Bab 26

1380 Kata
"Gue sebel banget nget - nget - nget! Fix deh pengin gue musnahin itu cewek satu." "Sure, dia itu cuma bakal jadi benalu di hubungan gue sama Kakaknya kelak." "Lagian nih ya, apa sih istimewanya gadis buta kayak gitu. Cantik sih tapi nyusahin! Ngerepotin!" "Gue bakal main alus, Ris. Cowok itu bakal datang ke gue dengan sendirinya!" "Kamu yakin, Bi?" Bintang cepat - cepat menganggukkan kepalanya. "Apa aku terlihat seperti orang yang sedang bercanda?!" jawab Bintang tajam. Tidak sulit mendefinisikan bahwa ucapan Bintang adalah sebuah pernyataan bukan pertanyaan. "Tidak mungkin Sheila seperti itu, Bi-" "Tidak mungkin bagaimana? Jelas - jelas aku mendengarnya langsung melalui dua daun telingaku yang lebar ini, Alpha." "Nggak - nggak, pasti kamu salah dengar, Bi. Gak mungkin Sheila ngomong kayak gitu. Dia gadis yang baik." "Ck, kamu tahu istilahnya muka dua? Sheila itu kayak gitu, Al. Lagi pula kalian baru kenal kan?!" Ada emosi dalam intonasi Bintang. "Terus kamu bisa nuduh sheila sejahat itu karena kami baru kenal? Bintang, Aira juga butuh teman bicara seorang perempuan. Sheila pun menyayangi Aira, Bi." Secara naluriah aku ikut terpancing suasana emosi ini. Pria mungil itu diam, tak lagi menjawab atau pun bereaksi berarti seperti sebelumnya. Bintang membuang pandangannya dariku, bisa ku lihat ada rona kemerahan yang kentara sekali di wajahnya. Atau lebih pantas disebut merah padam. "Ya sudah, terserah kamu. Suatu saat nanti kalau terbukti Sheila orang jahat dan berniat jahat dengan Aira. Kamu akan sangat menyesalinya!" lontarnya cepat kemudian beranjak dari ruanganku. Beberapa saat lalu, setelah Sheila berkunjung menjenguk Aira. Bintang menarikku ke ruanganku untuk membicarakan sesuatu yang katanya penting. Maka, kalimat - kalimat buruk di atas tadilah yang ia sampaikan padaku. Sheila yang berkata demikian, dengan seseorang di seberang ponselnya. Dan Bintang mengetahui itu saat ia berencana masuk untuk mengecek Aira. Kebetulan saat itu aku ada di ruangan Kaindra untuk mengetahui keadaan adikku lebih lanjut. Sebab, gerak - gerik Sheila saat itu agak mencurigakan makanya Bintang memutuskan untuk bersembunyi di balik tembok lain yang tidak terlalu jauh dari lokasi Sheila. Dan memutuskan mencuri dengar obrolan wanita itu. Satu buah pesan elektronik masuk di ponselku. Dari : Sheila Maafkan sikapku yang tadi ya, Al. Sungguh aku tidak bermaksud apa pun. Besok, aku akan mengunjungi Aira lagi. Aku merindukannya. Aku menghela napas sejenak. Rasanya tidak mungkin Sheila seperti seseorang yang Bintang katakan. "Huh ..." Menghela napas panjang adalah satu - satunya hal yang bisa kulakukan. Disaat aku mulai membuka hati untuk wanita lain, mengapa harus merasa dilema di awal. Padahal kami hanya berteman, ya aku membuka hati untuk urusan pertemanan. Di pikiranku, Aira juga pasti membutuhkan seseorang yang bisa ia ajak bicara dengan tenang sebagai sesama jenis kan? Tapi, ucapan Bintang barusan. Demi Tuhan kepalaku ingin pecah saja rasanya. *** "Jangan!" "Kenapa? Setelah itu kan akan terasa plong. Jadi tidak masalah." "Aku malu, mungkin hasilnya akan berantakan dan sangat memalukan," cicit Aira. Ada Kaindra yang sedang mengajaknya mengobrol. "Dari banyaknya peristiwa yang pernah ku lihat, lukisan seseorang yang tidak bisa melihat biasanya jauh lebih indah dari mereka yang menggunakan mata secara nyata," imbuh Kaindra. Sedang terjadi tawar menawar antara Aira dengan ahli bedah toraks kardiovaskular itu. Kai --Sapaan akrab Kaindra-- bersikeras ingin melihat lukisan yang Aira buat. "Dokter, kenapa Anda pemaksa sekali," ketus Aira lucu. Bibirnya mencebik beberapa centi. Aku terkekeh melihatnya, begitu pun dengan Kai yang seketika mengusap puncak kepala Aira pelan. "Karena kau bilang setiap lukisan yang kau buat adalah curahan hatimu kan? Menuangkan semua yang kau rasa di sana, itu sangat menarik." Kai tak gentar. Ia masih bertahan dengan jurus merayunya. Jujur, aku pun penasaran. Akankah Aura menunjukkan lukisannya kepada Kai? Berhubung pria ini cukup asing baginya. Ngomong - ngomong, Aira sangat menjaga dan menyayangi setiap lukisan -lukisannya seperti anak sendiri. Yang ia rawat seperti anak sendiri. Hanya orang - orang terdekat yang bisa melihat karyanya bersama cat itu. Bisa dihitung jari. Ayah, Bintang, Chandra, dan aku. Selebihnya, Aira tidak mengizinkan. Katanya, "Malu, Dokter Kain renda. Aku melukis dengan mata batin. Melempar asal setiap kuas dan pallet di tanganku dengan sesuka hati. Hasilnya pasti jelek. Jadi, tidak usah melihatnya!" Persis, selalu seperti itu jawabannya dari hari ke hari, minggu ke minggu bahkan sampai bertahun - tahun. "Hahaha ..." Tawa Bintang pecah saat baru tiba dan masih berada di depan pintu ruang rawat Aira. Mengalihkan perhatianku dengan Kai di sini. "Apa yang membuatmu tertawa seperti itu, Star?" tanya Kai. Bintang, dalam bahasa Inggris kan artinya star. Mungkin begitu. "Tidak ada yang menyadarinya ya? Ha-haduh perutku sampai sakit mendengarnya." Bintang hampir mati karena tertawa. Pria itu sampai bertepuk tangan dan mengeluarkan air mata. Memangnya ada apa? "Aira, Sayang. Tadi kamu panggil Om dokter apa ya? Kak Bintang mau dengar lagi dong." Di atas tempat tidurnya, Aira masih mengunci mulut. Tak lama kemudian, ia berucap, "Dokter Kain Renda?!" "Hahaha ... haduh perutku, tolong." Bintang kembali terbahak. Sementara Kai, wajahnya biasa saja tapi matanya mengerling malas. "Kaindra, Ra!" Adikku mengangguk. "Iya, Kak Alpha memanggil Dokter begitu kan?" keukehnya. "Astaga, Alpha. Adikmu ini." Kai mendesah frustasi. Aku beringsut maju, mendekati Aira dan memberi satu kecupan ringan di dahinya setelah sebelumnya kuusap perlahan surai legam itu. "Kaindra, Aira. Dokter Kaindra bukan kain renda, Ra," koreksiku. "Ya ... itu maksudku, Kak." Hahaha, ya ya. Baiklah, terserahmu Aira. Asal kamu bahagia. "Aku marah, namaku Kaindra bukan kain renda. Ganti rugi!" ucap Kai tiba - tiba sekali. Aku dan Bintang menatap ke arah pria itu sejenak. Ada raut tidak suka di sana. "Seriously, Kaindra. Kau marah hanya karena hal sepele begitu?" Bintang suarakan pertanyaan yang sama dengan serebrumku. Lewat gerakan non verbal, Kai seolah menyuruh kami untuk diam. Dengan kode pada jari telujuk yang ia tempelken ke bibirnya. "Ha ... oke - oke." Bintang berbisik. Kami pun segera diam. Mengikuti sejauh mana permainannya. Sejujurnya, aku juga bingung. Untuk apa Kai memaksa ingin melihat lukisan Aira? Padahal kalau dia mengatakan alasan yang jelas, aku bisa membawanya pada tempat penyimpanan yang berisi kanvas - kanvas hasil lukisan adikku. "Bagaimana jika kita saling berjanji?" "Perjanjian macam apa itu?" respon Aira penasaran. Ku lirik Kai sekilas. Ada senyum yang terpatri di kedua sudut bibirnya. "Kau tunjukkan hasil lukisanmu kepadaku, dengan begitu aku juga akan mengabulkan tiga hal yang bisa kau pinta dariku. Apa saja," ucap Kai cepat. "Apa saja?" "Hum. Apa saja." "Dengan pertimbangaku, tentu saja," sambung Kai. "Hmm ..." Aira sedang berpikir, ia bahkan mengetuk - ngetukkan jarinya di dagu. "Bagaimana?" kejar Kai. "Benar apa saja, Dokter?" tanya Aira sekali lagi. "Iya, Ra. Dengan pertimbanganku. Jangan lupakan itu." Terjadi keheningan beberapa saat, tampaknya ini akan menjadi keputusan terberat adikku. "Baiklah, sepakat." "Kau menyetujuinya?" "Iya, dan kabulkan tiga permintaanku, Dokter." "Bravo. Tunjukkan aku di mana kau menyimpan lukisan - lukisan itu?" Dan saat itu, adalah di mana Aira mengizinkanku untuk Kai melihat lukisannya. Semua. Juga, pada hari yang sama. Aira lebih rewel dari biasanya. Dia tidak seperti Aira biasanya yang lugu dan banyak diam. Satu pertanyaanku, apa yang sedang Kaindra rencanakan? "Di mana mereka, Al?" Bintang bertanya sembari celingukan ke sana ke mari. "Pergi." "Ke mana?" "Tidak tahu, Kai membawanya ke suatu tempat yang Aira inginkan." Bintang menggeleng sejenak. "Jadi, rencana mereka benar - benar terlaksana?" "Ya ... begitulah." Lia menyembul dari pintu ruang rawat Aira. Ada si kembar Bagas dan Bagus juga di kedua sisinya. "Permisi, Dokter Bintang dan Dokter Alpha." Bintang mendekati mereka. "Masuklah, Li. Ada apa?" Namun, Lia malah menggeleng. Begitu pun dengan si kembar yang langsung menyeletuk, "Maaf, kami sedikit sibuk. Hanya ingin menyampaikan informasi penting." "Apa itu, Gas?" "Prof. Fany memanggil kalian ke ruangannya. Segera, Dok." Lia yang menjawab. "Hanya itu?" Mereka bertiga kompak mengangguk. Lantas pamit undur diri. Katanya harus memeriksa pasien lain di ruangan lain. "Ayo, Al," ajak Bintang setelah menepuk sebelah bahuku. Di ruangan Prof. Fany, Tidak hanya aku dan Bintang. Saat kami tiba di sana, sudah ada Julio dan satu orang pria yang tidak kukenali. Kami duduk di bagian kursi yang kosong setelah mengetuk pintu sebelumnya. Pria itu, tampak seperti orang Asia pada umumnya. Tinggi tegap dengan postur tubuh ideal untuk kaum laki - laki. Delapan puluh persen dari tubuhnya adalah kakinya yang jenjang dan terlihat sempurna. Bahkan, wajahnya pun terlihat seperti tokoh anime. Tidak nyata. "Alpha, Bintang. Perkenalkan ini Tae Young dokter Onkologi yang akan ikut bergabung dengan kita mulai sekarang untuk merawat Aira." Ah, Dr. Tae Young. Jadi, ini orangnya setelah namanya booming di kancah nasional dan internasional.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN