"Aira ... kamu apa kabar? Kakak rindu sekali denganmu."
Sheila berkunjung bersama buah tangan berupa beberapa buah-buahan dan bingkisan kecil lainnya.
Tidak sendiri, seorang wanita lainnya yang tak Aira kenali pun turut hadir bersamanya.
"Oh iya, Ra. Perkenalkan ini teman Kakak, Irish. Irish ini Aira yang ku ceritakan," ucapnya sembari mengenalkan satu sama lain.
"Hai Aira, senang bertemu denganmu."
Uluran tangan berupa jabatan tangan yang Irish suguhkan Aira tatap sedemikian rupa.
Gadis berseragam rumah sakit itu jatuhkan tatapannya kepada Sheila. Ada segaris senyum misterius yang hadir di bibirnya. Meski demikian, Aira sambut uluran tangan Irish.
"Terima kasih." Sepenggal kalimat yang Aira ucapkan. Kemudian segera menarik tangannya secara perlahan.
"Kamu secantik yang Sheila bilang ya."
Aira tersenyum menanggapi.
Ada saatnya dimana ia merasa membenci perputaran waktu. Yang bergerak terlalu lambat ketika di situasi tidak ia sukai.
Masih terekam sangat baik di ingatan Aira ketika Sheila mendorongnya siang itu. Dan ancaman yang ia dapati. Tapi, mengapa Sheila masih dapat berkomunikasi sebaik ini dengannya? Seolah tak pernah terjadi apa pun di antara mereka.
"Kak Sheila?"
Sang pemilik nama menoleh, menghentikan sejenak kegiatannya memainkan ponsel. Sementara Irish sudah mendarat di empuknya sofa sembari membaca sebuah majalah.
Sepasang obsidian jernihnya berbaur dengan kedua mata Sheila yang memancarkan raut tak bersahabat.
"Kenapa kamu ada di sini?" Aira bertanya.
Sebuah smirk muncul menghiasi paras cantiknya. "Kenapa? Lo pikir gue gak bakal bisa kesini lagi?"
Aira diam, menyimak.
"See? Alpha lebih percaya sama gue," ucapnya menyombongkan diri.
"Aira ... Aira ... kenyataannya kalo Alpha berpihak ke gue lo bisa apa sih? Lo gak bisa hidup dengan terus-terusan bergantung sama orang lain. Termasuk itu Alpha sekalipun."
"Suatu hari nanti, kalian bakal hidup masing-masing. Alpha sama wanita pilihannya dan lo-" sebelah bibirnya, Sheila tarik miring. Seolah menegaskan betapa dirinya lebih unggul dari Aira dalam segi apa pun.
"Yeah, sekarang lo udah bisa ngeliat kan? Udah dewasa juga kan? Bisa dong hidup tanpa harus disokong orang lain?"
Aira tetap diam, matanya menatap nanar sosok Sheila yang terus berbicara.
"Iya, sekarang aku sudah bisa melihat. Seharusnya sudah tidak merepotkan, Kak Alpha lagi."
"Soal yang kemaren, ngedorong lo sampe jatuh sorry, gue gak sengaja. Dan gak perlu bilang-bilang ke Alpha juga kan? Masalah sepele loh ini."
"Nggak."
Sheila tersenyum licik. "Good choice! Itu baru namanya anak pintar." Diakhiri dengan tawa mengejek.
Ya, Aira tahu. Permintaan maaf itu tidak tulus, Sheila hanya ingin mempermainkannya. Dan jatuhnya ia dua hari lalu, Aira yakin dengan sangat kalau itu disengaja bukan seperti yang Sheila ucapkan barusan. Namun, Aira tidak ingin memperpanjang masalah. Toh, apa yang Sheila ucapkan ada benarnya juga.
"Mulai sekarang aku harus bisa mandiri, tidak selalu meminta bantuan pada, Kak Alpha maupun yang lainnya. Aku sudah beranjak dewasa."
Banyak hal yang harus dipertimbangkan, dipikirkan, dan dicermati dengan baik. Aira hanyalah seorang remaja yang belum genap berusia 20 tahun. Sehingga, hal kecil sekali pun akan mempengaruhi pemikirannya. Meski demikian, untuk seusia remaja Aira termasuk cukup dewasa. Pola pikir yang menyerupai orang dewasa.
Dulu, ketika ia masih belum bisa melihat, Ayah sering kali mengajaknya bermain di taman dekat rumah sembari menasihatinya seputar kehidupan, dan segala sesuatunya yang bermakna positif.
Dan salah satu nasihat yang paling Aira ingat sampai detik ini adalah, "Tumbuhlah seperti layaknya kuntum bunga. Jangan memaksa mekar jika belum saatnya tiba."
Yang Aira pahami waktu itu adalah seorang anak masihlah anak yang membutuhkan orang tua dan orang-orang yang mendukungnya. Tidak perlu memaksa keadaan agar berdiri di kaki sendiri.
Tapi sekarang, Aira merasakan bahwa hidup memang sekeras itu. Tidak hanya memahami dan dipahami tapi juga menyadari dan menyanggupi. Meski saat itu, belum saatnya bagi si kuntum bunga untuk mekar sempurna.
"Aira ..."
"Hum?"
"Melamun lagi? Ada apa hmm?" Ini, Kak Alpha. Yang duduk di dekatnya dengan pandangan lurus ke arahnya.
Aira menggeleng kecil, "Nggak kok, Kak."
Snelli putihnya Alpha letakkan di sofa ruang kerjanya. Satu jam lalu, setelah operasi yang ia lakukan selesai, Alpha segera menuju ruang rawat Aira untuk melihat keadaan sang adik yang sempat ia titipkan kepada Sheila. Kebetulan siang tadi Sheila datang mengunjungi bersa teman wanitanya yang Alpha ketahui bernama Irish.
Sebelah tangan Alpha, pria itu bawa membenahi anak-anak rambut Aira yang berserakkan dan ia selipkan di balik telinga empunya. Bersamaan dengan usapan lembut di sekitar pipi yang memperlihatkan rona kemerahannya.
"Suhu tubuh kamu normal tapi, wajah kamu sangat merah. Kamu baik-baik saja Aira?" Alpha bertanya cemas. Tampak jelas paras tampannya yang menunjukkan kekhawatiran dari kedua alis tegasnya yang terangkat tajam. Membentuk jungkitan yang luar biasa.
Dalam keadaan seperti ini saja Alpha tampan rupawan. Aira sulit berkedip. Menjadikan alasan mengapa wajahnya tampak memerah begitu saja ketika Alpha sapukan telapak tangan milik pria itu di pipinya.
"Dingin, Kak. Mungkin karena hari sudah mulai memasuki waktu sore," dustanya.
Alpha mengangguk sekenanya.
"Katakan pada Kakak apa pun yang kamu rasakan jika merasa sakit atau tidak baik-baik saja. Mengerti?"
"Hum."
Sebuah kecupan lembut mendarat di dahi putih Aira. Alpha pelakunya.
Ada darah yang mendesir hangat, sampai ke bagian hatinya yang menyusup tanpa arah. Jantung yang berdetak kian kencang dengan ritme heboh.
Aira dan segalanya yang ada pada diri gadis itu memanglah favoritnya. Alpha, untuk kesekian kalinya merasakan desiran aneh itu. Yang sudah sangat jelas artinya dan ia sendiri pun tahu apa maksud detakkan jantungnya.
Namun, sekali lagi Alpha mengelak secara tegas melalui pelukkan hangat yang ia berikan. Merangkap tubuh kecil Aira ke dalam dekapannya. Menyalurkan kasih dan sayang yang demi Tuhan Alpha berikan secara menyeluruh. Hati dan perhatiannya pada sosok Aira. Gadis yang telah sukses memporak porandakan kejiwaannya.
Melalui dekapan yang ia beri, bisa Alpha rasakan betapa amat ringkih sosok Aira. Adiknya yang rapuh. Baginya, Aira adalah sebuah lembar berlian bertabur emas murni.
Gadis itu cantik dan mewah seperti penggambaran berlian dan emas tersebut. Namun, bersamaan dengan itu sifatnya lemah. Sebab hanya selembar. Selembar berlian yang bertabur emas. Tidakkah barang seperti itu akan hancur dalam sekali sentuhan?
Ya, Alpha pun merasakan demikian pada diri adiknya. Aira tidak sekuat yang kelihatannya namun juga tidak selemah perkiraan orang-orang.
"Nanti malam kita akan chek up ulang. Untuk rekam medis persiapan terapi kamu."Alpha buka suara setelah terlalu lama meredam vokalnya.
Yang Aira angguki saja.
"Dokter Julio mana, Kak?" Raut wajah Alpha seketika berubah.
Tumben.
Ada apa gerangan mencari sosoknya?
"Kenapa dengan Julio?"
"Hanya ingin menanyakan sesuatu padanya, Kak. Tidak macam-macam kok," sahut Aira.
"Memangnya kalau kamu mau macam-macam. Apa yang mau kamu perbuat?"
Aira mengernyit heran. Kakaknya kenapa sih?
"Tidak tahu. Lagi pula aku tidak berniat seperti itu sama sekali."
"Seperti itu bagaimana?"
Gadis cantik itu kelihatan semakin bingung, terlihat dari alisnya yang berjungkit satu.
"Macam-macam?!" ucapnya seolah tidak yakin.
Dibilang pertanyaan tapi Aira yakin dengan pernyataannya. Mau dikata pernyataan pun nadanya seperti pertanyaan. Sebenarnya pokok permasalahan yang mereka bahas ini tentang apa? Tentang macam-macamkah?"
Alpha menghembuskan napas sejenak. Memang apa yang bisa ia harapkan dari pemikiran adiknya yang polos dan lugu ini.
Bergandengan tangan? Jalan berduaan? Berpacaran?
Astaga! Aira bahkan hanya menyentuh laki-laki yaitu dirinya dan Ayah saja. Termasuk dua beagles Bintang juga Chandra.
"Hal apa yang ingin kamu tanyakan padanya?"
"Mengenai lukisanku yang terpajang di galeri seni. Dokter Kaindra bilang, Dokter Julio menyukai salah satunya. Aku hanya ingin menayakan yang mana yang menjadi kesukaannya. Aku juga ingin melihat reaksi dari orang-orang melihat lukisanku. Selama ini aku hanya mendengar reaksi mereka, tidak dengan melihatnya secara langsung."
"Jadi benar, kamu menyukai Julio?"
"Huh?" Pertanyaan tak terduga itu membuat Aira bingung.
"Kakak ini bicara apa sih?"
Alpha mendengus tak suka. Terlihat jelas raut terlukanya di sana. Namun, kenapa? Aira bertanya-tanya.
"Dr. Tae Young yang akan memeriksamu, Ra. Bukan Julio jadi kenapa kamu mencarinya?!"
"Tidak ada apa-apa, Kak sungguh."
"Yasudah, kamu makan dulu ya? Kakak ambilkan sebentar di pantry." Tak menunggu persetujuan Aira, lelaki tampan itu sudah beranjak dari kursinya. Menyisakan sang adik yang masih mengerjap bingung dengan kelakuan kakaknya beberapa saat lalu.
Aira berniat menyamankan posisi duduknya sembari menunggu Kak Alpha kembali namun, tiba-tiba saja.
"Aakh!"
Spesialis Bedah Toraks Kardiovaskular.
Alpha memasuki ruangan dengan papan kecil bertuliskan bacaan tersebut di bagian atasnya. Setelah mengetok daun pintu beberapa kali lantas ia memutar handle-nya.
"Dokter Kaindra," panggilnya.
"Halo Alpha, silahkan duduk," ucap Kaindra.
Ngomong-ngomong, tidak hanya Kaindra dan Alpha saja di sana, ada Dr. Tae Young yang sedang berbicara dengam ponselnya. Pria itu berdiri di sudut jendela ruangan Kaindra. Dari caranya memegang ponsel dan mengarahkan langsung ke wajahnya, Alpha bisa mengetahui kalau Dr. Tae Young sedang melakukan panggilan video.
"Dr. Tae sudah membaca rekam medis Aira yang pertama. Untuk itu, mari kira dengarkan penjelasannya langsung dari orangnya saja. Tapi, Al-"
Mendadak Alpha merasa tenggorokkan dan bibirnya kering. Padahal ia sedang tidak dehidrasi. Kata tapi yang Dr. Kaindra jeda memberinya pengaruh yang cukup berdebar.
Hanya doa dan harapan baik yang bisa Alpha lakukan sekarang.
"Ada apa Kai?" Alpha bertanya hati-hati.
"Kupikir ... ini bukanlah sesuatu hal yang bisa menjadi kabar baik ataupun sebaliknya," jelas Kaindra.
Maksudnya?
"Ya?" Alpha tersentak.
"Oh Alpha, kau sudah di sini." Dokter Tae Young datang menempati kursi tepat di sebelah tempat duduk Alpha.
"Iya Dokter," sahut Alpha sembari mengangguk kecil.
"Kau dan Kaindra terlihat akrab dengan panggilan satu sama lain. Dan kelihatannya usia kita juga tidak jauh berbeda. Kau bisa memanggilku tanpa embel-embel dokter, Al. Santai saja." Kai mengangguk setuju sementara Alpha hanya tersenyum tipis.
Dokter Tae Young meletakkan sebuah tablet digital di atas meja, menunjukkan isinya pada Alpha dan juga Kaindra.
"Terapi radionuklir." Begitu Dokter Tae Young berucap.
"Melihat dari jenis kanker yang Aira miliki, ini bukan termasuk kanker biasa. Bahkan kankernya sudah menyebar ke beberapa organ vital, dan tergolong ke dalam kanker yang ganas."
Baik Kaindra maupun Alpha menyimak dengan seksama.
"Sel kanker mudah menyebar disebabkan oleh sel inang yang ganas. Demikian dapat menyentuh organ vital yang lain." Pria berwajah tidak nyata itu membetulkan letak kacamata yang bertengger di tulang hidungnya.
"Metode biasa mungkin akan bekerja sedikit lambat dari perkiraan kita, melihat dari cepatnya penyebaran sel kanker ke seluruh tubuh pasien. Sementara terapi radionuklir ini lebih baik dari segi penerapan dan totalitas," sambung Dokter Tae Young.
"Tapi, Tae, efek samping dari prosedur ini sangat mencemaskan. Jangan lupakan penyakit jantungnya." Kaindra menambahi.
Tae Young mengangguk. "Pengobatan apa pun itu pasti mempunyai efek sampingnya masing-masing, Kai. Tidak ada yang mustahil selagi kita masih berusaha dan pasien mau sembuh. Meminta kepada Yang Kuasa agar semuanya berjalan lancar."
"Tapi, di situ masalahnya. Aira tidak ada semangat untuk sembuh."
Kaindra otomatis melirik pada Alpha yang tampak gusar dalam diamnya. Meski parasnya terlihat datar namun, kecemasan yang besar tak terelakkan.
Kini, yang menjadi pertanyaan Kaindra dan memenuhi benak pria itu adalah, apakah Alpha mengetahui sesuatu yang Aira lakukan di belakangnya?!
"Bagaimana Alpha?" Tae Young bertanya. Selain dokter yang turut menangani kasus Aira, Alpha juga merupakan wali dari pasien. Itu mengapa Tae Young dan Kaindra melakukan rapat darurat.
"Al?" panggil Kai sekali lagi. Namun, empunya nama sedang tidak fokus. Alpha melamun.
Untuk beberapa saat, Kaindra dan Tae Young saling bertatapan satu sama lain.
Mungkin Alpha sedang berpikir akan keputusan yang ia ambil. Yeah, bukanlah masalah sepele apalagi main-main. Sementara Aira, mungkin Tae Young tidak mengetahuinya tapi Kaindra tahu.
Pasien mereka kali ini adalah si kekasih hati dokter bedahnya sendiri. Alpha yang mencintai Aira.
Terlihat jelas dari cara pria itu menatap dan memperlakukan sang adik. Yang Kaindra saksikan secara langsung. Bibir bisa berkata sayang sebagai kakak kepada adiknya, saudara yang terikat darah yang sama. Namun, hati tidak bisa mengelak. Kaindra jelas tahu perasaan lelaki itu.
Bukan hanya dirinya, Julio, dan Bintang pun bahkan menggosipkan hal yang sama. Tentang perasaan Alpha kepada sosok Aira. Mereka sama-sama menduga bahwa se-spesial itu eksistensi Aira di tata letak hati seorang Alpha.
Ya, Alpha menjadi trending topik di bagian spesialis bedah.