Aira Sabila
Arina Salsabila
Nama sepasang bayi kembar yang berada di box bayi.
Satu jam lalu keduanya keluar dari rahim seorang wanita yang juga pernah melahirkanku.
Warna mereka masih merah, sama - sama berjenis kelamin perempuan dan memiliki wajah yang sama. Seperti pinang di belah dua, mulai dari rambut sampai ujung kaki serupa.
Box sebelah kanan, tertempel sebuah kertas dengan nama bayi Arina Salsabila lengkap dengan keterangan waktu hari ini ia dilahirkan. Begitu pun pada sisi sebelah kiri, Aira Sabila. Dengan keterangan waktu yang sama.
Di mataku mereka sama. Memiliki wajah yang sama, mengalir darah yang sama, lahir dari wanita yang sama. Namun, satu hal yang membedakan keduanya. Pandangan.
Ketika kedua obsidianku jatuh pada bayi - bayi itu, ada tatapan berbeda yang ku beri. Terkhusus pada bayi di box sebelah kiri dengan nama Aira Sabila.
"Pembunuh!" gumamku setiap kali melihatnya. Tatapan tak suka penuh kebencian itu selalu ku layangkan padanya.
"Kenapa kau harus hidup sementara Ibuku mati?!"
Dari balik ruangan berdinding kaca transparan. Bisa ku lihat bayi itu terlelap dengan damai sementara Ibuku berpulang dalam ramai. Setelah persalinan yang menguras habis tenanganya, demi memperjuangkan si kecil sebagai bungsu. Si kecil sebagai bungsu, adalah panggilan kesayangan Ibu pada calin anak - anaknya semenjak ia mengetahui mengandung bayi kembar.
"Alpha, kamu mau adik kembar kamu nanti perempuan atau laki - laki?" Penuh senyum lebar yang menampilkan keayuan parasnya, Ibu bertanya.
"Alpha suka yang imut dan menggemaskan, jadi pasti akan lucu jika mereka semua perempuan," aku kecil menjawab semangat.
"Tidak mau sepasang? Laki - laki dan perempuan? Agar Alpha ada teman mainnya."
"Tidak, Bu. Alpha kan sudah besar, sudah 10 tahun. Kalau memiliki adik laki - laki nanti perbedaan usia kami yang jauh akan sangat merepotkan kalau dia masih remaja sementara Alpha sudah dewasa."
"Merepotkan bagaimana?"
"Konon katanya, anak laki - laki suka menjadi pemberontak dan mudah terjerat pergaulan bebas. Alpha tidak mau mengurusi hal - hal semacam itu, Bu. Jadi, mereka perempuan saja."
Ibu terkikik geli dalam baringnya. Satu tangannya yang bebas mengelus puncak kepalaku sayang. Lantas, menyuruhku mendekat untuk menanamkan satu kecupan di dahiku.
Aku senang, jika Ibu seperti ini. Aku merasa bahwa Ibu sangat menyayangiku dan aku sangat diinginkan.
"Kalau begitu, ketika mereka lahir nanti kamu harus menyayangi keduanya sama besarnya ya Alpha."
"Tentu saja, Bu. Mereka kan adik - adikku."
"Benar?" Ada nada merayu di sana. Namun, tak mengikis rasa percaya diriku.
Dengan semangat, ku anggukan kepala sembari menggenggam jemari Ibu.
"Apa pun yang terjadi?"
"Hu'um! apa pun yang terjadi Alpha akan sangat menyayangi keduanya, Bu."
Wanita yang selalu menjadi penerang hidupku itu pun tersenyum lebar. Lebih lebar dari senyumnya yang awal. Jenis lengkungan yang sangat mewah dan tampak bersinar di mataku. Deretan lesung pipi Ibu di kedua pipinya pun membuatku tak kuasa ikut tersenyum.
Wanita cantik jelita ini, Ibuku. Seorang tokoh hebat yang kerap kali ku bangga - banggakan kepada semua orang.
Aleta Sukma Wijaya, ibuku.
"Terima kasih, Sayang. Sekarang Ibu bisa tidur dengan tenang," sahutnya lembut.
"Iya, tidurlah, Bu. Alpha yang akan merawat bayi - bayi perempuanmu yang mungil."
Sekali lagi, ibuku menarik lengkungan simetris di kedua sudut bibirnya yang mengagumkan.
Lantas, bisakah sekarang aku mengutuk diri sendiri? Janji pada mendiang ibu yang telah ku ingkari.
Mudah berjanji, mudah mengingkari.
"Kak Alpha?" Suara Aira masuk ke runguku. Membuyarkan lamunan dan ingatan yang berputar di masa dulu.
Aku menoleh, melihatnya yang sedang menguap kecil sembari menggeliat dalam posisi menyamping menghadapku. Setelah kepulangan Sheila, Aira langsung terpejam. Katanya mengantuk berat.
Aku beranjak, meninggalkan segala ingatan pada masa lalu yang akan selalu menjadi masa lalu terburuk dalam sejarah ku hidup.
Meletakkan map kecil milik Sheila yang tertinggal di atas sofa. Dan mendekati Aira.
Grep!
Nyaman, pelukan jika objeknya Aira adalah sesuatu yang sangat ku sukai. Terasa sangat nyaman dan nyaman.
Lingkar pinggangnya yang ramping langsung ku tarik tat kala diri telah mendekat dan ia telah terduduk. Menenggelamkan wajah kecilnya dalam dadaku. Oh jantung, getarannya sedahsyat itu. Semoga saja ia tak mendengarnya.
"Kapan perban mta Aira bisa di buka, Kak?" Ia bertanya dalam dekapanku.
"Sabar ya, kamu hanya butuh waktu empat hari lagi mulai hari ini." Seminggu, adalah saat pembukaan perban mata Aira. Ketika di lepas nanti, aku hanya bisa berdoa semoga dia akan menikmati kembali indahnya dunia yang telah tak di lihatnya selama hampir delapan tahun.
Menantikan detik - detik kedua lensa barunya menatapku, sebuah kebahagiaan sendiri dalam hidupku.
Oh ... Aira akan menatapku. Mataku dan matanya, kita akan saling memandang.
Ya Tuhan, betapa mendebarkannya.
Memikirkannya saja membuatku merasakan euforia senang bukan main. Aira melihatku, Aira melihatku.
"Kak Alpha!"
"Eh?" Terkesiap. Suara melengking Aira membuyarkan lamunanku.
"Pasti lagi mengkhayal ya?" Mulutnya mencebik lucu, pipinya muncul semburat merah jambu yang selalu membuatku jatuh ke dalam pesonanya lagi dan lagi.
Oh tolong maafkanlah diri ini, yang telah berani mencintai adik sendiri.
"Maaf, kamu bicara apa tadi?" tanyaku lembut. Enggan melepasnya dari pelukkanku.
Biar begini dalam beberapa waktu.
"Apa Dokter Kaindra tidak ada menceritakan bagaimana perasaannya saat melihat lukisanku, Kak?" Ia mendongak, dalam posisi sedekat ini menghantarkan sengatan listrik dalam diriku.
"Memangnya kenapa?"
"Aira malu, Kak. Lukisanku kan tidak sebagus itu. Pasti hanya ada coretan - coretan abstrak yang menjengkelkan!" serunya kesal. Seketika aku memberi spasi. Menatapnya dalam jarak sedekat ini.
"Hei, kamu mengumpat? Siapa yang mengajarimu, Aira?"
Tidak suka, aku tidak suka jika Aira berkata kasar. Sebab, di mataku ia terlalu polos dan suci. Airaku yang berharga dan tidak akan pernah berbalut dosa. Jadi, sebesar itu pula keinginanku untuk tetap mempertahankannya yang suci. Menjaganya sedemikian rupa.
"Mana ada begitu," elaknya.
"Mengjengkelkan. Termasuk ke dalam kata - kata dengan artian kasar, Ra. Kamu tidak boleh berkata demikian."
"Eh, begitu ya?"
Aku mengangguk "Hum, jangam bicara seperti itu lagi ya?"
"Iya, Kak Alpha. Maaf."
Kuelus puncak kepalanya perlahan lantas menanamkan satu kecupan panjang di sana. Lama. Harum bunga dari surai legamnya seketika masuk ke mukosaku. Rasanya segar dan selalu menjadi hal yang merupakan favoritku.
"Kaindra belum ada bicara apa - apa. Karena kami belum sempat bertemu lagi. Dia dokter populer yang cukup sibuk, Ra. Jadi, tidak semudah itu mengajaknya bertemu," ucapku.
Tidak sepenuhnya berbohong, aku dan Kaindra memang belum sempat bertemu setalah dia membawa pergi Aira. Tapi, pria itu ada mengirimkan pesan teks di aplikasi chating berwarna hijau kepadaku.
Yang masih ku rahasiakan dari Aira.