Bab 33

2805 Kata
Author POV Usai kepergian Alpha yang terburu - buru. Menyisakan Aira yang tinggal berdua dengan Sheila di ruangan tersebut. "Kak Sheila, kalau Kakak ada kepentingan lain dan gak bisa lama - lama di sini, Kakak boleh pergi kok Kak. Bukannya Aira ngusir ya Kak. Tapi Aira takut Kakak malah ngerasa direpotin." "Ck, kalimat lo gak bisa gausah panjang - panjang banget?!" sahut Sheila ketus. Terkesiap, Aira melarikan pandangannya tepat ke arah dua buah kelereng gelap milik Sheila. Kenapa Kak Sheila jadi aneh begini ya? "Kak, Kakak kenapa?" Gadis bersurai panjang dengan pakaian rumah sakitnya itu pun bertanya pelan. Tiba - tiba saja ia merasa asing dengan sosok Sheila. Ini bukan Sheila yang selama beberapa hari terakhir ini Aira jumpai. Atau, ini memang bukan kak Sheila? Pertanyaan - pertanyaan aneh pun mulai bermunculan. Memenuhi serebrum gadis yang sedang sibuk berpikir keras sendirian. "Kayaknya mulai sekarang gue gak perlu bersandiwara lagi kalau cuma di depan lo deh." Kalau cuma di depanku? Kalau di depan Kak Alpha? "Maksud Kakak?" Aira bertanya hati - hati. Ia jadi merasa was - was. Sheila meloloskan pandangan remeh. Wanita itu bahkan kerap menghunuskan tatapan tajamnya setiap kali melihat ke arah Aira. "Perlu gue perjelas?" Iya. Tapi, Aira takut untuk mengatakannya. Sejujurnya, ia mulai bisa menebak hal apa yang coba Sheila jelaskan. Hanya saja, ia belum siap mendengarnya secara langsung. "Kamu ..." Ini memang bukan saatnya untuk sesi wawancara tapi, Aira mengalahkan ketakutannya oh bukan. Bukan mengalahkan ketakutannya tapi, menutupi ketakutannya dengan tampang datar seolah dirinya tidak takut sama sekali dengan perubahan aikap Sheila yang cukup drastis. "Kamu sungguhan Sheila?" Bukan seseorang yang sedang menyamar menjadi Sheila kan? Atau kembaran Sheila? Yang juga memiliki saudara kembar sepertinya? Aira menguasai suasana dengan tetap menampilkan wajah datarnya. Ia tekan bulat - bulat ketakutannya. Sekarang, dia sudah bisa melihat. Jadi sudah seharusnya pula dia tidak merepotkan siapa pun lagi. Benar kan? "Jadi maksudmu, aku ini hantu? Sejenis ghost?" sarkas Sheila. "Bukan begitu maksudku, Kak." "Terus, apa dong?" "Kakak berbeda dengan Kak Sheila yang aku kenal." Aira mencicit namun suaranya berhasil terdengar merdu. Ia pandai menyembunyikan perasaan. Ibarat warna, gadis itu seperti warna gradasi. Gabungan dari beberapa warna dasar. Semua ada, lengkap pun padat. Namun, lebih memilih menyimpan semua warna yang ia punya demi mencipta satu warna yang indah ketika ditangkap oleh netra. Itulah Aira, penuh misteri dan suka menyendiri. Dirinya bagaikan lembaran buku baru yang tertutup. Tak memperbolehkan siapa pun membacanya, arau paling tidak membuja sampulnya. Cukup dengan melihat cover saja. "Karena gue emang Sheila yang begini. Seperti ini adanya gue. Sheila si bermuka dua. Udah, puas?!" "Kak?!" Langkah kaki mendekat menghadirkan intimidasi yang nyalang. Sheila terpaju sebab sosok gadis di atas ranjang itu tak merespon berarti. Aira hanya diam dengan sorot datar yang sulit didefinisikan. "Lo gak takut sama gue? Gimana kalo gue nekat terus nyakitin lo sekarang?" Mengerjap, Aira setia bungkam tanpa niat merespon lebih. "Kakak mau apain aku?" Nadanya pun lemah lembut tak menunjukkan ketidaksukaan atau hal serupa yang berarti sedang takut atau ketakutan. Semakin mengecil jarak yang Sheila cipta, semakin tajam pula tatapan yang diberikan. Namun, semakin setenang itu pula Aira melihatnya. Begitu yang Sheila lihat. Bahwa fakta di balik itu semua, ada tangan di balik selimut yang bergetar hebat. Ada degup jantung yang tak lagi sepelan irama awal. Aira takut tapi menutupi. "Mau nyekik lo misalnya? Arau musnahin lo aja?! Hahaha ..." Bergidik ngeri, Aira takut namun sepenglihatan Sheila ia hanya mengernyit jijik. "Kak Sheila, kenapa Kakak jadi jahat kayak gini?" Sheila berdecih. "Gue baik kok. Cuma ... kalau di depan Alpha aja." Kemudian, "Akkh!!!" "Oopsie! Kekuatan ya?!" "Papai." Adalah kalimat terakhir Sheila sebelum pergi dari ruang rawat Aira yang orangnya sedang kesakitan di dalam sana. *** Sebuah cafe dengan papan nama bertuliskan Garden Rest Fresh bernuansa modern - klasik di sudut kota Jakarta itu terlihat lengang siang ini. Hanya terlihat dua orang pria di bagian smoking area dan sepasang adam hawa di tempat utama. "Maaf, tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita lagi." Ucapan itu bersamaan dengan lepasnya sebuah cincin dari jari manis wanita tersebut. Lingkaran kecil berbandul berluan kecil yang manis itu pun teronggok di atas meja. "Kenapa? Kenapa tiba - tiba begini, Win?" Gelengan kecil wanita itu berikan. "Ini demi kebaikan kita bersama. Aku cinta kamu Chandra." Lantas, wanita tersebut angkat kaki dari sana. Meninggalkan seorang pria yang masih bersemayam di bangkunya dalam kebisuan dan menatap nanar sebuah cincin yang baru saja di lepas itu. Ini bukan tentang aku dan kamu atau mereka yang sedang menjalin sebuah hubungan lantas berpisah. Tapi, tentang kita yang belum diberi kepastian oleh Sang Pencipta. Jodoh, maut, rezeki, sudah diatur oleh yang di atas. Manusia memang berhak berusaha namun Dia lebih berkuasa atas segalanya. Setelah hampir menghilang dan tak ikut serta dalam hubungan pertemanan bersama kedua sahabat baiknya beberapa minggu ini. Chandra berharap dapat menyelesaikan urusan pribadinya terlebih dahulu. Namun, semua memang atas kehendak-Nya. Sekuat apa pun ia berusaha dan sebanyak mana juga nama seseorang itu terselip di tiap doanya. Jika belum berjodoh, harus apa? "Winny, aku mohon," monolognya sendu. "Hei, Bro. Kita bertemu di sini." Chandra menoleh ke seseorang yang datang sembari menepuk sebelah pundaknya. "Vino?" "Kau tampak berantakan, Chan. Ada apa denganmu?" ucap seseorang bernama Vino tersebut setelah mendudukkan diri di tempat yang sebelumnya Winny duduki. "Aku bertemu Winny di depan, kalian bertengkar?" Chandra menggeleng. "Lalu?" "Apa bisa kau berhentikan saja Winny dari jabatannya, Vin?" Hal yang membuat Vino langsung duduk tegak dari sandarannya di kursi. "Jadi benar kalian bertengkar?" Vino kembali bertanya. Kali ini rautnya lebih serius. "Bukan bertengkar tapi berpisah," koreksi Chandra. "Berpisah? Kalian akan bertunangan sebentar lagi, kenapa berpisah?" "Winny menolak berhenti dari posisi pekerjaannya sekarang. Sementara kesehatannya semakin mengkhawatirkan, kau tahu Winny itu spesial kan, Vin?" Vino menghela napas sebentar, masalah sahabatnya yang satu ini memang agak rumit. "Dan karena itu kau memutuskan untuk segera menikahinya karena mau Winny berhenti bekerja?" Chandra mengangguk. "Agar dia bisa fokus pada kesembuhannya, Vin. Bukan hanya pernikahan itu yang kuinginkan tapi juga kesembuhannya yang utama." Vino menangkap raut sendu dari wajah sahabatnya. Pria ini, telah mencintai seorang wanita begitu hebatnya. Winny, adalah wanita berutung yang berhasil mendapatkan hati seorang Chandra. Jungkir balik kisah cinta dua sejoli itu, telah Vino saksikan sedemikian rupa mulai dari awal pertemuan hingga saat ini yang telah berlangsung selama hampir tiga tahun. Mungkin tidak terlalu lama dalam sebuah hubungan untuk menuju jenjang yang lebih serius namun, cerita di baliknya sangat mengangumkan. Dan Vino rasa kalau dikisahkan menjadi sebuah buku akan cukup menarik. "Aku hampir menyelesaikan seratus potong burung - burung kertas untuk kejutan kecil yang akan kuberikan padanya tepat di hari pertunangan kami. Tapi, dia malah memutuskan begitu saja." "Lalu, apa rencanamu selanjutnya setelah Winny berheti bekerja?" Kisah cinta sahabatnya ini, jujur Vino merasa agak tertarik. Mereka terlihat serasi dengan banyak kesamaan yang mencolok namun, sayang selalu berbeda pendapat dan pikiran. Kasarnya, tidak sefrekuensi. "Tentu saja memberikan perawatan yang sungguh - sungguh untuknya. Sekarang, seharusnya dia berada di rumah sakit untuk menjalani berbagai macam prosedur kesehatan, bukannya malah berkeliaran di mana - mana." Ada kejengkelan dan putus asa yang menyusup dalam ucapan Chandra. Vino paham itu. "Sepertinya aku memang harus memberhentikan Winny dari perusahaan. Ngomong - ngomong bagaimana dengan perkembangan sel kankernya, Chan?" "Sudah masuk stadium akhir. Tulang punggung dan fungsi hatinya bahkan mulai terganggu. Tapi, dia abai. Dan marah jika ku ingatkan tentang kesehatannya. Lantas, aku bisa apa?" Sampai sini Vino paham. Menjadi Chandra tidak seindah para penggemar musiknya di luaran sana. Menjadi musisi, terkenal itu adalah hal biasa. Namun bagi seorang pencipta musik dan tidak ikut andil dalam perekaman suaranya sendiri atau katakanlah, wajahnya hampir tidak pernah muncul di stasiun TV mana pun tapi, popularitas Chandra tidak perlu diragukan lagi. Banyak para muda - mudi yang mencap diri mereka sebagai penggemar bahkan fans setia Chandra. Itu karena wajah tampan dan tubuh proposional yang dimilikinya. Tapi, siapa sangka. Wanita pilihannya adalah Winny yang sederhana dan tidak sempurna. Meski, memang tak ada manusia yang sempurna. Begitu pun dengan Winny yang mencintai Chandra secara tulus. Hanya saja, wanita itu terlalu berkecil hati. Semenjak Chandra mengetahui keadaannya yang pesakitan, tak lantas membuat pria tampan dengan telinga caplang itu menjauh. Chandra justru semakin mencintai Winny dengan segala kekurangan yang wanita itu miliki. Winny juga merupakan cinta pertamanya. "Huh ..." Mengingat kisah cinta orang - orang yang rumit dan pahit. Vino jadi takut untuk menaruh hatinya dengan seseorang. Itulah alasan mengapa sampai detik ini pria yang berstatus sebagai sahabat Chandra sekaligus bos di tempat kerja kekasihnya itu lebih memilih menjadi seorang single. Free, bebas tanpa banyak hal yang harus dipusingkan. "Aku mohon, berhentikan Winny dari pekerjaannya, Vin. Aku akan menjalankan pengobatan padanya." Sekali lagi, Chandra utarakan permohonannya. "Kau tenang saja, Chan. Oh ya, aku mempunyai kenalan seorang dokter yang bisa membantumu melakukan prosedur ini. Winny bisa menjadi salah satu pasiennya jika kau memperbolehkan." Chandra mengangguk. "Bagaimana baiknya saja. Lebih cepat lebih baik." "Baiklah, kalau begitu besok kita bisa membawa Winny ke sana. Tapi, Chan ..." Bagaimana mungkin Winny mau diajak ke rumah sakit jika dia baru saja kehikangan pekerjaannya? Bukankah Winny adalah seseorang yang workaholic? "Masalah Winny, aku yang akan membujuknya," sahut Chandra seolah mengerti permasalahan yang sedang Vino pikirkan. "Hmm ... oke." Di tempat lain, Sheila yang baru saja merealisasikan tidak kriminalnya pun segera enyah dari ruangan Aira. Ia berniat melarikan diri ke rumah Irish. Tempatnya bertukar pikiran yang paling tepat. Ia berjalan dengan tergesa di sepanjang koridor rumah sakit. Cepat - cepat menekan pintu lift ketika menemukan tempat itu. Begitu pintu lift terbuka sekali lagi, ia tergesa keluar dan sampai di lobi utama dalam waktu singkat. Saat hendak melalui pintu keluar tanpa disadarinya ia berpapasan dengan Bintang yang berlawanan arah dengannya. Pria itu tidak mengenakan lengkap setelan dokternya. Hanya sebuah kemeja biru dongker yang membalutnya dan celana bahan sebagai pasangan. Tidak ada snelli dokter maupun pernak - pernik yang mencolok sehingga membuatnya terlihat seperti maayarakat awan yang hendak mengunjungi pasien. Ditambah sebuah kacamata membingkai area hidung dan mulutnya. "Ck, dasar sampah! Masih saja percaya diri gentayangan dengan muka duanya," komentar Bintang begitu eksistensi Sheila mulai menjauh. Menyisakan punggung berbalut blouse baby pink itu tinggal segaris kecil. "Kenapa pula Alpha harus mempercayai kata - katanya. Mudah sekali terperdaya demgan ular berbisa seperti itu." Lagi - lagi Bintang nyinyir sendiri. Dia yang gemas. Tidak bisa tidak santai kalau mengingat percakapan Sheila dengan seseorang di seberang ponselnya beberapa saat lalu. Seseorang yang dijelek - jelekkan wanita itu saat itu adalah masuk ke dalam kriteria Aira semua. Bahkan membawa - bawa kekurangan fisik dengan sebutan 'gadis buta'. Bagaimana bisa Bintang berpikiran positif kalau kalimat gadis buta meluncur dari bibir gadis itu dengan ringannya. Bintang yakin seratus persen kalau Sheila itu memiliki niat terselubung dengan Aira. Sejak awal pertemuan mereka di cafe waktu itu, senyum dan tawa riang Sheila memang terlihat tulus. Tapi, semakin ke mari wanita itu terlihat palsu. "Apa tujuan lo sebenarnya, ular?!" nyinyir Bintang emosi. Serius, setiap kali melihat wajah Sheila setelah insiden menguping waktu itu, Bintang sering kali geram bahkan merasa sebal. Ngomong - ngomong, Bintang baru saja balik dari rumah sakit sebelah. Kebetulan dia dipercayai memegang dua rumah sakit sekaligus. Dan kini, saatnya ia kembali ke Saudavel. Namun, saat di dalam taksi tadi. Alpha meneleponnya untuk menemani Aira yang berada di ruang rawatnya sendirian. Ada Sheila juga di sana tapi Alpha tetap lebih percaya kepada Bintang sehingga turut menghubunginya. "Bukannya kata Alpha ular tadi disuruh nemenin Aira ya? Kenapa malah keliaran di sini?" "Ck, suka - suka dia lah." Lantas, Bintang melanjutkan langkahnya yang sempat terdistraksi. Tak membutuhkan waktu lama, pria dengan wajah khasnya itu sampai di ruangan Aira dengan cepat. Dan, betapa terkejutnya Bintang melihat keadaan gadis itu di sana. "Aira!!!" Ia segera mengambil langkah seribu untuk menjangkau Aira, yang orangnya tergeletak di lantai dengan sebelah tangan memegangi dahinya. "Ya Tuhan, Aira. Kenapa kamu bisa sampai seperti ini?!" ucap Bintang nyaris teriak. Dalam sekejap, tubuh ringkih Aira berada dalam gendongannya. Bintang angkat kembali ke atas ranjang pasien. "Kak Bintang ..." Aira merintih. "Ya Tuhan! Coba lihat sini." Ditariknya lembut kepala Aira agar menghadap ke arahnya. Setelah kedua paras mereka saling bertatapan, Bintang lekas membersihkan luka di dahi putihnya yang mengeluarkan darah. Tidak banyak tapi, nyerinya bukan main. Cukup membuat seseorang meringis kesakitan. "Bagaimana bisa seperti ini Aira?" Bintang bertanya sembari tangannya tetap bekerja menyapukan alkohol di permukaan kulit yang berdarah. Bungkam, ingin menjawab namun ragu. Itu yang sedang Aira alami kini. Beberapa saat lalu, ketika Sheila mendorongnya dari ranjang pasien. "Akkh!!!" "Oopsie! Kekuatan ya?!" "Aduh ... Kak Sheila bantu Aira." Ada uluran tangan yang berharap ia gapai. Lirihan sendu masuk ke rungu Sheila namun ia biarkan. Satu pertanyaan muncul dibenaknya. 'Kenapa gue seberani ini?' Karena ini adalah kali pertamanya melakukan hal terjahat dalam hidupnya. "Lo pura - pura jatuh kan? Gue gak dorong kuat banget kok." Nadanya terdengar sumbang dan panik. Aira mendongak, tidak mendapat pertolongan dari orang di hadapannya. Ia memutuskan melipat kaki di depan d**a dan menekan luka di dahinya yang sukses mengeluarkan darah. Di depan nakas dekat kolong ranjang, gadis yang baru saja melakukan operasi transplantasi mata itu pun meringis menahan tangis. Tidak boleh cengeng, tidak boleh menunjukkan kelemahanmu di depan orang yang tidak menyukaimu. Begitu prinsip salah satu di antara dua wanita di sana. "Kenapa Kakak dorong aku, Kak?" Parau. Meski telah Aira tahan sekuat mungkin suaranya agar tidak bergetar. Sheila menggeleng, "Gue gak dorong elo! Lo yang jatuh sendiri!" "Tapi tadi Kakak bilang, Kakak yang dorong aku." "Nggak. Lo yang jatuh sendiri!!!" "Kak Sheila," tatapan mata itu menghunus tajam pada kedua obsidian Sheila yang bergerak gelisah. "-sebenarnya Kakak ini kenapa?" Sebab menurutnya, Sheila ini seperti seseorang yang labil. Kadang terlihat sangat jahat namun di satu waktu dia akan ketakutan sendiri dengan perbuatannya. Dan begitu juga yang sedang Aira lihat sekarang dari tingkah Sheila. "Dengar! Lo jatuh bukan salah gue. Jadi, awas kalo lo sampai ngadu ke Alpha kalau gue yang mendorong lo! Dengar?!" "Kenapa Kak? Bukannya memang Kakak yang dorong aku?" balasnya tak mau kalah. Ia menunjukkan sisi dominannya kali ini. Aira yang sekarang adalah Aira yang baru. Bukan lagi Aira yang seperti penggambaran laksana air. Selalu mengikuti bagaimana bentuk tempat dan arah mengalirnya. Tapi, Aira yang kuat dan berguna bagi banyak kehidupan orang - orang. "Pokoknya, kalau sampai lo bilang ini semua ke Alpha. Bukan cuma lo aja yang gue habisin tapi juga karir Alpha sebagai seorang dokter. Ingat! Dan camkan ini baik - baik." Dia sedang diancam. Aira paham. Seharusnya tidak begini. Tapi karir Kak Alpha adalah segala - galanya bagi pria itu. Dan ia cukup tahu bahwa sering kali kakaknya itu mencuri - curi senyum saat sedang membaca laporan pasien atau setelah mendapat telepon dari perawat bahwa ada pasien yang membutuhkannya. Dan mengapa Sheila harus turut membawa - bawa pekerjaan Kak Alpha? Gadis itu menggeleng. "Aku tidak akan memberitahukan hal ini dengan Kak Alpha," ucapnya dengan mata panas. Ia tidak mau kakaknya kembali melepaskan pekerjaan ini hanya karenanya. Dan kemungkinan terburuk adalah Alpha yang kembali membencinya. "Tidak mau!!!" batinnya memberontak. "Bagus, itu baru namanya adik yang baik." Sheila tersenyum dalam senyum kemenangan. Ya, dia merasa menang. "Papai ..." Pintu ruangannya kembali tertutup dengan bantingan yang cukup keras. Menelan habis raga Sheila yang tak lagi berada di pandangannya. Detik itu pula Aira meluruh. Matanya semakin panas dan berakhir menangis dalam diam sembari merintih kesakitan dengan tangan setia membungkus lukanya. "Aira?!!" Panggilan dan tepukkan Bintang di sebelah bahunya membuatnya terkesiap. "Kamu melamun?!" Lebih terdengar seperti pernyataan dari pada pertanyaan. "Maaf, Kak." "Ck, bukan saatnya meminta maaf Aira. Kakak bertanya, kenapa kamu bisa terluka seperti ini?!" Aku harus jawab apa? Impian Kak Alpha adalah segalanya. Ada yang sedang berperang batin. "Jawab, Ra. Jangan melamun lagi," ucap Bintang frustasi. "Pokoknya, kalau sampai lo bilang ini semua ke Alpha. Bukan cuma lo aja yang gue habisin tapi juga karir Alpha sebagai seorang dokter. Ingat! Dan camkan ini baik - baik." "Aku ... aku terjatuh, Kak," dustanya. Ancaman Sheila sukses membuatnya lumpuh berpikir. Dan memilih menjadikan hal ini adalah rahasia antara dirinya dengan wanita itu saja. "Jatuh? Bagaimana mungkin Aira? Kenapa bisa sampai terjatuh hmm?" Bintang selesai menempelkan plester di dahinya. Kini, perhatian pria berusia 29 tahun itu menatap penuh pada air muka Aira. Ada yang hendak ia cari tahu di sana. "Tadi ..." dengan jeda - jeda itu ia sembari berpikir. Mencari alasan yang logis. "-itu tadi ... Aira haus, Kak. Mau mengambil gelasnya tapi, tidak sampai." Masuk akal. Begitu pikirnya. Tidak langsung menjawab, Bintang menatap lekat - lekat paras cantik jelita itu. "Sungguh?" Agaknya Aira takut, Bintang memancarkan aura intimidasi yang kental. Namun, bukan aura yang sama seperti Sheila tadi. Tidak, ini berbeda . "Kamu sedang tidak berbohong?" tanya Bintang lagi. "Sungguh, Kak. Aira tidak berbohong." "Baiklah, Kakak percaya kamu." Bintang membawa Aira dalam dekapannya yang hangat. Demi Tuhan, gadis ini sudah dia anggap seperti adik kandungnya sendiri. Bahkan sudah seperti putrinya. Rasa ingin melindungi dan menyayangi Aira begitu besar. Ia ingin memastikan Aira selalu sehat dan bahagia. Seperti keinginan seorang ayah pada umumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN