Bab 44

1038 Kata
Mendengar penjelasan adiknya yang menurutnya cukup tiba-tiba, Alpha tidak banyak bereaksi. Lelaki itu hanya terkekeh sejenak. Aira memang sangat random sekali. Apa yang diharapkan dari wanita cantik lainnya jika hatinya sudah terpatri kuat pada adiknya sendiri. Terdengar kacau tapi apa boleh buat, bukan kehendaknya menyukai perempuan ini namun hatinyalah yang berbicara. Cinta dalam diam, ntah kapan perasaan itu muncul tapi Alpha mulai menyadarinya. Semakin banyak hari dan waktu yang ia habiskan dengan gadis ini membuat rasa suka itu hadir. Awalnya hanya suka, dan Apha meyakini itu. Bahwa sudah seharusnya seorang kakak menyukai adiknya, menyayangi dan menjaganya sepenuh hati. Namun, ketika rasa suka itu terus membuncah setiap kali melihat wajah Aira, bahkan hanya dengan melihat segala sikap dan tindakan gadis itu tanpa harus Aira berbicara saja Alpha sangat bahagia. Dan ketika rasa suka itu berganti haluan menjadi cinta, Alpha menyimpannya seorang diri. Cukup ia dan Tuhanlah yang tahu rasa ini. Aira adalah adiknya, adik kandungnya. Sejak awal tali persaudaraan itu sudah memperingatinya dengan jelas. Di antara mereka, ada benang merah yang tidak bisa diputus apa pun alasannya. Alpha mengusap wajahnya. Mendapati Aira sudah kembali fokus dengan buku di tangannya, ia pun mengelus pipi putih itu perlahan. “Kenapa, Kak?” Aira bertanya. Sepasang obsidian yang selalu membuatnya jatuh semakin dalam. “Tidak ada, sebentar lagi minum obatnya ya. Lalu kamu tidur.” “Iya ...” Dan sebuah kecupan kasih sayang pun Alpha sematkan di pelipis Aira. Ya Tuhan, Alpha tidak kuat jika seperti ini terus. Mencintai Aira begitu meyakitinya. Maka, lelaki bertubuh tinggi itu segera beranjak. Berjalan menjauhi adiknya yang masih asik dengan buku setebal 400-an halaman di sana. Sementara Alpha duduk di sofa, memerhatikan gadis yang dicintainya dalam diam. “Kak,” panggil Aira. Sekali lagi membuat hatinya membuncah. “Hum?” Seketika Alpha salah tingkah. Apa dia ketahuan memandangi adiknya dari tadi? “Kak Chandra sudah bisa ke sini? Aira rindu.” Ah iya, lelaki caplang itu. Alpha menggeleng melunturkan pengharapan di mata sendu Aira. Astaga Alpha ingin melompat ke sana dan memberikan adiknya pelukkan. Namun, otaknya segera mencegah. Bisa hilang kendali dia. “Nanti Kakak hubungi lagi ya. Kak Bintang juga masih mencari kabar tentang Kak Chan. Kalau sudah bisa langsung Kakak seret ke sini nanti orangnya.” Di ujung sana Aira tergelak. “Jangan diseret juga, Kak. Nanti Kak Chand lecet bagaimana?” “Biar saja, asal bukan kamu yang lecet.” Keduanya pun sama-sama tertawa. Episode kali ini manis tapi, tanpa Aira sadari kakaknya malah mengusap sesuatu yang keluar dari sudut mata lelaki itu dengan punggung tangannya secara perlahan. Alpha merasa kisahnya miris sekali. *** Sesuai janji kemarin, siang ini di cafe dekat rumah sakit Chandra duduk di bangku salah satu meja yang sudah dipesannya. Menunggu Bintang yang masih belum kelihatan batang hidungnya. Bug! Tepukkan sarkas melayang di bahu bidangnya. Chandra sontak melihat siapa pelaku pemukulan tersebut. “Apa?! Dasar kurang asem, pergi dan muncul seenaknya saja macam hantu. Pukulan tidak seberapa dari rasa rindu Aira padamu ya, Chan. Kau ini kalau berniat menghilang jangan nanggung-nanggung, begitu muncul lagi bawa oleh-oleh atau apa begitu kek. Dasar pelit!” semprot Bintang panjang kali lebar. Chandra yang mendapat nyinyiran dari sahabatnya itu pun mengusap kasihan pada telingannya. Sura Bintang tidak main-main. Meski di antara Alpha dan dirinya tubuh Bintang yang paling kecil tapi, suara pria ini yang paling nyaring. Oh, RIP telinga Chandra. “Aira merindukanku?” “Ya iyalah, kuhubungi tidak pernah aktif, di chat juga tidak pernah dibalas. Alpha saja sampai jengkel denganmu. Ya ampun Chan kau ini sudah seperti Mas crush, sukanya ilang-ilangan. Apa ya istilahnya zaman sekarang? Oh itu ghosting!” seru Bintang lantang. Ya ampun, Chandra mengelus d**a sabar. “Begini amat punya sahabat. Ceriwisnya bukan main,” gumam Chandra. “Heh burung hantu! Aku dengar ya.” Chandra terkekeh, “Ya sudah aku minta maaf pada kalian.” Ia melihat sekeliling dan tidak menemukan siapa-siapa lagi selai Bintang. “Datang sendiri? Alpha mana?” “Alpha sedang menjaga Aira,” jawab bintang. “Duduk dulu bisa kan, Bi. Jangan bicara sambil berdiri. Sekalian ada hal yang ingin kubicarakan serius kali ini.” Wow! Aura-auranya mulai tidak enak. Demi Spongebob yang berubah marga menjadi Tentacles, belum pernah Bintang melihat sahabat karibnya itu seserius ini. Otomatis Bintang berhenti berkicau, menarik salah satu kursi di depan Chandra dan duduk di sana dengan perasaan was-was. Lelaki bertubuh lebih kecil dari Chandra itu bisa merasakan hawa tidak enak yang terpacar dari paras Chandra. Lelaki itu terlihat murung. “Ada apa, Chand? Kau terlihat tidak baik-baik saja?!” tanya Bintang to the point. Seniman muda itu pun mengangguk, “Seperti yang kau lihat, Bi. Tapi sepertinya aku akan menjelaskannya nanti saja, kita tunggu dia datang biar sekalian,” kata Chandra. “Eh, ada orang lain?” “Iya, seseorang yang berprofesi sama denganmu. Nah itu dia,” seru Chandra melihat seseorang yang berjalan ke arah mereka. Bintang langsung mengernyitkan dahinya. Itu kan ... “Kaindra?” Dokter spesialis bedah toraks kardiovakular itu pun benar-benar berhenti di meja yang diduduki Bintang dan Chandra di sana. “Hai, Chan. Lama tidak bertemu denganmu,” sapa Kaindra sembari keduanya berjabat tangan. Kemudian, ketika tatapan Kai jatuh pada Bintang ia berjengkit kaget. “Bintang?” Tentu saja Kaindra kaget sebab ia tak menyadari keberadaan Bintang sejak tadi. Sementara Chandra tidak terlalu terkejut dengan itu, dia sudah memikirkannya bahwa mungkin saja Bintang dan Kaindra sudah saling mengenal karena mereka sama-sama dokter dan bekerja di rumah sakit yang sama. “Ayo duduk dulu,” ucap Chandra. “Kau tidak pernah mengatakan padaku kalau kau mengenal Chandra?” Kai mengendikkan bahu asal. “Ya, kami kenal melalui temanku yang bernama Vino. Baru-baru ini saja,” katanya. “Kau juga mengenal Vino?” Kai mengangguk, “Kebetulan kami sepupuan.” “Wah ... dunia sempit sekali,” ungkap Bintang. “Ngomong-ngomong, apa pertemuan ini ada sangkut pautnya dengan Winny, Chan?” Kai bertanya. Lelaki bertelinga caplang itu tidak sempat menjawab sebab sudah dipotong oleh Bintang terlebih dahulu. “Kau mengenal Winny juga?” tanyanya sekali lagi pada Kai yang masih terlihat tenang. “Winny teman masa SMP-ku dulu.” Dan Bintang tak bisa menahan pelototannya kali ini. “Benar-benar!” serunya masih mempertahankan delikkan mata sipitnya. Membuat Chandra dan Kaindra tertawa di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN