“Kamu siap Aira?” Julio bertanya setelah bersiap dengan sebuah gunting kecil di tangannya.
Bintang dan Lia pun memberikan senyum hangat satu sama lain, sesekali mereka juga menatap ke arahku. Jenis tatapan kebahagiaan.
“Siap, Dokter!” jawabnya bersama senyum cerah bak mentari pagi.
“Sebentar lagi, sebentar lagi Aira. Kamu akan kembali melihat dunia.”
“Oke, Dokter buka sekarang ya?”
Anggukan dari Aira membuat Julio mulai menggunting sebagian ujung perban matanya. Dan membuka perlahan tiap lilitan tersebut.
Dalam hati ku berdoa tak pernah putus, semoga ini adalah langkah awal adikku menuju kebahagiaannya. Setelah melihat, selanjutnya pengobatan medis untuk ginjal dan jantungnya pun lancar. Akan ku usahakan dengan cara apa pun agar Aira tak lagi merasakan kesakitan.
Kaker ginjal dan riwayat jantung yang dideritanya, adalah tantangan yang masih harus ku atasi.
“Nah, dalam hitungan ketiga buka mata kamu ya.” Suara Julio membuyarkan lamunanku.
Seluruh perban yang menutupi mata Aira selama seminggu terakhir ini sudah terlepas. Memperlihatkan sepasang kelopak mata indahnya yang masih terpejam.
“Kamu akan segera melihatku, Aira ...” Ada perasaan excited ketika batinku berteriak demikian.
Selama ini, ia memimpikan melihat wajahku dalam tidurnya. Dan hari ini, mimpinya akan terwujud.
“Satu ...”
“Rileks, Princess.” Bintang menambahi.
“Dua ...”
“Tiga. Buka mata kamu secara perlahan Aira,” ucap Julio.
Serebrumku bersorak riang. Aira akan melihatku, mataku dan matanya akan saling bertatapan satu sama lain. Fakta itu membuatku berdebar tidak karuan.
Demi Tuhan, rasanya waktu berjalan lambat sekali.
Perlahan, kelopak itu terbuka memperlihatkan kedua iris matanya yang jernih. Ia memandang jauh ke depan, bukan padaku ataupun pada Julio yang menuntunnya. Namun, saat kedua obsidian itu jatuh ke manikku, bisakah ku hentikan waktu saat ini juga?
Di sana, ia tersenyum. Mempertunjukkan kedua lengkungan bibir dan matanya yang indah. Oh Tuhan, aku lemah. Tak bisa lagi membalas senyumannya dengan hal yang sama, melainkan yang dapat ku lakukan hanya terdiam seribu bahasa. Menikmati paras polos dan cerahnya.
“Airaku,” batinku membeo.
Seluruh tubuhku menegang, merasa seakan sedang diperhatikan sedemikian rupa. Binar redup dan sedih yang selama ini bersemayam dalam tatapannya kini, berganti menjadi suatu jenis tatapan yang tak bisa ku definisikan secara pasti.
Aira ... maafkanlah perasaanku ini terhadapmu.
“Bagaimana, Ra? Apa yang kamu lihat?” Suara Julio kembali terdengar, ia bertanya. Seketika, adikku memutar kepalanya menghadap Julio. Rasanya aku tidak ikhlas membagikan binar cerah dan indah miliknya kepada orang lain. Apalagi kepada seorang lelaki.
“Dokter ... Julio?”
Empunya nama mengangguk, Julio bahkan menampilkan senyum yang membuat kedua matanay ikut mengecil. Banyak para jajaran kaum hawa mengatakan, bahwa pesona Dr. Julio yang membuat jatuh cinta yaitu dengan eyes smile-nya.
Jadi, dadaku bergemuruh rusuh. Di dalam sana berteriak keras untuk Aira segera memutuskan kontak mata mereka.
Aku takut Aira jatuh cinta dengannya.
“Benar, aku Julio. Kamu bisa melihatku, Ra?”
Lagi – lagi Aira tersenyum. “Bisa, Dokter. Anda tampan sekali,” pujinya.
Pujian itu tertuju untuk Julio, pria lain. Dan bukan aku.
Bukankah selama ini dia mengatakanku yang paling tampan? Apa – apaan ini? Kenapa rasanya sangat tidak suka?
“Haha ... terima kasih Aira. Kamu bahkan jauh lebih cantik.”
Lantas, keduanya tertawa bersama. Ada yang salah dari tindakan Aira di mataku. Dia ... terlihat sedang tersipu.
“Ini ...”
“Halo cantik, aku yang mengajakmu ke galeri seni beberapa hari lalu.”
Ekspresi Aira langsung berubah sumringah.
“Ah! Dokter Kaindra?”
“Bravo! Setidaknya bukan kain renda lagi,” ucap Kai sembari meringis. Membuat kami terkekeh.
“Kain renda juga tidak apa – apa, Dok. Yang penting bukan kain kafan,” celetuk Julio. Kai pun melotot.
“Aira, kamu melupakan Kakak?” Di tengah tawaan itu, aku sengaja bertanya demikian. Sejak tadi Aira membuka perban matanya, ku pikir mungkin akulah yang akan menjadi fokus utamanya. Ternyata aku salah, justru Julio yang ia puji tampan.
Padahal aku juga tampan. Banyak yang bilang begitu kok.
Iya kan?
“Kak Alpha ...” Ada sorot sendu dan senang yang berbaur menjadi satu ku tangkap di kedua manik jernihnya. Mengapa selalu pandangan seperti itu yang kau berikan padaku Aira?
“Kenapa bertanya begitu, Aira mana mungkin melupakan kakak yang paling baik sedunia seperti, Kak Alpha,” lanjutnya.
Oh astaga, apa aku merasa seperti anak remaja yang dengan mudahnya tersipu malu saat diberikan omongan baik seperti itu.
“Kamu sedang menggombal Aira?”
“Gombal? Apa itu?” Ia malah bertanya balik. Kedua alisnya pun bahkan mengernyit bingung. Astaga, sejak kapan Aira paham kata – kata seperti itu?
Kenapa pula aku bertanya hal demikian kepadanya.
“Ekhem,tidak. Kakak hanya asal bicara.”
Julio dan Kai yang mencuri dengar pun terkikik diam – diam. Bahkan Kai sempat mencibirku dengan kalimat, “Alpha – Alpha, gadis yang kau pilih salah alamat.”
Apa maksud dari ucapannya?
“Kalian telah selesai menjalankan tugas membuka perban mata Aira kan? Adikku baik – baik saja, operasinya berhasil. Terima kasih dokter Julio dan dokter Kaindra Yang Terhormat. Sekarang, kalian sudah boleh keluar,” ucapku lugas. Terselip nada jengkel dalam vokalku.
“Kak Alpha!” Aira menyenggol lenganku pelan. Posisiku telah berpindah menjadi di dekat Aira sejak Julio mendapat pujian tampan darinya.
Bukannya segera keluar ataupun merasa tersinggung dengan ucapanku, mereka malah tersenyum biasa saja.
“Aira, kakakmu ini agak comel juga ternyata ya. Kalau sudah kena api cemburu mulutnya agak pedas, macam cobek.”
“Masih apinya, Dok. Belum kena kompornya langsung,” sambung Julio.
“Wah, bisa – bisa kita yang sungguhan di damprat ya, Dokter Julio. Hahaha ...” Keduanya pun terbahak – bahak.
Terserah mereka bicara apa, aku hanya ingin menikmati waktu ini berdua dengan Aira saja.
Maka dari itu, sekali lagi dengan tegas ku katakan, “Keluar! Dokter Julio, Dokter Kaindra.” Yang penuh penekanan di setiap katanya.
Lantas, kedua pria itu pun lengser dengan senyum yang masih tersungging di bibir masing – masing. Baru kali ini aku melihat orang yang diusir tapi, malah tersenyum.
Terserah mereka sajalah.
“Kak Alpha, bukankah itu tindakan yang jahat?”
Tatapannya memandangku penuh. Iya, Aira kembali melihatku. Ya Tuhan.
Aku menggeleng singkat. “Mereka sibuk, Ra. Lagi pula kenapa kita harus membahas mereka jika seharusnya kita lebih pantas melepas rindu sebesar ini?”
Ada kerinduan yang teramat besar ku simpan selama ini, Aira. Melihatmu seperti sekarang, kedua iris sejernih air hujan yang jatuh, binar keteduhan dan ketenangan yang selalu menjadi makna pandanganmu, semua kenangan pahit yang sempat kulukis dalam hidupmu. Ingin kutebus sekarang.
“Aira ...” Bukan tanpa alasan air mataku ikut meluruh dengan sendirinya saat tubuhnya ku raih dalam dekap yang erat.
Dosa – dosa itu dan semua rasa bersalah, maafkan aku. Jika kau ingin pergi, maka kembalilah dengan cara yang indah. Namun, bisakah untuk tetap bertahan? Menetap selamanya di sisiku, bersamaku.
“Aira ... maaf,” ucapku parau.
“Kak Alpha, Kakak menangis?” Sebab isakanku mengeras tanpa bisa lagi ku kendalikan.
“Maafkan aku atas apa yang telah kulakukan selama ini kepadamu, Aira. Terima kasih masih memilih tinggal meski hanya ada pedih yang kutoreh-“
“Kak! Aira bahagia. Tidak pernah muncul sedikit pun dalam benakku perasaan seperti yang Kakak ucapkan. Kak Alpha ...”
“Aira.”
Dalam malam yang hangat, malam pertama Aira melihat dunia setelah delapan tahun berlalu. Seharusnya ini adalah saat yang sangat menyenangkan bagi kami untuk saling menatap satu sama lain. Berpelukan erat tidak dengan bahu bergetar dan perasaan berantakan seperti ini. Tapi, rasanya sudah tak dapat lagi ku tahan kesedihan itu.
Ketika bidikan lensa jernihnya bersinggungan denganku, kedua obsidian indah dengan kelopak yang selalu kukecup ketika tidur. Namun sering kutatap benci dulu, membuat rasa bersalahku unjuk diri.
Sungguh melegakan sekaligus menyedihkan mengingat itu.
Terlepas dari semuanya, aku bahagia. Bahagia karena Aira dapat melihat kembali. Bahagia dengan haru yang berbaur menjadi satu.
Kami saling mendekap satu sama lain, dengan air mata yang juga sama – sama menggenang. Dengan perasaan sama namun berbeda arti.
“Terima kasih, Aira.”
“Sebab sudi bertahan sejauh ini.”
“Maafkan aku, maaf.”
“Maafku mungkin tidak akan ada artinya, apalagi menghapus semua luka yang pernah kuberi. Tapi, setidaknya terimalah maafku. Dengan kata itu, aku sungguh menyesali atas semua yang telah kuperbuat.”
Dalam dekap yang mencetak sesak, dengan arah yang menuntun asa. Tuhan, izinkanlah kebersamaan kami sedikit lebih lama lagi. Kumohon.
“Jangan berkata begitu, Kak Alpha. Kakak tidak pernah terlihat buruk di mataku.”
“Dan seburuk itulah aku.”
“Kakak hanya salah paham. Jangan begini, Kak Alpha. Kita sudah berjanji untuk tidak mempersoalkan ini lagi. Lagi pula sekarang Aira telah melihat kembali, Kak.”
Aku mengangguk cepat. Masih dalam posisi kami yang sama. Aira bersembunyi di lingkup area tempat jantungku berada di dalam sana. Menanamkan banyak kecupan – kecupan kecil di puncak kepalanya. Menghirup dalam – dalam aroma surainya yang selalu menjadi canduku.
“Aku mencintaimu Aira. Sehatlah terus dan bersamaku selamanya hum?”
“Iya, Aira akan terus bersama Kakak, selamanya,” jawabnya dengan isak yang begitu sendu ketika masuk di telingaku. Airaku yang murni.
“Aira ... lihat aku!” Ia mendongak. Mata merah dan berairnya adalah hal pertama yang masuk ke dalam obsidianku. Hidung dan bagian pipinya pun merah merekah. Bibirnya, penuh dengan getar yang mencipta getir.
“Kamu percaya kan? Aku mencintaimu Aira.”
Ia mengangguk, tatapannya tak lepas memandangku. “Aira juga mencintai, Kak Alpha sebagai kakak yang sangat hebat. Kakak adalah saudara laki – laki terbaik yang Aira punya. Terima kasih juga karena selalu bersama dan menjaga Aira ya, Kak.”
Ya, karena pada kenyataannya aku hanya sebatas saudara laki – laki yang sangat menyayangi adiknya. Begitu Aira memandangku. Begitu pula caranya melihat status kami yang nyata adalah saudara sedarah.
Ya Tuhan, maafkanlah aku.
“Selamat Aira Say- yang ...”
“Alpha Aira, maaf. Aku tunggu di luar saja ya.”
“Kak Sheila! Tidak perlu, Kak.” Aira bersuara.
Sheila hadir disaat aku dan Aira sedang dalam posisi yang mungkin saja bisa menimbulkan prasangka buruk orang – orang jika saja mereka tidak mengetahui hubungan kami. Sheila datang saat aku yang sedang mencium puncak kepala adikku bersama dengan pelukan hangat yang masih kami pertahankan.
“Kakak cantik ini pasti Kak Sheila kan?”
Sheila tampak menganggukkan kepalanya sembari tersenyum dengan mata berkaca – kaca.
“Kalian membuatku sedih, Alpha Aira.”
“Kak Sheila kenapa?” Pertanyaan Aira membuatku dengan enggan melepaskan dekapan kami. Namun, di satu sisi Sheila masih ada di sinii.
“Kalian membuatku sedih Aira. Setelah sekian lama, akhirnya kamu melihat kembali, Ra.” Sheila telah merangkul Aira dalam rengkuhannya yang ramah.
Aku hanya diam mengamati keduanya. Sheila terlihat begitu menyayangi Aira. Tidak salah lagi, Bintang pasti keliru.
“Sebagai hadiah, ini. Kakak membuatnya sendiri.”
Sheila mengeluarkan sebuah kotak cokelat yang ia angsurkan kepada Aira.
“Apa ini, Kak?”
“Bukalah.”
Aira sempat melirikku sejenak. Aku mengangguk singkat sebagai persetujuan dari tatapan bertanyanya itu.
“Wah ... Kakak membuatnya sendiri?” Aira tampak takjub dengan benda yang dipegangnya. Sesuatu yang baru saja keluar dari kotak kado pemberian Sheila.
Sheila mengangguk. “Semoga kamu suka ya.”
“Kakak seorang designer?”
“Hmm, bisa dikatakan seperti itu. Kamu suka?”
“Suka sekali, Kak. Ya ampun kalau beli di toko ini pasti akan sangat mahal. Iya kan Kak Alpha?”
Aku hanya mengangguk sebagai respon.
Saat pandanganku dan Sheila bertemu. Wanita itu terlihat sangat intens dengan binar di kedua atensinya. Ini seperti Sheila yang lebih berani. Caranya memandangku berbeda dengan jenis pandangan yang biasanya ia tujukan. Ada bentuk serupa penuntutan jika aku tidak salah.
“Sekali lagi, selamat ya, Ra. Kamu cantik sekali Sayang.”
Dan padangan yang ia berikan pada Aira denganku, jelas memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Ini, seperti bukan Sheila biasanya.
Aku merogoh ponsel dari dalam saku yang bergetar. Panggilan masuk dari Prof. Fany. Tak membutuhkan waktu lama aku langsung mengangkatnya.
“Halo, Prof?”
“Baik, Prof. Aku akan segera ke sana.”
“Iya, baiklah Prof."
“Siapa, Al?”
“Siapa, Kak?”
Aira dan Sheila bertanya bersamaan. Keduanya pun saling bertatapan sejenak. Aira segera terkikik kecil sementara Sheila hanya diam dengan bibir yang terangkat sebelah.
“Prof. Fany. Kakak ada operasi sekarang. Mungkin ini akan sedikit lama. Kamu bisa tidur kalau bosan menunggu. Jangan pergi ke mana pun selagi Kakak tidak ada ya, Ra?”
“Al, aku akan menemani Aira.” Sheila menyanggah.
“Kamu pergilah, biar aku yang menjaga dan menemaninya,” ucapnya lagi.
“Kamu serius, Sheil? Aku mungkin agak lama. Kamu pasti akan sibuk dan tidaak bisa di sini lama – lama.”
“Bisa, Al. Aku sedang libur kerja hari ini.” Dengan senyuman yang tulus, Sheila berkata demikian.
“Oke, kamu bisa pulang kapan saja kamu mau.” Sheila mengangguk setuju dengan ucapanku. Lantas, perhatianku kembali tertuju pada Aira.
“Kakak pergi dulu, ya. Kamu tidurlah.”
Sebuah pelukan dan kecupan di dahi yang kuberi pada Aira adalah waktu yang sama di mana aku segera berlari menuju ruangan pasien yang akan kuoperasi dan mempercayakan Aira dengan Sheila.