1 Januari 2015,
“Selamat ulang tahun ke-12 Aira ...”
Sebuah cake putih bertabur permen warna-warni menghiasi permukaan jenis makanan berat tersebut. Seorang gadis kecil dengan dress kuning cerahnya tampak tersenyum hangat sehangat matahari pagi. Setidaknya demikian yang Alpha lihat.
Menginjak usia 12 tahun, yang mana tahun kemarin tidak bisa dirayakan sebab dirinya yang masih sibuk dengan berbagai macam surat lamaran pekerjaannya. Sehingga, di tahun ini Alpha bertekad untuk memberikan kejutan kecil-kecilan ini untuk adiknya.
Usia Alpha kini 20 tahun, surat-surat lamaran pekerjaan yang disebarkannya di berbagai tempat dan perusahaan pun telah membuahkan hasil. Alpha diterima bekerja sebagai penjaga toko di salah satu apotek. Itu pun karena statusnya sebagai seorang mahasiswa kedokteran.
Ya, Alpha berhasil lulus beasiswa kedokteran di salah satu Universitas kenamaan di Ibu kota. Dari sekian banyak doanya yang selalu ia panjatkan, tembus beasiswa prodi kedokteran adalah goalsnya saat itu, dan siapa sangka Tuhan sungguh mengabulkannya.
Karena menjadi dokter adalah cita-cita seorang Alpha Riandra sejak kecil sampai sekarang. Profesi yang sangat diidam-idamkannya. Alasan mengapa gerangan sangat menginginkan pekerjaan tersebut adalah, tentu saja karena Aira. Adiknya yang lemah secara fisik bahkan sudah ketergantungan obat dari kecil.
Hari ini, Minggu malam tepat pada pukul 00.00 WIB. Pergantian tahun dari 2014 ke 2015 yang sangat berkesan baginya. Bahkan menurut Alpha setiap pergantian tahun memanglah hari yang begitu istimewa, menakjubkan. Selain karena bumi yang berevolusi, hari dan tahun berganti, seorang gadis yang sangat ia sayangi pun berganti angka di waktu yang sama.
Angka berupa usia, umur yang semakin bertambah.
Malam ini, tengah malam yang tidak terasa seperti tengah malam. Sebab eksistensi Aira bahkan lebih cerah dari sorot lampu tidur yang tampak remang-remang.
Di kamar gadis tersebut, Alpha yang gagal dalam misi memberi ucapan selamat ulang tahun untuk sang adik.
Ya, Alpha gagal waktu itu.
Padahal ia sudah masuk dengan cara mengendap-endap dan berusaha untuk tak mengeluarkan suara sedikit pun agar Aira yang masih terlelap tidak terbangun. Tepat pukul 12 malam, Alpha ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan kata-kata selamat itu. Makanya ia bertekad menerobos kamar sang adik.
Selain cake putih bertabur mini candy warna-warni, Alpha juga membawa dua buah topi ulang tahun, lengkap dengan balon, terompet kecil, dan satu buah bucket bunga. Yang semuanya tak tersentuh sedikit pun apalagi terpakai, cukup tergeletak di atas nakas dengan tenang.
Namun, niatnya tersebut gagal. Sepuluh detik setelah Alpha mengutarakan ucapan selamatnya itu kedua kelopak mata seindah bunga lily tersebut perlahan terbuka.
Alpha ketahuan.
“Kakak membangunkan kamu.”
Gadis berpiama tokoh kartun itu pun tergelak tawa, “Memang, Kakak sih ada-ada aja datangnya tengah malam kayak gini,” sahutnya.
“Hehe ... maaf ya.”
Lantas, Alpha mengangsurkan sebuah kotak persegi dengan aksen pita merah muda di atasnya kepada Aira. Ia ambil lengan ramping gadis remaja tersebut dan membawanya pada kotak tersebut.
“Hadiah buat kamu.” Begitu katanya.
Senyum cantik menghiasi paras rupawan Aira, kedua pipinya bahkan merona merah.
“Terima kasih, Kak Alpha. Aira buka ya?”
“Hum.” Begitu pun si lelaki, yang tak melunturkan senyum tampan barang sedetik pun.
“Ini ...”
Benda persegi panjang yang telah keluar dari bungkusan kado. Senyum segaris itu langsung berubah riang tat kala Aira mengetahui apa isinya setelah ia raba diberbagai sisi.
“Komik Doraemon seri terbaru? Tanyanya excited. Kedua obsidiannya pun berbinar senang. Membuat Alpha gemas dan menjawil dagunnya.
“Iya, seri terbaru yang sangat kamu inginkan. Karena produksi dalam bentuk braile-nya tidak terlalu banyak jadi, Kakak sering kehabisan kalau datang ke toko buku. Makanya Kakak memesan secara khusus kepada pihak penerbit untuk menerbitkan satu lagi yang braile untuk kamu,” jelas Alpha.
“Kakak ... terima kasih sekali ya, Kak. Aira suka sekali.”
“Sama-sama, kalo gitu peluk dong,” sahut Alpha asal.
Dengan senang hati, gadis muda tersebut memposisikan dirinya masuk kedalam dekapan Alpha. Kakak laki-lakinya yang kini sudah berubah seratus persen. Setidaknya begitu yang Aira pikirkan.
Sementara satu jiwa lainnya yang berada di sana, merasakan jantungnya berdetak tidak normal sebagaimana biasanya. Getaran yang selalu bunyinya berneda saat Alpha dekat dengan perempuan lain. Detak yang hanya muncul saat ia bersama sang adik.
Ini salah tapi, Alpha menikmatinya.
Biarkan ia menyayangi gadis kecil ini seperti tugas seorang kakak yang sesungguhnya. Memberi perhatian, menjaga, menjadi garda utama sebagai pertahan untuk sosok Aira. Walau di dalam sana, rasanya cukup menyaitkan.
Itu kisah mereka di masa lampau, di masa sekarang Alpha hanya mengharapkan kesembuhan untuk sang adik tercinta.
Melihat interaksi antara Aira dengan Ayah di depan sana membuat kenangan dulu menghampirinya. Sikap manja dan yang jarang sekali bahkan tidak pernah Aira tunjukkan jika itu dengannya, tapi dengan Ayah mereka. Aira tetaplah putri kecil yang membutuhkan figur orang tua.
“Ayah tidak pergi bekerja kan hari ini?”
“Kerja dong, tapi Ayah izin masuknya agak terlambat sedikit karena ingin menjenguk putri Ayah yang menggemaskan ini.”
Lengan berpelitur garis-garis alam itu Aira ambil, menempelkan pada sentuhan hangat dari suhu tubuhnya yang agaknya bisa menyejukkan hati keduanya. Karena Aira rindu Ayah dan Ayah Adnan yang juga sangat merindukan putri bungsunya.
“Sehat-sehat ya Ayah, jangan terlalu diforsir tenaganya. Ayah boleh bekerja tapi jangan lupa kesehatan hal yang utama.”
“Iya, anak Ayah. Tenang saja.”
“Jangan sakit karena kelelahan bekerja, okay?”
“Iya, Nak,” jawab Ayah dengan senyum lebarnya, sembari mengusap sayang puncak kepala Aira.
Lantas, sepasang ayah dan anak tersebut saling mendekap menyampaikan rasa sayang yang kentara di antara keduannya. Menguatkan dan menyemangati satu sama lain.
Pemandangan yang indah, oh tidak.
This is favorite view from many parts of Alpha’s life.
Saling mengasihi, saling menjaga, merawat sosoknya yang sudah terlalu banyak ia sakiti.
Aira, yang ia cintai.
Di tempat yang berbeda, Sheila berikut dengan Irish dan beberapa teman lelakinya yang lain tengah mengadakan pesta kecil-kecilan di kediamannya.
Musik DJ mengalun berisik memekakkan telinga, bannyaknya botol-botol wine dan sejenisnya yang berjejer tak beraturan di meja dekat kue kering. Sementara di bagian halaman tak jauh dari si pemilik acara yang orangnya sedang asik berjoget ria menikmati gema DJ, beberapa pria lainnya tampak memanggang iga, sosis, bakso, dan jenis daging-dagingan yang lain.
Dan Irish yang sudah teronggok kalang kabut menahan pusing yang mendera kepalanya.
“Ck, Ris lo mah ah elah. Baru minum segitu doang udah K.O lo?” Kalimat Sheila yang tak hiraukan empunya nama.
Irish bergeming dengan meerah padamnya. Sementara tubuhnya ia biarkan tergletak memprihatinkan di bangku dekat kolam renang. Ya, pool party.
“Duh ... Sheila bisa diem gak? Diem!” kata terkahirnya penuh tekanan nyaris seperti teriakan.
Sheila yang masih sadar sepenuhnya membetulkan posisi gaun minimnya dan menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya ini.
“Ya ya, serah lo aja deh.” Pada akhirnya ia meninggalkan Irish yang melanjutkan racauannya yang berbunyi ntah apa saja itu.
“Udah matang beef gue, Ren?” tanya Sheila menghampiri kumpulan para lelaki yang bertanggung jawab pada bagian konsumsi.
Loren mengangguk kemudian menggeleng kecil.
“Apaan sih lo, Ren. Gak jelas amat!” cibirnya.
“Belum selesai sepenuhnya tapi, bentar lagi udah bisa diangkat. Kalo lo mau lidah lo kebakar silahkan aja sih habisin yang di sana. Tuh-“ Pria tersebut julurkan dagunya ke arah panggangan beef yang baru saja diangkat. Asapnya bahkan masih tampak mengebul. “Ntar gue sama anak-anak masakin lagi,” sambungnya.
Sheila memutar bola mata malas, “Sintingg!” Kemudian meninggalkan teman-teman absurdnya tersebut.
Duduklah ia di salah satu kursi kosong dekat swimming pool, tidak terlalu jauh dari posisi Irish. Ngomong-ngomong, gadis itu sudah terlelap di gazebo.
Sheila menggelengkan kepalanya, “Bener-bener itu anak,” katanya pelan.
“Nih, Sheil. Dah makan noh.”
Sepiring BBQ tersaji di hadapannya, lengkap dengan sebotol minuman soda. Loren yang meletakkannya.
“Thanks ya, Ren. Sorry nih jadi kek pembokat ya lo.” Sheila berucap sembari terkikik geli.
“Kalo bukan karena adik temen gue dah abis lu ye,” balas Loren.
Bercandaan keduanya yang antimainstream.
Loren, pria berambut gondrong itu lekas menyingkir. Bermaksud kembali ke rombongannya dengan anak-anak yang lain namun, bunyi ponselnya mendistraksi langkah pria itu. Maka, ia rogohlah benda pipih tersebut.
“Udah, aman.”
“Hmm, dah gua habisin tuh orang. Dah bonyok semua gitu, yakali gue hajar lagi. Gile ye lu!”
“Yah yah, oke deh.”
“Hmm.”
Panggilan singkat tersebut berakhir.
“Wah parah sih ya lo, Ren.”
“Apaan?” bingung lelaki gondrong tersebut. Pasalnya Sheila asal nyeletuk saja, malah logatnya seperti mengatai dirinya begitu.
“Gue gak sengaja denger obrolan lo di hp tadi. Lo ... nonjokin orang?” tanya Sheila.
Loren terlihat tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. Ia pun menempelkan jari telujuknya di bibir seolah memberi isyarat untuk diam.
“Jan keras-keras, ntar kedengar yang lain Sheila!”
“Oh, oke-oke.”
Wanita itu cepat-cepat menggeret Loren untuk duduk di dekatnya.
“Lo buat anak orang sampe bonyok? Baru tau gue, kayaknya lo itu kalem deh.”
“Pekerjaan darurat yang gak bisa gue hindari. Cuma nerima job kalo lagi kepepet aja sih. Lagian gue pribadi juga punya dendam sama itu orang,” jelas Loren.
Ting!
Seolah berbunyi demikian, akal cantik Sheila langsung berdenting nyaring. Sebuah ide cerdik melintas di pikirannya.
“Bisa bantuin gue gak, Ren?”
“Eh, bantu gimana?”
Senyum miring langsung tercetak jelas di parasnya. Ya, Sheila sudah pernah bilang kan akan menjadikan Alpha sebagai miliknya sepennuhnya. Bagaimana pun caranya.
Namun, sebelum itu. Ada satu orang yang akan mengganggu prosesnya jika tidak cepat-cepat dibereskan. Seseorang yang membuatnya geram akhir-akhir ini.
“Jadi, gini ...”
Diam-diam menghanyutkan, oh bukan mungkin saja agar terdengar lebih menarik adalah bak air tenang yang menyimpan banyak buaya?
Bukan satu persatu melainkan, sekali mendayung dua, tiga pulau terlampaui. Jika bisa sekaligus kenapa harus satu-satu. Begitulah kurang lebih isi kalimat berupa ajakan yang Sheila tawarkan jika diungkapkan dengan pribahasa.
Karena Sheila merupakan seseorang yang perfectionist maka dari itu, semua yang berhubungan dengan keinginannya harus tercapai dan terlaksana dengan baik sebaik-baiknya.
“Gimana? Bisa kan?”
***
“Tidak bisa.”
“Maksud dokter?”
Kaindra mengangsurkan selembar kertas kepada seorang gadis yang duduk di hadapannya. Kertas berisi catatan kesehatan, yang membuat ekpresi gadis tersebut berubah masam.
“Mulai sekarang, kamu akan mendapatkan perawatan intensif. Jadwal terapi, dan pengobatan kamu akan segera diberitahu secepatnya. Sebelum itu, beberapa kemo terapi dan perawatan lainnya juga harus dilakukan.”
“Jadi saya harus tinggal di rumah sakit, begitu Dok?”
Kai mengangguk sebagai jawaban. Jarinya sibuk menulis di atas buku-buku.
“Saya masih ingin bekerja, Dok. Lagi pula saya tidak terlalu merasakan sakit.”
“Kanker Anda sudah dalam tahap k*****s, stadium akhir. Kamu bukannya merasa tidak sakit tapi, kamu menyerah karena tidak ingin merasakan sakit lagi.”
Benar, kalimat Kai membuat Winny diam seketika.
Bohong jika dia mengatakan tidak sakit. Tolong, rasa sakitnya bahkan sampai menggerogoti sarafnya di otak.
“Perkiraan batas maksimal usia kamu yang sudah diprediksi dokter, itu masalah kamu kan? Makanya kamu memilih menyerah karena pada akhirnya akan meninggal?”
“Nona Winny, saya juga seorang dokter. Kami memang berhak memprediksi tapi, itu bukan berarti bahwa pasien bisa mundur karena takut. Justru itu, kami ingin menggebleng semangat untuk kesembuhan Anda. Kita sama-sama berusaha. Bukan hanya kamu, saya dan rekan-rekan saya yang lain pun kita akan berjuang sampai akhir.”
“Hiks ...”
Pada akhirnya tangis gadis dengan blazer moca itu pun pecah, tumpah ruah bagai air yang disiram dari atas langit.
Ia sudah mendapat dukungan penuh dari Chandra, kekasihnya yang mendukung semua aktivitas dan kegiatannya. Kini, dokter Kaindra yang bahkan baru mengenalnya pun memberikannya semangat disaat harapan hidupnya tinggal sedikit bahkan nyaris sudah tidak ada lagi.
Mungkin ini terdengar egois tapi, Winny berharap jika ia bisa bertahan dan hidup bersama Chandra uhntuk selamanya. Namun, jika memang Tuhan tak memberinya umur panjang, Winny hanya ingin, kelak Chandra mendapatkan yang jauh lebih baik darinya tapi juga tak melupakan sosoknya.
“Cukup dengan kamu percaya saya dan para dokter yang lainnya, begitu pun kami yang percaya bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil jika kita terus berusaha.” Lagi, Kaindra yang bersuara demi memenangkan psikis pasiennya.
Karena kehendak-Nya lebih indah melebihi apa pun itu. Garis yang tercipta atas kuasa-Nya jauh menyejukkan pun menjanjikan dari sebuah garis yang kita buat melalui pena.