Aira membuka matanya perlahan, putih. Semua yang ada dalam penglihatannya hanya putih. Sejauh mata memandang tidak ada hal lain selain sekelilingnya yang putih dan dirinya seperti di sebuah tempat asing.
Seingatnya tadi ia sedang tertidur setelah melakukan pengusiran kejam kepada kakaknya. Tapi sekarang, di mana dia?
"Kak Alpha," panggilnya hati-hati.
Aira menyusuri jalanan setapak ragu-ragu. Dia tidak kenal tempat ini, tidak merasa pernah ke sini.
"Kak Alpha?!" Kali ini sebuah jeritan yang meluncur nyaring. Aira takut, di mana dia sekarang?
Apa perselisihan dengan Kak Alpha tadi membuatnya kesal dan pergi dari rumah sakit? Sehingga kini dia sendiri pun tidak tahu keberadaannya ada di mana.
Lantas langkahnya terhenti, jalanan di hadapannya bercabang. Kiri atau tetap lurus.
"Aku harus ke arah mana?" tanyanya pada diri sendiri. Suaranya bahkan terdengar parau. Di tempat asing, sendirian, dan harus menentukan pilihan. Aira merasa sedang berada dalam posisi yang sangat menyedihkan.
Tidak ada seorang pun di sana. Jangankan manusia, makhluk hidup berupa pepohonan saja mustahil.
"Hai, kamu mau pulang?" Suara lain memecah keheningan dan kerumitan dalam pikirannya.
Aira menoleh, di hadapannya ada seorang perempuan berpakaian serupa dengan nuansa di sekelilingnya. Dress putih dengan rambut yang dibiarkan terurai ke bawah. Surai hitam dengan bando berwarna putih tulang. Lantas, yang paling mengejutkannya adalah.
"Kak Arina?" Wajah perempuan itu yang sangat mirip dengannya. Oh, Aira merasa sedang bercermin.
"Hai, Ra. Lama tidak bertemu. Aku merindukanmu," ucap suara itu lagi yang Aira yakini saudari kembarnya.
Terbirit seulas senyum cantik di parasnya yang teduh. Aira merasa menemukan jalan pulang.
"Aku juga sangat merindukanmu, Kak. Aku rindu sekali denganmu." Seolah mengadu, Aira tuangkan segalanya yang ia rasa mengganjal.
Aira mendekat, ia hendak memeluk saudarinya itu. Namun, Arina mundur dua langkah.
"Tidak bisa, Ra. Masih ada, Kak Alpha yang sangat membutuhkanmu. Sesekali kita akan bertemu tapi tidak bisa terlalu lama. Dan ku rasa, sepertinya kita sudah terlalu lama berbincang sekarang." Arina tersenyum. Semua ekspresi yang ia buat terlihat seperti Aira.
"Pulanglah, Ra. Aku hanya ingin bertemu denganmu. Tidak berniat membawamu bersamaku."
"Tapi Aira ingin ikut denganmu saja, Kak."
Arina menggeleng, "Tidak bisa. Lihat, Kak Alpha sudah menunggumu di sana."
Arina mengendikkan dagunya ke arah belakang Aira. Yang segera ia ikuti arah yang ditunjuk saudari kembarnya itu. Benar, sosok kakaknya sudah berdiri di belakang sana. Menatap cemas ke arahnya yang tengah berbincang dengan Arina.
"Aku sayang kamu, Ra. Dadah ..."
Secepat kedipan mata Arina menghilang. Ya, detik itu Aira sedang mengerjapkan matanya sembari mencerna perkataan Arina namun, di detik itu pula Aira tak lagi menangkap sosok Arina di hadapannya.
"Kak Arina!"
"Aira? Bangun, Ra. Ini Kakak, Kak Alpha."
Oh! Ini suara Kak Alpha. Aira membuka matanya perlahan-lahan. Ketika netranya menangkap raut khawatir yang sangat kentara dari wajah Kak Alpha, ia merasa sungguhan pulang.
Mendadak, kepalanya berdenyut sakit.
"Aduh!" keluhnya memegangi kepalanya.
"Kepala kamu sakit? Sebentar."
Alpha beranjak dari posisi duduknya. Ia segera menempelkan stetoskop yang sejak tadi melingkar di area lehernya kepada tubuh Aira. Dan memeriksa beberapa bagian yang perlu ia periksa.
Selama Alpha memeriksa, Aira hanya diam. Memerhatikan kondisinya sendiri dengan seksama. Ia melirik punggung tangan sebelah kananya yang terdapat jarum infus menancap di sana.
Apa yang terjadi denganku? Batinnya bertanya-tanya.
Aira juga memindai seluruh isi ruangannya. Ini masih ruang rawat inap tempatnya seperti biasa. Tapi, ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya ketika ia terbangun.
Seingatnya, ia hanya tidur dan Alpha keluar dengan tak acuh. Dan kenyataan itu sedikit menyakitinya.
"Kenapa melamun? Hmm?" Suara lembut Alpha kembali terdengar.
Aira memandang penuh paras sang kakak yang sudah berada di hadapannya. Alpha telah selesai memeriksa setelah menyuntikkan cairan yang tidak ia ketahui ke dalam selang infusnya.
"Aku ... kenapa, Kak? tanyanya setelah berhasil menstabilkan suasana.
Meski terlihat diam dan tenang tapi, beberapa saat lalu batinnya bergejolak aneh.
"Kamu pingsan saat tertidur karena terserang gangguan pernapasan," sahut Alpha. Air mukanya menunjukkan kekhawatiran yang dalam.
"Aku pingsan?" Alpha mengangguk.
Aira mengerjap beberapa kali. Lantas ingatannya kembali pada saat ia bertemu dengan Arina tadi.
"Ternyata hanya mimpi."
"Julio mengatakan, kamu juga sedang mengalami stress mendadak. Ada apa Aira? Apa yang kamu pikirkan?" Lembut sekali ia bertanya.
Tidak ada. Aira tidak merasa sedang memikirkan sesuatu yang berat yang mengganggu pikirannya. Bukankah dia hanya tertidur biasa saja?
"Kemarin Sheila menjenguk kamu, dia mengatakan sedang merindukan kamu." Suara Alpha kembali terdengar, jemarinya bergerak membetulkan anak rambut Aira yang berserakkan.
Gadis di atas ranjang pasien itu tetap diam namun pandangan matanya seketika berubah saat sang kakak menyebutkan nama Sheila. Ntah Alpha menyadari atau tidak sinar redup di kedua netranya tersebut.
"Berapa lama aku pingsan, Kak?" sambar Aira cepat mengubah topik pembicaraan mereka.
"Dua hari. Dan selama itu Sheila yang mejaga kamu bergantian dengan Kakak. Dia gadis yang baik."
"Dua hari? Apa separah itu gangguan pernapasanku?"
Alpha mengangguk sejenak. Semakin merapatkan posisi duduknya dengan Aira yang masih terlentang di atas ranjang pasien.
"Kamu tau sekhawatir apa Kakak sewaktu tau kamu tidak bisa dibangunkan untuk sarapan pagi?" Dengan gerakkan sangat lembut ia sampirkan rambut-rambut halus adiknya yang menutupi dahi putihnya.
"Jadwal operasi Kakak padat ketika kamu juga tak sadarkan diri kemarin. Untungnya ada Sheila yang bersedia menemani kamu. Sheila bahkan rela melewatkan rapatnya demi menjaga kamu, Ra."
"Kak!"
"Hum?"
Jemarinya masih senantiasa mengusap lembut dahi Aira yang tampak memerah. Kedua pasang lensa jernih itu saling bertautan dengan pandangan berbeda.
"Sepercaya itukah Kakak dengan Kak Sheila? Apa yang dia katakan sehingga Kakak bisa mengatakannya sebaik itu?"
"Ada apa Aira? Kamu menginginkan sesuatu?" Alpha bertanya lembut.
"Aku merasa kita terbentang jarak sekarang, Kak."
Meski mereka masih dalam posisi yang berdekatan namun, sosok Alpha yang dulu begitu protektif, tidak mudah mempercayai orang baru, terkesan dingin, dan selalu mengutamakannya kini, berbeda.
Dan itu terjadi ketika Sheila hadir di tengah-tengah mereka. Aira merasakan demikian.
Kenyataan kalau Sheila lah yang melakukan p*********n kepadanya beberapa saat lalu membuat Aira takut. Tapi, Kak Alpha yang selalu ia andalkan justru membela sang gadis, menyampaikan argumennya dengan lantang bahwa Sheila adalah orang baik membuatnya semakin takut.
"Kak Sheila ... apa yang dia mau sebenarnya?" batinnya bertanya-tanya.
"Aira ..."
"Huh?" Terkesiap, Alpha yang terkesiap sebab melihat sepasang manik indah Aira yang berair.
"Hei, ada apa, Ra? Kamu kenapa hmm?"
"Kamu menyebut nama Arina saat bangun. Kamu memimpikannya?"
Hanya gelengan yang Alpha dapatkan sebab Aira enggan mengeluarkan suaranya. Dan ketika lelehan bening mengaliri pipi putih adiknya, detik itu pula Alpha merasa hancur.
"Aira ada apa?!" tanyanya dengan raut mengeras. Alpha kepalang heboh.
Aira menangis dalam diam, dalam keterbungkamannya. Hal itu mengingatkannya ketika dulu dirinya masihlah Alpha yang lama.
Lelaki itu menggenggam sebelah tangan Aira yang tak tertancap jarum infus. Membawanya ke dalam kedua telapak tanggannya yang jauh lebih besar dan hangat. Tangan Aira sangat dingin.
"Aira ... tolong jangan seperti ini. Jangan membuat Kakak takut," katanya lagi.
"Tapi aku sudah takut, Kak. Aku sangat takut."
"Apa punggungmu sakit? Atau jantungmu yang sakit?" Aira menggeleng.
"Aku takut suatu saat nanti Kakak akan sungguhan sangat jauh dariku bahkan meninggalkanku."
"Aku bahagia karena bisa melihat lagi."
Alpha menaikkan sebelah alisnya. Menatap secara intens kedua obsidian sejernih air di laut lepas milik Aira. Mencari keyakinan dan kejujuran dari sana.
"Benarkah?" Karena Alpha tau sepandai itu Aira menutupi kegelisahan hatinya. Meski bibir secara tenang berucap dan paras lembut dengan pahatan sempurna yang mencipta kata cantik itu tampak biasa saja. Tapi mata tak dapat berbohong.
"Benarkah hanya karena itu kamu menangis?" Sekali lagi Alpha bertanya.
"Aku rindu Kakak, boleh peluk?"
"Jawab dulu pertanyaan Kakak, Aira."
Secepat kilat Aira mengangguk. Tak lupa memberi senyum terbaiknya kepada sang Kakak yang juga tengah menatapnya dengan mata berair di pelupuknya.
Grep!
"Jangan menutupi sesuatu apa pun itu dari Kakak, Aira. Jangan menjadi Aira yang dulu." Aira yang selalu diam. Diam-diam menangis, diam-diam tertatih, diam-diam terluka dan menyembunyikan lukanya sendiri sebaik mungkin. Aira yang tertutup dan penuh tanda tanya.
"Adik Kakak adalah prioritas utama, kamu bisa selalu mengatakan apa saja dengan Kakak tentang apa pun itu. Mengerti?"
Dalam dekapan Alpha, Aira mengangguk. Air mata yang sejak tadi berlomba ingin jatuh dirinya tumpahkan di atas d**a bidang sang Kakak. Membasahi snelli putih milik Alpha yang orangnya juga ikut terisak.
Kisah mereka yang bernada mellow sebagaimana permainan piano yang sering kali Alpha lepaskan ketika masih bekerja sebagai pianis di cafe dulu.
Mereka yang menyimpan hal mengerikan masing-masing namun tetap mencoba tersenyum secerah purnama.
Alpha, laksana dentingan piano lawas yang sarat akan nada-nada lirih juga menggores jiwa. Aira, seperti puzzle yang setiap kepingnya harus disatukan agar melengkapi satu sama lain. Memecah teka-teki demi sebuah hal yang indah. Dia Aira, gadis yang pandai menyembunyikan luka dan berusaha menyembuhkan lukanya sendiri. Meski tetap, tidak dapat sembuh sendirian.
***
"Selamat siang Princess, ya Tuhan Princess kecilku! I miss u so much Darling ..."
Bintang yang memasuki ruang rawat Aira dan mendapati sang penghuni kamar tengah duduk bersandar di ranjang sembari mengunyah apel yang sedang Alpha kupas kulitnya.
Pria berwajah bayi itu segera berlari menghampiri Aira dengan senyum cerah dan cengiran riang khasnya, seperti anak bebek yang baru melihat induknya.
"My pure little Princess! How are you hum?" tanyanya excited begitu berhasil membawa Aira dalam dekapan hangatnya. Yang Aira balas sama eratnya.
Gadis itu mendongak sedikit agar dapat melihat wajah Bintang. Sembari tersenyum ia berucap, "Better."
"Ya Tuhan Aira ... kamu membuat Kakak cemas. Suka sekali sih membuat Kak Bintang spot jantung?!"
"Hehe ... maaf, Kak. Aira udah gak papa kok. Cuma pingsan biasa aja kata, Kak Alpha. Sekarang aku merasa jauh lebih baik," jawab Aira.
Praktis Bintang melirik Alpha yang juga sedang menatapnya. Kupasan pria itu pada apel-apel di sana juga otomatis terhenti. Sebuah tatapan yang sulit diartikan manakala yang beradu adalah milik Bintang dan Alpha. Kedua pria itu terlalu banyak menyembunyikan hal-hal yang tidak diketahui Aira.
Oleh sebab itu, Aira pada akhirnya hanya diam. Semoga saja bukan sesuatu yang buruk.
"Kak Bintang sendiri?" Celingukkan seperti mencari seseorang yang mungkin saja ikut bersama pria itu.
Bintang mengangguk, "Ada seseorang yang kamu cari?"
"Iya."
"Hmm sayang sekali Kakak datang sendirian. Eh, ngomong-ngomong siapa yang kamu cari?" Pria dengan postur lebih kecil dari Alpha itu pun menaikkan sebelah alisnya. Lantas, ketika muncul ide usil di benaknya ia pun menjentikkan jari centil.
"Jangan bilang kamu sedang mencari Dokter Julio? Ya ampun Aira ... selera kamu bagus sekali. Tapi sayang, Julionya sedang ada operasi sekarang. Nanti setelah selesai operasi Kakak akan membawanya kemari. Hmm."
"Ck, jangan aneh-aneh, Bi. Lagi pula Aira tidak mengharapkan Julio yang datang!" sambar Alpha dengan lugas. Yang Bintang lirik ada nada ngegas dari caranya bicara barusan.
Aira diam sementara Bintang terkikik geli di sampingnya.
"Who knows?" katanya lagi seolah mengejek Alpha dari tatapannya.
"Selera adikku bukan sepertinya."
"Yasudah sih, kenapa kamu yang repot. Aira saja santuy." Bintang memgerling nakal pada Aira yang juga sedang menatapnya.
Gadis cantik berparas lembut itu hanya menggelengkan kecil kepalanya.
"Aira mencari, Kak Chandra. Sudah beberapa minggu terakhir ini Aira tidak melihatnya."
Maka detik itu pula suara helaan napas Alpha terdengar nyaring sekali di telinga Bintang. Lagi-lagi pria itu pun terkekeh.
"Kak Chan sibuk Sayang. Nanti setelah urusannya selesai pasti akan kemari," jelas Alpha.
"Kamu merindukannya?" Aira mengangguk.
"Nanti sore kita lakukan video call ya."
"Uhum."
Bintang beringsut mendekati Alpha yang kembali pada kegiatan awalnya mengupas dan memotong buah untuk Aira.
Pria itu berbisik pelan ke arah Alpa, "Tapi Chandra masih belum bisa dihubungi, Al."
Kegiatan Alpha terhenti untuk yang kedua kalinya. Melirik Bintang yang sudah sibuk berbincang ria dengan adiknya.
"Apa ini ada hubungannya dengan Winny?!" Alpha bergumam.
***
Hening, sebuah ruangan yang didominasi warna putih keemasan dengan ukuran 4x7 meter itu terlihat seperti kosong tanpa nyawa. Tirai jendela yang sesekali bergoyang sebab hembusan angin, atau detik jarum jam di dinding semakin memperkuat kebisuan yang ada. Padahal, dua nyawa tengah bersemayam di sana.
Bukan sedang tidur ataupun sibuk dengan diri masing-masing tapi, mereka yang kini berdiri saling berhadapan, dua pasang lensa mata yang saling menghunuskan tatapan bermakna mereka.
Chandra dan Winny yang usai bertengkar hebat. Ya, sejauh ini, hari ini adalah pertengkaran terbesar yang pasangan itu alami.
Di bilik kamar apartemen Winny. Sebuah vas bunga dengan keadaan kacau yang pecahannya berserakkan di sana-sini. Menjadi saksi bisu betapa amarah yang Winny keluarkan barusan adalah dari segenap jiwa dan raganya.
"Aku hanya ingin kamu mementingkan kesehatan kamu terlebih dahulu, Winny. Tolong jangan abaikan itu. Kamu tau alasan utama aku meminta kita berkomitmen saat itu?"
"Karena aku ingin menjadi orang pertama yang mengetahui keadaan kamu sedetail mungkin, aku ingin merawat kamu seperti hari esok adalah hari terakhir kita, aku ingin kamu sehat. Aku ingin selalu melihat senyum dan tawamu, aku bersungguh-sungguh dengan itu semua Winny. Tolong ... jangan seperti ini. Aku takut kamu pergi." Lirih sekali.
Chandra tak kuasa menahan tangisnya yang detik itu pecah ketika kekasih hatinya berkata, "Tapi kamu harus ikhlas untuk melepaskanku suatu saat nangi, Chan." Dengan nada tak kalah lirih dari suara prianya.
Winny yang putus asa, hilang arah, dan patah semangat sebab dokter mendiagnosa umurnya tidak akan lebih dari 2 bulan. Dimulai dari bulan yang akan datang dan kini, prianya kembali bersikeras dengan kegigihannya untuk dirinya sementara ia sendiri telah pasrah.
Chandra yang lagi-lagi menawarkan pengobatan sedangkan Winny tengah menghitung mundur umurnya bersama berlalunya hari demi hari.
"Sudah terlambat." Kalimat sendu Winny membuat Chandra berang.
Pria itu lekas maju, mendekati gadisnya dan mencengkram bahu ringkih itu sepenuh tenaga.
"Jangan membuatku seolah-olah aku adalah lelaki b******k, Winny! Tidak sekali tapi, berkali-kali aku mengajakmu untuk melakukan perawatan secara sungguh-sungguh. Sejak dulu! Berapa kali pun aku meminta sebanyak itu juga kamu menolak! Apa yang kamu inginkan Winny?! Apa?!!!" Guncangan Chandra berikan pada bahu yang ia genggam erat. Bersamaan dengan air matanya yang luruh dan perasaan sakit yang memenuhi rongga dadanya hingga dirasa sesak.
"Chan ... hiks ..."
"Berhenti bekerja, aku hanya meminta kamu untuk bekerja dan fokus pada kesehatanmu Winny. Aku mencintaimu begitu besar tolong jangan bersikap seolah hanya aku yang mencintai, hanya aku yang mengharap, hanya aku yang berjuang sendirian. Sementara kamu-"
"Nggak, kamu nggak pernah jatuh cinta sendiri. Kamu gak berharap sendirian, kamu gak lagi berjuang sendirian Chandra. Aku cinta kamu lebih dari yang kamu pikirkan," potong Winny cepat sembari memeluk Chandra erat.
Prianya yang tulus dan amat ia cintai namun takdir seolah enggan mempersatukan.
"Aku ..." tersedak oleh air mata, Winny menormalkan sejenak suaranya "Aku sudah melakukan pengobatan yang kamu mau, Chan. Aku tidak bisa lagi disembuhkan dan itu sudah final. Sel kankerku sudah menyebar hingga ke syaraf otak. Aku tidak bisa lagi mengonsumsi obat-obatan, hanya kemoterapi rutin 2 kali seminggu."
"Berbagai macam pengobatan yang kulakukan hanya membuat tubuhku semakin lemah. Alternatif terbaik hanya dengan menikmati sisa hidup yang singkat ini."
Chandra menggeleng keras, memeluk tubuh kecil wanita yang teramat ia cintai. Sementara lelehan air matanya tak kunjung berhenti.
Sebagaimana derasnya air mengalir yang jatuh dari ketinggian bernama curuk. Sehebat itu pula pria jakung di sana tersedu sembari merangkap seerat mungkin gadis yang ia sayangi.
Kehilangan, Chandra sudah merasakan bagaimana sakitnya kehilangan orang yang teramat ia cintai dalam waktu singkat dan secara keseluruhan. Ayah, bunda, kakak perempuan, kakak ipar, dan dua orang keponakkannya pergi bersamaan.
Kecelakaan pesawat merenggut mereka dalam tragedi yang menyesakkan kala itu. Chandra, yang masih duduk di bangku kuliah semester pertamanya. Berita tersebut hadir ketika dirinya yang hendak menyusul kepulangan keluarganya di bandara sore itu. Setelah jam kuliahnya selesai. Namun, Yang Maha Kuasa berkata lain. Memberinya kejutan yang tak ia sangka-sangka.
Sebuah tragedi yang bertepatan disaat ulang tahunnya yang ke 20.
Yang pada akhirnya acara bernama ulang tahun itu tak lagi pernah Chandra rayakan. Seharusnya setiap tanggal 17 Februari adalah hari yang sangat spesial baginya. Namun, sejak itu semua berubah. Hanya ada mala petaka bukan lagi kebahagiaan. Sebuah mimpi buruk dan kenyataan pahit yang harus ia telan baik dalam keadaan siap ataupun tidak.
Chandra, si periang yang selalu teman-teman dan orang sekelilingnya katakan adalah happy virus. Dan julukan beagles yang ia dapatkan dari mana-mana, nyatanya hanya sebuah ungkapan. Sebuah kata-kata yang merujuk pada arti kesenangan dan bebas itu hanyalah kata. Cover dari seseorang yang terlihat selalu bahagia, selalu murah tersenyum, selalu mudah mencairkan suasana. Tanpa tahu bagaimana sosok Chandra yang sebenarnya.
Dan kisah kelam itu Chanda simpan sebaik mungkin. Pria itu tak mengizinkan seorang pun mengetahui keterpurukkan yang pernah hampir membuatnya menyerah pada hidup. Chandra yang berusaha berdiri dengan merangkak, Chandra yang hebat mengendalikkan peratahanan diri sampai pada suatu hari, Tuhan mengiriminya Winny. Gadis yang dapat mengembalikkan keceriaannya meski hanya sebagian.
Winny, yang tak sesempurna orang-orang lainnya. Dan wanita itu pula yang membuatnya tersenyum lebar untuk pertama kali pasca kejadian mengerikan yang telah menelan habis seluruh kuasa dirinya.
"Bertahan Winny, demi aku. Aku mohon." Selirih irama biola yang sendu. Serapuh dedaunan yang berguguran.
Chandra kerahkan seluruh emosinya dalam bentuk tangisan sembari mendekap kekasihnya.
Sekali lagi, ini kisah mellow.