Bab 48

2120 Kata
"Kanker darah?" "Iya, kata dokter kanker bisa menyebabkan rambut rontok karena kemo yang sering Juno jalani, Kak. Lihat!" Anak laki-laki itu membuka kupluk yang sejak tadi ia pakai. Melepas dan menunjukkan kondisi kepalanya yang memprihatinkan. Memang masih ada rambut yang menempel di sana tapi, "Tinggal sedikit, Kak. Sekali rontok suka satu genggaman besar." Begitu katanya. Yang Aira lihat dengan mata kepalanya sendiri. Rambut yang beberapa bulan lalu ia lihat masih lebat dan dalam keadaan baik-baik saja kini, begitu tipis. Kulit kepalanya pun terpampang jelas. Dari pada berambut, Juno lebih pantas dibilang botak. Ya, karena sudah seminim itu rambutnya. "Juno ..." lirih Aira. Bagaimana bisa anak ini begitu tegar menceritakan kisahnya yang pahit. Apalagi diusianya yang tergolong masih sangat muda. Juno bahkan selalu menyampirkan senyum disetiap kalimatnya. "Kakak cantik, kenapa menangis?" Juno beranjak mendekat ke arah Aira. Lantas mengusap air mata gadis itu yang tak kunjung berhenti. "Kakak cantik, Juno gak kenapa-napa jadi jangan menangis." Yang ada, air mata Aira semakin mengucur deras. "Maaf ya Juno, kamu sangat hebat. Kamu tidak mengeluh seperti anak-anak yang lain, kamu keren sekali," ucap Aira sembari menyeka sisa-sisa air matanya. Jika dirinya yang menjadi Juno, Aira tidak yakin bisa seperti itu. Kepribadian anak ini memang sangat menakjubkan. "Sini." Ia kibaskan tangannya, membuka beberapa centi agar Juno masuk ke dalam pelukkannya. "Terima kasih Juno, sudah bertahan sejauh ini. Terima kasih karena selalu ceria dan semangat," lirih Aira. Suaranya nyaris seperti bisikkan yang tidak dapat Juno dengar. "Kakak cantik." "Ya?" "Kakak sudah bisa melihat?!" Itu pernyataan. Aira tersenyum lembut. "Uhum." "Kakak yang bisa melihat berlipat-lipat lebih cantik, semakin cantik." "Eh, kenapa begitu?" "Iya, warna mata Kakak yang cokelat terang seperti mata orang Barat. Juno suka melihatnya." Aira pun terkekeh sejenak. "Terima kasih ..." "Hei, kamu melamun Aira?" Aira terkesiap. Alpha datangi adiknya yang terpekur di ranjang pasien sendirian. Buah-buahan yang sudah ia kupaskan di piring bahkan tidak Aira sentuh. "Ada apa, hmm?" Selembut sutra emas lelaki itu bertanya. Lantas mengambil alih piring beserta garpu yang Aira pangku. "Kakak suapi ya?" Aira mengangguk sekenanya. "Aa ..." Satu suapan mendarat mulus di mulut kecilnya. Namun, Alpha masih bisa melihat betapa kosong tatapan yang adiknya pancarkan. Sorot redup itu mengusiknya. "Tahu tidak, siapa yang memberi nama kamu dan Arina dulu?" Lelaki itu mulai membuka cerita. Mengalihkan kesedihan yang terlihat jelas di paras lugu Aira. Gadis berpiyama rumah sakit itu pun menggeleng. "Siapa, Kak?" Ia bertanya. Alpha tersenyum sesaat, merasa adiknya tertarik dengan topik pembicaraan yang dia angkat. "Arina Salsabila dan Aira Sabila." Pandangan lelaki berkemeja putih tersebut jauh menerawang pada kisah lama yang sebenarnya sudah enggan ia angkat lagi. Apalagi mengisahkan dengan Aira sebagai pendengarnya. "Dulu, ketika mengetahui Ibu mengandung bayi kembar, Ayah menjadi orang pertama yang sangat bersuka cita. Begitupun dengan Ibu dan Kakak." "Karena kami selalu meributkan masalah jenis kelamin untuk adik-adik kembar Kakak kelak, Ayah jadi curang." Terbirit senyum sumringah dalam jeda yang Alpha buat. "Ayah ingin menjadi satu-satunya yang memberi kalian nama. Tapi, tentu saja Kakak protes. Kakak kan juga mau ikut andil." Aira terkekeh pelan. Membayangkan betapa indahnya masa dulu saat dirinya belum ada. "Jadi?" "Jadi, Ayah dan Kakak sepakat. Kalau kami berdua akan memberi nama bersama. Bayi yang lahir pertama Ayah yang memberi nama, lalu bayi kedua Kakak yang akan memberi nama." Bayi yang lahir pertama itu Kak Arina, dan bayi yang lahir kedua adalah dirinya. Kalau begitu, "Jadi ... nama aku-" "Aira Sabila, Kakak yang kasih," potong Alpha cepat. Kenyataan bahwa yang menyematkan nama untuk dirinya adalah Alpha, tokoh yang pernah membencinya begitu dalam saat dulu. Kini, selalu menyuarakan betapa Alpha menyayanginya adalah hal idah yang Aira syukuri. Apakah saat kelahirannya, dan kepergian Ibu yang belum diketahui Alpha membuat Kakaknya itu sempat mengharapkan kehadirannya? Tapi, setelah mengetahui Ibu yang tidak bisa bertahan setelah melahirkannya, Alpha menjadi membencinya? Seperti itukah? Tiba-tiba saja Aira merasakan kesakitan di masa lalu yang pernah ia alami saat itu. Tentang Kak Alpha yang begitu membencinya. "Dan ternyata, pilihan nama Kakak tidak salah. Kamu laksana air yang bersih dan selalu mengaliri kekeringan dengan berkah darimu. Aira Sabila, gadis kecil yang murni tumbuh menjadi seseorang yang luar biasa." Namun sekarang, melihat betapa besar rasa sayang yang Kak Alpha berikan padanya, Aira justru merasa jahat. Masa lalu tetaplah masa lalu, biarkan menjadi pembelajaran yang tidak seharusnya diungkit-ungkit lagi. Masa lalu yang menyakitkan itu menjadikannya orang kuat. Jadi, kini ia tak mau lagi membahas ataupun mengingatnya. Cukup dengan kenangan masa lalu yang manis-manis saja. "Maafkan Kakak Aira." "Kak!" Gadis berparas ayu tersebut menggeleng. Sorot matanya seolah memohon, jangan membuka luka masa lalu. Lelaki dewasa itu mengambil keseluruhan jemari adiknya untuk ia genggam. Memusatkan atensinya pada gadis belia tersebut. "Maaf, maafkan Kakak Aira. Maaf atas-" Sudah, kakaknya bahkan lebih baik dari orang-orang yang terlihat sangat baik. Meski terlihat dingin dan arogan tapi, Kak Alpha bukanlah orang yang seperti itu. Kakaknya adalah Kak Alpha yang hangat, yanh begitu menyayanginya. Dan Aira sangat berterima kasih sebab Tuhan telah mengirimkan sosok Kak Alpha kepada dirinya. Dalam dekap erat di d**a bidang kakaknya, Aira merasakan kenyamanan tersebut. Aman dan hangat. "Jangan bicara seperti itu, Kak. Kakak gak harus merasa bersalah terus menerus." "Karena seharusnya, akulah yang sepantasnya meminta maaf sama Kakak karena sudah merepotkan terlalu banyak. Maaf karena aku terlalu bergantung dengan Kakak." "Aku-" tercekat oleh air mata yang ntah sejak kapan sudah menganak sungai di pipinya. Hingga untuk menyelesaikan kalimatnya pun, Aira merasa tak sanggup. "Aku bersyukur punya kakak seperti Kak Alpha. Jangan begini terus, Kak. Kakak membuat aku sedih." Dan pelukkan yang ia terima pun semakin erat. Alpha mendekapnya erat namun juga lembut. Lelaki itu sangat berhati-hati seolah Aira adalah kaca antik yang mudah pecah. Keindahan dan kemasyuran yang adiknya miliki, membuatnya terbius oleh setiap sikap yang menyelimuti sosoknya. Airanya yang indah. "Kakak sayang kamu Aira, sangat menyayangimu," ucap Alpha. "Aku pun mencintaimu, Aira. Sangat!" Jika bisa, ingin rasanya Alpha mengatakan betapa ia mencintai. Mencintai gadis yang merupakan adik kandungnya. Oh Aira ... mengapa harus status yang menjadi penghalang. Sementara jika itu restu ataupun derajat, Alpha bersumpah akan berusaha bagaimana pun caranya. Tapi, seolah Yang Kuasa memang tak berpihak padanya. Memberinya Aira cukup hanya sebagai seorang adik. Lantas, adakah sakit yang lebih menyakitkan dari pada mencintai dalam diam? Menginginkan namun tak mungkin bersama? Jika pun Alpha menatap terlalu jauh. Kasih sayang yang selama ini Aira tunjukkan padanya, adalah murni rasa sayang seorang adik kepada kakaknya. Rasa sayang sebagai sesama saudara sedarah. Tapi, hanya Alpha seoranglah yang memandang beda perasaannya. Selain itu semua, apakah ini juga dinamakan cinta sepihak? "Kakak sangat menyayangimu Aira," lirihnya. Bersamaan dengan sebuah kecupan lembut yang mendarat di dahi putih gadis tersebut. "Aira juga sayang Kakak." Maka, jangan salahkan jika liquid bernama air mata berarti tangis tersebut meluncur indah dari obsidian Alpha. Karena memang sesakit ini. Pagi berlalu dengan cepat, sepasang saudara yang masih bergelung di bawah selimut itu terpejam dengan damai. Alpha yang telentang di sisi Aira dan membiarkan salah satu lengannya menjadi bantal untuk gadis itu. Selimut lembut pun menutupi raga keduanya sebatas pinggang. Pemandangan yang membuat Bintang, Julio, dan Ayah Adnan tersenyum lebar. "Delapan tahun lalu, Ayah pernah berharap semoga Tuhan melembutkan hati Alpha pada Aira. Saudara yang begitu ia benci dan hindari saat itu. Kesalahpahaman yang merenggut kasih sayang seorang kakak kepada adiknya sendiri." Ayah Adnan bermonolog. Pandangan senjanya menyorot pada pulasnya sepasang kakak beradik tersebut. Ayah jadi bernostalgia. Dulu, dulu sekali. Satu hari setelah kepergian mendiang Ibu. Alpha remaja yang setia menunggui Arina dan Aira ketika ia bekerja, membuatkan s**u kemasan untuk si kembar, memandikan dan mengganti popok si kembar. Bahkan tak jarang pula Alpha yang izin tidak masuk sekolah sebab harus menjaga adik-adiknya. Bergantian dengan Ayah kapan hari. Apabila terdapat ujian, atau meminimalisir absen agar tidak terlalu banyak merah, dengan terpaksa Ayah dan Alpha harus menitipkan si kembar pada tetangga. Waktu itu, Ayah sudah tahu. Bagaimana sosok Alpha yang mulai membenci Aira. Namun, Alpha menekan rasa tidak sukanya dengan cara tetap menjaga si bungsu dengan baik. Bayi kembar seusia jagung yang tidak mungkin diabaikan begitu saja. Walau Ayah tahu, rasa tidak suka Alpha terhadap Aira si bungsu tumbuh semakin banyak setiap harinya. Pada suatu ketika, ujian bulanan dan pekerjaan Ayah yang tiba di hari yang sama. Alpha memilih mengalah. Ia berkata, "Alpha bisa ikut ujian susulan, Yah. Biar Alpha aja yang menjaga si kembar hari ini. Ayah pergilah bekerja." "Tapi, Al. Ujianmu juga tidak kalah penting dari ini." "Aira sedang diare, Yah. Dari tadi malam suhu tubuhnya juga kurang normal. Kadang panas sekali." Kebaikkan kecil tersebut menjadi salah satu kebaikkan lainnya yang Alpha korbankan demi kepentingannya saat itu. Alpha yang dulu dan sekarang, banyak sedikitnya Ayah bisa melihat banyak perubahan yang lebih baik dari lelaki tersebut. "Paman, sarapanlah dulu. Nanti Bintang dan Julio saja yang akan berbicara dengan Alpha. Lagi pula anak itu masih tidur, sepertinya operasi beruntun kemarin-kemarin membuat tenaganya terporsir habis," jelas Bintang. Lelaki yang hari ini mengenakan kemeja navy tersebut merogoh saku snellinya. Mengeluarkan benda pipih dari dari sana dan menyodorkannya ke Adnan. "Bintang gak bermaksud apa-apa Paman, ini juga bukan hadiah besar atau apapun itu tapi, Bintang mohon tolong diterima ya Paman," katanya. "Eh, ponsel? Kenapa kamu kasih ke Paman, Bi?" "Ponsel Paman jatuh ke jalan raya saat ingin kemari tadi kan? Layarnya pecah cukup parah jadi, Bintang rasa itu sudah tidak bisa dipakai." Alis yang mulai memutih itu mengernyit, "Kamu melihatnya, Bi?" Dengan segan, Bintang menganggukkan kepalanya. Pagi-pagi sekali tadi, saat dirinya yang baru hendak pulang setelah shift malamnya, di jalan raya depan rumah sakit tempat ia bekerja Bintang melihat Paman Adnan yang hendak menyebrang. Ia berniat membantu tapi, langkahnya kalah cepat dari truk yang melaju kencang dari arah kanan posisi Paman Adnan. Demi menghindari laju truk yang kencang, Adnan yang terkejut melihat kehadiran kendaraan beroda empat itu lekas berlari minggir ke tepi jalan. Menjauhi jalan raya yang menjadi jalur truk tersebut. Namun, karena keterkejutannya, ponsel yang berada di tangan kanan Paman Adnan terpental keras menghantam jalan raya. Dan Bintang, meski kantung matanya sudah sehitam mata panda namun, ia masih bisa melihat semuanya cukup jelas. Bahkan sangat jelas untuk ukuran matanya yang sipit. "Jangan bilang ke Alpha ya, Bi. Paman tidak mau nanti dia khawatir." Bintang kembali mengangguk sedaya menjawab, "Iya Paman, aman. Tapi dengan satu syarat." "Loh, pakai syarat?" "Hehe ..." Lelaki itu tampilkan senyum gigi putihnya. "Terima ponsel dari Bintang, Paman. Itu persyaratannya." Pria parubaya tersebut pun terkekeh sejenak. Lantas dengan rasa terima kasihnya ia menerima ponsel pemberian dari sabahat putranya tersebut. Yang bahkan, bagi Adnan sendiri Bintang dan Chandra sudah ia anggap sebagai putranya juga. Dan kelihatannya, ponsel yang Bintang berikan justru terlihat lebih canggih dan pastinya lebih mahal dari ponselnya yang lama. "Terima kasih, Nak." "Hehe ... sama-sama Paman. Bukan apa-apa kok." "Hngg ..." Saat itu, si kuncup bunga yang baru saja membuka matanya mengerjap perlahan. Masih samar di penglihatannya, dan perlahan mulai jelas. Eksistensi Ayah yang membuat gadis berparas cantik jelita tersebut meski baru bangun tidur itu pun memekik riang. "Ayah!" "Selamat pagi precious ..." Dan Aira pun melesat dengan cepat menuju keberadaan ayahnya. Tanpa memedulikan Alpha yang terusik tidurnya sebab pergerakkan semangatnya yang keluar dengan cepat dari dekapan sang kakak. Grep! "Ayah ... Aira rindu sekali." "Aduh duh, anak Ayah yang cantik. Ayah juga rindu sama kamu Sayang." Keduanya saling berpelukkan, melepas rindu setelah beberapa hari tidak bertemu. Dipikir-pikir, semenjak dirinya yang menetap di rumah sakit, Ayah memang jarang bertandang kalaupun datang tidak bisa lama-lama. Seolah, tidak akan bertemu Ayah lagi dalam waktu yang lama. Hari itu, Aira menjadi sangat manja. "Princess, mandi dulu ya. Air hangatnya akan Kakak siapkan, setelah itu kita olahraga sebentar sebelum terapi nanti." Bintang berucap. "Terapinya ditemani Ayah kan?" Matanya yang berbinar menyorotkan kepolosan yang menyejukkan. Maka, semua yang afa di sana tersenyum lembut. Julio bahkan terpesona untuk yang kesekian kalinya. "Iya, Ayah temani," jawab Adnan. "Kalau gitu, Kakak akan siapkan sarapan kamu dulu ya." Kali ini Alpha yang bersuara. Sembari melangkah menuruni ranjang pasien Aira yang ia tiduri tadi malam. "Iya." Dear Love~ Pesan ini untuk kekasih hatiku yang tak sepatutnya kucintai. Perempuan serupa malaikat dengan kejernihan dan kebersihan hatinya. Gadis yang begitu kudambakan sejak dulu namun, hanya dapat kutorehkan dalam diam. Kuimpikan bersama lelapnya tidur tanpa harus menuntut jadi kenyataan. 1 Januari 2014 Sebelas tahun sudah usiamu tepat hari ini. Hari pergantian tahun yang juga merupakan hari ulang tahunmu. Aira Sabila, adikku sayang yang sangat kusayangi. Terima kasih atas segalanya yang sudah kamu izinkan menjadi baik-baik saja. Terima kasih sebab tak pernah membenciku setelah apa yang telah kulakukan padamu. Mungkin imi terdengar jahat, usai menyakiti terlalu dalam, dengan tidak tahu dirinya aku justru mencintaimu. Lagi, adik kandung yang tidak semestinya kumiliki rasa ini. Satu tahun berlalu, meski tadinya berpikir hanya rasa bersalah. Namun, semakin bertambahnya hari, semakin besar pula rasa ini. Dan semakin tak bisa menghindari. Aira, maafkan kakakmu ini yang sudah lancang memiliki rasa terlarang. Maaf, terima kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN