Hasil pemeriksaan Aira sekali lagi menunjukkan kekhawatiran Alpha semakin besar. Penyebaran kanker semakin galak, pun dengan kondisi jantungnya yang sering berulah namun tak pernah gadis itu sampaikan padanya.
Sebab Aira yang tak pernah mengeluh. Sesekali waktu, jika pun merasa kesakitan Aira selalu mengatakan karena ia lapar atau mulas. Dan kamar mandi selalu menjadi alasannya untuk lari dari sesuatu yang ia tutupi. Aira yang semakin jauh padanya.
“Kak Alpha?!”
Lelaki di sebelah ranjang pasien itu terkesiap kaget. Melirik ke arah Aira yang sedang menatapnya lekat.
“Apa jenis tatapanmu itu Aira?”
“Melamun saja, melamun terus. Kakak terlihat kelelahan.” Suara lembut adiknya menyapa sopan rungunya.
Alpha tidak menjawab, menanggapi hanya dengan anggukan kecilnya. Ia masih kecewa. Terlebih marah, pada dirinya sendiri bukan pada Aira. Sejauh ini, Alpha tidak bisa lagi marah ataupun memarahi adiknya itu. Sudah cukup dulu saja, sekarang jangan lagi.
Dan jangan lupakan fakta bahwa Alpha adalah salah satu dari jajaran para bucin Aira alias b***k cinta. Sebagaimana yang seringkali Bintang katakan.
“Sudah hampir seminggu ini, kenapa Ayah tidak pernah datang menjenguk Aira, Kak?”
Oh, pertanyaan yang terdengar sendu itu membuat Alpha tak sanggup melarikan pandangannya matanya agar tidak menuju pada Aira.
Pemilik vokal indah seindah paras dan hatinya.
Maka, dengan cepat Alpha menatap Aira. Tepat di kedua obsidian sejernih air terjun itu.
Lagi, ia terpesona.
“Mungkin Ayah sedang lelah. Kakak menyarankan pada Ayah agar tidak terlalu sering berkunjung kemari. Kakak hanya tidak mau Ayah terlalu memaksakan kehendaknya.”
Aira mengangguk-angguk kecil.
“Ada apa Aira? Kamu merindukan Ayah?” tanya Alpha.
Gadis cantik jelita yang memegang sebuah buku science fiction di tangannya pun mengangguk. Ia berucap lirih, “Iya, Kak. Aira rindu Ayah.”
Sebenarnya, Alpha juga tidak tahu pasti apakah Ayah memang kelelahan sehingga tidak sempat menjenguk Aira atau ada alasan lain. Tapi, satu hal yang lelaki itu cemaskan. Ayah memiliki asma dan itu bisa kambuh kapan saja jika ayahnya terlalu memforsir tenaganya.
Nanti, saat tengah malam setelah Aira tidur Alpha akan pulang ke rumah mereka sejenak. Ia jadi tidak tenang.
“Kita telepon Ayah saja ya?” Alpha memberikan penawaran.
Tapi Aira sangat rindu. Ia ingin melihat wajah Ayah secara langsung. Atau paling tidak panggilan yang terhubung video call. Selama bisa melihat lagi, Aira menjadi sosok yang tidak pernah puas untuk tidak melihat anggota keluarganya sehari saja. Seolah ia sedang mengganti potret orang-orang tersayangnya ketika ia masih belum bisa melihat.
Dan sangat disayangkan, Ayah Adnan hanya memegang ponsel biasa yang tidak bisa menghubungkan panggilan tatap muka, hanya sebatas pesan teks dan suara.
“Besok pagi Ayah akan berkunjung kesini, Kakak pastikan itu," ucap Alpha.
Aira terkekeh, “Kakak ini, kalau bicara serius sekali seperti sedang bersungguh-sungguh.” Gadis itu tergelak lucu di ranjangnya.
Sementara Alpha mengernyitkan dahi bingung.
Memang kapan ia pernah tidak serius jika itu menyangkut Aira? Kapan pula Alpha tidak bersungguh-sungguh pada ucapannya?
“Kakak serius, Aira. Besok pagi Ayah pasti kemari, menjenguk kamu,” ulang Alpha, ekspresi wajahnya benar-benar serius.
“Bagaimana, kamu senang?”
Agak gimana gitu ya menurut Aira. Tapi tetap saja ia mengangguk.
“Memang Kakak ini peramal apa? Bisa mengetahui kapan orang lain akan pergi atau tinggal?”
“Kakak akan jadi apa saja demi kamu.” Sebuah kejujuran dari lubuk hati Alpha yang paling dalam.
Gadis berpiyama rumah sakit itu hanya diam. Menatap kakaknya yang juga sedang memandangnya begitu dalam. Jenis tatapan yang membuat Aira gentar.
“Ada apa? Kamu berbicara apa tadi?”
Aira bersungut-sungut, “Makanya kalau diajak bicara Kakak jangan melamun terus!” omelnya
“Iya, maaf.”
“Karena yang Kakak lamunkan itu kamu, Ra.”
Ada yang sangat ingin ia tanyakan pada Kak Alpha tapi, Aira ragu. Bagaimana kalau penolakkan lagi yang ia terima? Sebab ini mengenai Kak Sheila.
Kemarin-kemarin saja kakaknya begitu membela perempuan itu.
Ia bingung, jari-jarinya yang saling bertautan Aira remat gelisah. Sesekali melirik pada sosok kakaknya yang masih setia menunggu ia buka suara.
Dan kegelisahan tersebut Alpha sadari.
Alpha tarik kursinya mendekati posisi Aira.
“Ada apa, Ra?”
“Hmm ... begini, Kak.”
“Iya?” Dengan kesabaran penuh Alpha menanti adiknya yanng penuh keraguan.
Ia ambil tangan gadis itu ke dalam genggamannya. Terlihat jelas jejak kemerahan karena rematan Aira cukup kuat hingga buku-buu jarinya pun ikut memutih pucat.
Alpha tiup-tiup lembut jemari itu. Menghadirkan semburat merah jambu ddi kedua pipi Aira. Ia jadi salah tingkah.
“Kak Sheila ...”
“Bilang-tidak-bilang-tidak.” Sedang terjadi pergolakkan batin pada diri Aira.
“Ada apa dengan Sheila, Ra?”
“Aku tidak suka dengannya, Kak. Dia yang mendorongku hingga jatuh waktu itu. Dia juga yang merusak tombol darurat saat aku meminta tolong padanya untuk menekannya. Kak Sheila menyiram tombolnya dengan air. Saat aku kesakitan dan meminta tolong, dia juga tidak menggubrisku sama sekali. Kak Sheila pergi begitu saja.”
Kalimat tersebut, ingin sekali Aira ucapkan dengan jelas. Namun, entah mengapa ia justru tidak bisa. Ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokkannya hingga untuk berucap pun berat.
Dan, perkataan Sheila beberapa waktu lalu yang mengatakannya terlalu menyusahkan. Tidak bisa terus-terusan bergantung pada orang lain.
“Suatu saat nanti Alpha akan hidup dengan wanita pilihannya. Dan lo gak bisa terus berharap sama Alpha. Lo sadar gak sih, kalo lo tuh terlalu merepotkan dia? Elo nyusahin Alpha, Ra. Lo ngebuat pergerakkannya terbatas.”
“Lo egois!”
Dan Aira tidak ingin menjadi seseorang yang egois. Selama ini Kak Alpha sudah banyak membantunya, Kak Alpha juga sudah menyayanginya dengan tulus. Aira bisa merasakan itu.
Ia juga sudah bertekad untuk tidak lagi bergantung pada siapa pun kan? Terutama pada Kak Alpha.
Kakaknya berhak bahagia. Aira tidak boleh lagi mengadukan apa pun, dan pada siapa pun. Termasuk untuk persoalan kali ini.
Jadi, dengan seulas senyum yang ia paksakan. Aira berucap, “Nggak ada kok, Kak. Aira cuma mau bilang Kak Sheila itu cantik ya.”
Dan pada akhirnya Aira pun berbohong.
Biarlah ia saja yang menanggung ini semua. Toh umurnya tidak akan panjang lagi kan?
Begitu pemikiran skeptisnya.
Kemudian Alpha usap puncak kepala Aira dengan sayang. “Ada-ada saja kamu ini.”