Dua jam berlalu sejak Aira di pindahkan ke ruang rawat biasa. Selama itu pula adikku masih terpejam, belum ada tanda - tanda ia akan bangun. Pada kasusnya, ini adalah hal yang wajar. Serangan jantung saat berjalannya operasi membuat pasien lelah hingga lamanya jam tidur bisa lebih dari biasanya. Terlebih, organ vital juga butuh pemulihan secara perlahan.
Ini di luar kendali kami, ketika seharusnya operasi transplantasi mata itu selesai dengan mudah namun, tiba - tiba saja Aira mengalami serangan jantung.
"Untuk beberapa alasan tindakanmu di ruang operasi tadi tidak bisa dibenarkan Alpha. Yeah, I know kamu memiliki trauma pada peralatan medis dan meja operasi. Tapi, tetap saja kita sebagai dokter dituntut harus profesional. Pekerjaan kita menyangkut nyawa seseorang. Jadi, jangan pernah berpikir ini hanya sebuah lelucon." Kaindra adalah pemilik vokal bariton itu.
Usai Prof. Fany, kini Kaindra menghampiriku di ruang rawat Aira. Berakhir, dengan diriku yang berbicara empat mata dengannya di ruanganku.
"Maaf Dokter Kaindra. Aku hilang kendali saat itu," jawabku pelan.
"Kaindra saja, ku pikir usia kita sama. Jadi, tidak perlu repot - repot menambahi embel - embel di depan namaku." Begitu katanya.
Hening beberapa saat, hanya ada suara deru napas kami yang sibuk masing - masing.
"Aku sudah membaca rekam medis Aira dan telah mendengar keadaannya cukup rinci dari Prof. Fany, kanker ginjal dan riwayat jantung."
Pria itu tampak menimang - nimang akan kelanjutan ucapannya.
"Prof. Fany mengusulkan operasi bypas jantung. Benar?"
Aku mengangguk sebagai jawaban. Iya benar, itu yang Prof. Fany katakan.
"Bisa saja asalkan ginjalnya tidak bermasalah. Tapi di sini, posisinya Aira menderita kanker ginjal. Jika ingin nekat melakukan operasi itu resiko terbesar adalah kematian. Aku bukan Tuhan, tapi berdasarkan banyaknya pasienku yang sudah - sudah, itu yang terjadi."
"Lalu, apakah ada cara lain selain dengan operasi bypas jantung?" Aku bertanya hati - hati. Menyangkut kesehatan Aira adalah pokok pembahasan yang sangat sensitif bagiku. Aku hanya mengharapkan sesuatu yang baik, harapan kesembuhan padanya yang besar. Hanya itu.
Namun, Kaindra menggeleng. Saat itu duniaku terasa hancur berkeping - keping. Bisakah aku saja yang menggantikan posisinya.
"Tidak cukup mudah tapi, kita akan berusaha semaksimal mungkin," ucapnya. Sebuah garis simetris hadir di sudut bibirnya.
Aku pun menghela napas lega. Pria ini, tidak hanya pandai dalam toraks kardiovaskular tapi juga pandai mengolah kata hingga aku hampir saja depresi.
"Rileks, Alpha. Kamu terlalu kaku." Ia berdiri, menepuk sebelah pundakku cukup keras.
"Sarapan dulu, perutmu tidak ada terisi apa pun dari tadi malam, Riandra," sambungnya. Usai berkata demikian, lantas Kaindra keluar dari ruanganku. Snellinya ia sampirkan di tangannya.
Usai kepergiaannya, aku bergegas menuju ruangan Aira.
Aku masuk perlahan, ada Ayah yang sedang tidur di sofa panjang yang terdapat di dalam ruangan Aira.
"Ayah, bangun. Sarapan dulu," ucapku pelan sembari menepuk pelan bahu pria senjaku.
"Ayah?"
"Hngg ..."
Namun, sampai panggilan ketiga Ayah tak juga bangun. Hanya menggeliat dan kembali mendengkur. Mungkin dia sangat kelelahan. Operasi Aira berlangsung selama nyaris 4 jam lamanya, dimulai pada waktu dini hari. Dan selama itu pula Ayah menungguinya sampai operasi selesai.
Aku menyerah, membiarkannya tidur setelah memastikan selimut menutupi raga ringkihnya secara keseluruhan.
"Kak Alpha?" ucap suara seseorang serupa gumaman.
Aku mendekat. Beralih ke posisi ranjang Aira yang orangnya menyuarakan vokal rendah.
"Hei, kamu sudah sadar?" tanyaku cepat. Menarik kursi tunggal yang teronggok di depan nakas untuk kubawa di sisi ranjang Aira.
"Aira, apa kamu merasakan sakit? Mana yang sakit, hum?"
Ia menggeleng sejenak. Masih terbaring dengan mata tertutup kain kasa yang melingkar.
"Hanya sedikit nyeri di kepala," jawabnya.
Aku merangsek maju agar terduduk di arah samping kepalanya. Dan memijat dahinya perlahan - lahan. Adikku terdiam menikmati meski sesekali ku lihat ia meringis. Mungkin pijatanku terlalu kuat maka, kupelankan tekanan di area kepalanya.
"Bagaimana perasaan kamu? Sebentar lagi kamu akan melihat dunia kembali."
Aira tersenyum lembut, cantik dan menawan. Aku sanggup jika harus memandangi wajahnya selama satu harian tanpa harus melihat yang lain.
"Setelah delapan tahun-" ia menjeda. Mempertahankan sunggingan apiknya di kedua sudut bibir yang agak pucat.
"-rasanya luar biasa, Kak. Aku akan kembali melihat wajah Kak Alpha setelah sekian lama."
Aku tersenyum. Bunga hatiku mendapati jawabannya yang demikian.
Apa melihatku adalah tujuan utamamu, Aira?
Apakah aku spesial di hatimu?
"Kamu ingin melihat Kakak?" tanyaku senang.
"Hum, kata orang - orang, Kak Alpha itu memiliki paras yang mengagumkan. Aira jadi penasaran."
"Mengagumkan? Oh ya? Sepertinya biasa saja," imbuhku.
"Itu kan menurut Kakak. Pokoknya Aira senang sekali karena bisa segera melihat Kakak lagi." Nada bahagia dan senyum yang masih bertahan itu, demi Tuhan. Rasanya melegakan sekali.
Mengapa bisa dulu aku membenci manusia sepertimu Aira. Betapa bodohnya aku.
"Hai Alpha, hai Aira ..." ucap seseorang yang baru masuk dari balik daun pintu kamar rawat adikku.
Sheila, wanita itu datang dengan kantong kresek di sebelah tangan kanannya dan keranjang berisi buah - buahan di tangan kirinya.
"Siapa, Kak Alpha?" Aira bertanya.
"Sheila."
"Kamu sudah siuman, Ra. Bagaimana yang kamu rasakan?" Ia bertanya sementara aku berdiri dari kursi sebelah Aira. Mempersilahkannya duduk di sana.
"Terima kasih, Al." Sheila berbisik singkat. Yang ku balas dengan anggukan.
"Lebih baik dari sebelumnya, Kak."
"Aku turut senang mendengarnya, Ra. Kamu bisa mengobrol denganku kalau merasa sedang bosan ya. Alpha kan seorang dokter pasti dia cukup sibuk mengurusi hal yang lain. Bukan begitu Alpha?"
Tidak juga, aku kembali menggeluti pekerjaan ini bahkan karena Aira. Sebab aku ingin turun tangan langsung merawat dan mengawasinya. Meski, aku tahu mungkin saja niatan Sheila ini baik. Bagaimana pun selama ini Aira tidak pernah bergaul dengan orang lain selain aku dan kedua beagles Chandra, Bintang. Dan kami pun berbeda gender dengannya.
Wanita pasti merasa lebih nyaman mengobrol dengan sesama jenis kan?
Yeah, itu menurutku.
"Al?!"
"Ya?"
Aku terkesiap, Sheila menatapku dengan pandangan seolah bertanya. Dia sedang menanti jawabanku.
"Terserah Aira. Semua bagaimana nyamannya adikku saja. Aku tidak keberatan sama sekali jika harus bersamanya dalam jangka waktu yang lama." Kalimat itu yang pada akhirnya menjadi jawabanku.
"Tapi kamu juga butuh me time Alpha. Tidak mungkin tidak ada hal lain yang kamu pikirkan?"
Kenyataannya memang begitu, semua hal yang menjadi bahan pikiranku pasti dan selalu seputar Aira. Sebab, dia sumber keresahan hatiku.
"Misalnya?"
"Misalnya?!" Sheila mengulangi ucapanku dengan kedua alis yang berjungkit bingung.
"Hal lain seperti apa yang ku pikirkan? Yang seperti kamu ucapkan?"
Tiba - tiba saja nadaku terasa berat. Ada rasa tidak suka muncul dalam diriku pada sosok Sheila.
Dia terlalu ikut campur.
"Hmm ... aku hanya menebak saja Alpha. Maaf kalau tidak benar," cicitnya pelan.
Ada gurat menyesal di wajahnya.
Oh, aku terlalu terbawa emosi. Sempat terlintas di pikiranku bahwa arah pembicaraan Sheila tadi seperti ingin menjauhkanku dengan Aira. Dan tentu saja aku tidak suka usulan seperti itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud-"
"Nggak, Al. Aku yang salah. Seharusnya aku tahu di posisi kamu saat ini pasti sangat sulit kan. Kakak juga minta maaf sama kamu ya, Ra."
"Kak Sheila gak salah kok, Kak. Kalian hanya salah paham."
Ya, salah paham.
Semoga saja yang Aira katakan memang benar.