter Kaindra
Ada tempat lain yang kalian kunjungi selain galeri seni, dokter Kaindra?Kenapa kalian lama sekali perginya. Anda tidak berniat menculik adikku kan?
Dimulai dengan diriku yang lebih dulu mengiriminya pesan bertuliskan kalimat tersebut kepada Kai.
From : Dokter Kaindra
Membelikannya jajan kecil – kecilan, sekaligus mengabulkan permintaan pertamanya.
Begitu awal mula kami saling bertukar pesan. Yang selanjutnya terus berdatangan pesan – pesan baru yang lain.
Sampai di menit ke dua puluh enam, Kai baru membalas pesanku . Lama memang, karena begitulah jika chatting-an dengan orang penting. Sabar adalah kunci.
From : Dokter Kaindra
Aku membantunya menghilangkan ketakutan terhadap rumah sakit dan memotifasinya agar semangat untuk sembuh, Al. Kau tahu kalau Aira sering menghidari untuk minum obat?
Maksudnya?
Lantas, datang kembali pesan berikutnya dari Kaindra.
‘Aira kerap kali membuang obat – obatannya, Al. Dia juga suka sengaja tidur agak larut.’
Saat itu rasanya emosiku menguap ntah ke mana. Tidak marah ketika Kai mengatakan hal itu. Namun aku merasa sedih. Sedih pada kenyataan bahwa Aira mungkin telah menderita terlalu banyak dari yang ku kira.
Ini bukan pertama kali seseorang mengadu tentang kebiasaan buruk Aira, yang suka membuang sebagian atau pernah membuang semuanya obat – obatan yang ia konsumsi. Bintang juga pernah mengatakan hal yang sama.
“Apa Aira selalu meminumm obatnya dengan teratur, Al?”
“Iya, Bi. Dia mau segera sembuh dan kembali sehat menjadi Aira yang memiliki tubuh sehat.”
“Lalu, bagaimana dengan ini?” Empat buah butir pil tablet berwarna putih, hijau, merah, dan m itu terpampang di telapak tangan Bintang.
“Aira tidak bersungguh - sungguh mengonsumsi obatnya, Al. Kamu tahu, di mana aku mendapatkan ini?”
“Di mana?”
“Di dalam pot bunga dekat jendela.”
Maka, yang ku lakukan detik itu juga adalah mendatangi tempat yang Bintang katakan dan memeriksa kekacauan itu. Benar saja, berbagai macam tablet teronggok tanpa bertuan.
Aku melirik Aira yang masih tertidur dengan nyamanya di sana. Helaan napasnya terdengar teratur. Igin marah tapi tak tega. Dan bagaimana pula dia bisa mendapatkan ide untuk menyembunyikan tablet – tabletnya di dalam pot s****n ini?!
“Kamu membuatku kecewa, Ra,” gumamku pada keheningan yang panjang.
Kembali, pesan teks baru ku dapatkan dari Kaindra.
From : Dokter Kaindra
“Jangan memarahinya, Al. Ada alasan yang bisa ku jelaskan mengenai tindakannya itu.”
Aku menghea napas sekali lagi. Bagaimana mungkin aku bisa memarahinya. Jujur, di saat seperti ini sepertinya wajar kan jika aku marah kepadanya. Namun, perkataan Bintang dan Kaindra yang menahanku untuk tidak menyalakan atas sikapnya adalah hal yang tak bisa ku abaikan.
Jika pun tebakanku dan mereka sama, ini bukan salah Aira sepenuhnya.
Di dalam ruangan yang hanya berduaan dengannya, aku tidak bisa untuk tidak menatap ke arahnya setiap tiga menit sekali. Karena demi apa pun, memandang Aira adalah pemandangan indah yag sulit dielakkan. Meski demikian, sekarang ini diriku sedang penuh kekecewaan terhadapnya.
“Hngg ...” Aira mulai menggeliat.
Dan saat ia membuka matanya, aku kembali berpura – pura sibuk dengan ponsel dan map di sampingku duduk dekat sofa. Kedua alat ini bisa menjadi alasanku untuk mengabaikannya, sebab hati sedang marah namun tak ingin menyakit. Maka, diam adalah alternatif yang ku pilih.
Padahal, beberapa saat lalu hatiku riang bukan kepalang memikirkan bahwaAira akan segera melihat kembali. Namun, setelah Kaindra mengabarkan persoalan ini, rasanya marah, kecewa, sedih dalam satu waktu.
“Kak Alpha!”
“Eh?”
“Pasti lagi mengkhayal ya?” Ada raut wajah manis dan menggemaskan yang ia sajikan. Adikku terlihat amat lucu. Dan satu kenyataan itu, membuatku tersenyum.
Nyatanya, memang semudah itu untukku kembali luluh terhadapnya. Dan sesulit itu pula bagiku untuk marah kepadanya.
***
“Kak Alpha, aku ingin yang rasa stroberi.”
“Huh? Rasa apa ini? Tidak mau. Buat Kakak saja”
“Yang ini?”
“Kalau yang ini, rasa apa, Kak Alpha?”
“Aira ... tidak ada yang kamu habiskan dari semua ini. Hanya kamu icipi sebentar kemudian kamu letakkan. Mubazir, Sayang. Siapa yang akan menghabisinya kalau seperti ini?”
Adikku menghentikan kegiatanya yang sejak tadi hanya menyerakkan berbagai macam es krim di atas meja. Kami lesehan demi menemani Aira yang katanya menginginkan es krim sejak satu jam yang lalu. Ia meriquest semua jenis rasa namun, yang dilakukannya hanya menjilati sebagian atasnya demi mengenal rasa di lidahnya setelah itu, ia letakkan di atas meja.
“Kakak saja yang menghabiskannya.” Begitu katanya.
Dan berakhirlah, aku yang menghabiskan semua sisa yang telah Aira makan.
“Wow! Sedang ada pesta es ternyata. Boleh ikut?” Kaindra beserta Julio muncul dari daun pintu.
“Wow wow! Kelihatannya menggugah selera sekali.” Itu Julio. Yang langsung megambil posisi duduk di sebelah Aira. Lantas, ku tatap secara tajam.
Rasanya muncul ketidaksukaan terhadap dirinya yang pernah mengatakan suka kepada Aira. Ingat kan, Julio pernah meminta Aira untuk menjadi miliknya?
Ntahlah, mungkin terdengar seperti kekanakkan tapi, jujur saja aku tidak suka dengan jenis bercandaan seperti itu.
Kaindra yang megambil duduk di sebelahku pun terkekeh sejenak. Tidak tahu terkekeh karena apa. Kemudian pria itu menepuk sebelah pundakku seraya berbisik, “Tenang, Julio tidak berencana merebutnya kok. Hahaha ...”
Apa maksudnya itu?
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Hari berganti hari secara penuh hingga tibalah saatnya masa satu minggu penuh yang terdiri dari tujuh hari itu terlaksana saat ini.
Ruangan Aira kembali penuh dengan dokter – dokter yang akan membuka perban matanya. Julio yang akan bertugas membuka. Ada juga Bintang dan Lia yang mendampingi dengan alat – alat lain yang tersedia dan mungkin saja akan Julio butuhkan.
“Kami siap Aira?” Julio bertanya.
“Siap, Dokter!” Begitu semangat adikku menjawab dengan senyum tipis yang indah terpatri di kedua sudut bibirnya.
Dan lilitan perban putih yang membungkus mata Aira selama tujuh hari ini pun mulai dibuka.
“Satu ...”
“Dua ...”
“Tiga. Buka mata kamu secara perlahan Aira.”