“Aduh!”
Seorang bocah terduduk di lantai koridor yang lengang. Tubuh kecilnya hampir limbung kalau saja tidak cepat Alpha tangkap.
Sebuah permen dan beberapa cokelat kotak-kotak berceceran di lantai tersebut. Tak menghiraukan Alpha yang berusaha menggapai lengannya untuk berdiri, bocah lelaki itu fokus pada kegiatannya memunguti cemilannya yang berserakkan.
“Dokter bantu ya?” tawar Alpha.
Ia ikut berjongkok dan melakukan apa yang bocah lelaki lakukan.
“Maaf ya, Dokter tidak sengaja tadi,” ucap Alpha pelan.
“Hu’um. Tapi kaki Dokter besar sekali keras lagi. Kepalaku sampaia benjol begini.” Bocah lelaki itu berkata seolah merengek.
“Eh? Coba sini Dokter lihat.”
Bocah lelaki itu menoleh, menunjukkan wajahnya yang membuat kedua lelaki beda usia itu berjengkit kaget.
“Om yang waktu itu?”
“Kamu Juno?”
Bocah lelaki itu mengangguk.
“Om ini, dokter?”
“Iya, kamu kenapa bisa ada di sini?”
Juno, bocah laki-laki yang waktu itu tak sengaja melemparkan bola ke tangan Aira sampai memerah. Anak lelaki yang dikerjai teman-temannya di cafe siang itu. Masih ingat?
“Wah ... lama tidak bertemu dengan Om. Ternyata Om seorang dokter. Keren sekali!” Menghadirkan kekehan Alpha yang mengudara.
Kekacauan yang terjadi telah beres, makanan ringan berupa cokelat dan permen itu sudah terkumpul dalam sekejab. Kini, dua lelaki beda generasi itu berdiri saling berhadapan. Alpha yang menjulang tinggi dan Juno yang hanya sebatas pinggang Alpha saja.
“Kamu ...”
Dan perhatian Alpha jatuh pada pakaian yang bocah itu kenakan. Seragam pasien yang sama seperti yang Aira pakai.
“Kamu, sakit Juno?”
Wajah menggemaskan itu berubah pias, Juno menunduk. Menatap pada ujung sandalnya yang ia rasa lebih menarik.
“Kata Dokternya, rambut Juno bisa rontok Om dokter,” jawab lelaki cilik tersebut.
Ah iya, kini Alpha melirik pada kupluk yang berada di atas kepalanya. Membungkus rapi diameter kecil di sana.
Rambut rontok, kupluk, dan piyama rumah sakit. Itu kanker, tapi bagaimana mungkin? Seingatnya beberapa bulan lalu saat pertama kali mereka bertemu di cafe waktu itu, Juno terlihat baik-baik saja. Ia bahkan terlihat sangat sehat, lincah sebab masih bermain keluar bebas dengan teman-temannya.
Alpha menunduk, tangan lebarnya ia sampirkan di bahu sempit bocah itu. Memerhatikan secara seksama fisik Juno yang memang terlihat kurang cerah, cenderung pucat.
“Sudah berapa lama kamu di sini?”
“Baru saja, tadi mau kembali ke kamarku setelah membeli jajan di kantin,” jawab anak itu polos.
“Bukan, maksud Om, sudah berapa lama kamu dirawat di sini?”
“Oh itu ... sekitar satu bulan, Om.”
Satu bulan? Menurut perkiraan Alpha, pertemuan mereka waktu itu kurang dari dua bulan. Berarti, Juno sudah sakit sejak awal.
Dan pertemuan yang pertama itu, Juno terlihat sangat menyedihkan. Dijadikan bahan keisengan teman-temannya sampai menangis. Alpha masih ingat jelas bagaimana dulu anak ini meminta maaf sembari bercucuran air mata saat hendak mengambil bolanya.
“Om dokter, bagaimana kabar Kakak cantik?” Lamunan Alpha buyar seketika. Vokal nyaring Juno terdengar.
Kakak cantik, itu adalah Aira. Alpha juga masih ingat jelas bagaimana Juno memanggil adiknnya dengan sebutan Kakak cantik. Katanya, karena kakak ini memang cantik. Bahkan anak kecil pun mengakui itu.
Lelaki dewasa itu tersenyum, jenis senyuman manis yang jarang sekali ia tunjukkan pada siapa pun kecuali Aira.
“Ingin bertemu Kakak cantik?” Penawaran yang menggiurkan.
Obsidian jernih Juno berbinar. Tentu saja, “Iya mau, Om!” lantangnya dengan semangat yang membara.
Alpha terkekeh, seketika ia langsung mengangkat bocah lelaki itu ke dalam gendongannya.
Di lain tempat, Sheila yang datang berkunjung menjenguk Aira pun tengah duduk di kursi dekat pasien.
Oh bukan! Bukan menjenguk tapi, ingin bertemu Alpha, ya sekalian mencari simpati lelaki itu juga sih.
Gadis itu tak berkedip memandangi Aira yang masih tertidur pulas. Seberkas kilatan amarah yang sarat akan kebencian memenuhi netranya.
Lantas ia juga mendapati sebuah ponsel yang terleta di atas nakas. Itu milik Alpha, oke ia datang disaat yang tepat. Sebentar lagi Alpha pasti akan datang.
Sesaat, matanya melirik pada tombol darurat yang telah ia rusak dua hari lalu. Seulas senyum miring pun menghiasi pipinya.
“Aira ... cepat sembuh ya.” Ia berucap sinis, seolah kalimat tersebut merupakan lawan kata dari kalimatnya barusan.
Seringainya masih tertata jelas di sana, pun kalimatnya barusan bukanlah perkataan yang sungguh-sungguh.
Itu ejekkan wahai para manusia. Bentuk ungkapan kebenciannya yang sangat besar. Sheila merasa posisinya terancam dengan gadis ini. Iya, Aira yang sakit namun begitu disayangi oleh Alpha. Aira yang di matanya sangat tidak sempurna namun selalu menjadi prioritas lelaki yang disukainya.
“Apa sih yang dia liat dari perempuan kayak gini?! Ck, dasar ular!” sarkas Sheila.
“Dulu buta, sekarang penyakitan. Emang ya hidup lo itu cuma menjadi beban sama yang lain,” gumam Sheila lagi. Kalimatnya ia ucapkan pelan, serupa bisikkan namun gadis yang tengah berbaring itu masih dapat mendengarnya.
Sejak awal, Aira memang sedang tidak tidur. Ia hanya berbaring setelah selesai membaca buku.
Namun, saat itu ia mendengar derap langkah seseorang dan suara pintu dibuka lalu ditutup lagi.
“Lo lagi lo lagi!” Adalah kalimat pertama yang Sheila gumamkan dengan nada lirih.
Aira semakin mengeratkan pejaman matanya. Mendengarkan semua yang gadis itu bicarakan. Ujaran kebencian sampai pada makian penghinaan.
Seandainya saja Kak Alpha yang mendengarkan kata-kata Kak Sheila barusan, kira-kira apa yang akan terjadi? Apakah kakaknya masih juga membela Kak Sheila?
Batin Aira gamang. Karena, hanya Kak Alpha dan Ayah yang ia punya sekarang. Kalau kakanya saja sudah tak mempercayainya, lantas siapa yang bisa ia jadikan sebagai sandaran? Ayah sudah cukup senja untuk mendengar rengekkannya, sejak kecil hingga sekarang pun ia tidak bisa membanggakan Ayah, dan Aira sangat tahu diri untuk tidak sekedar mengeluh. Sebagai anak Aira ingin sekali saja hidupnya tidak membebani siapa pun.
Namun, apa daya pada dirinya yang memang selemah ini. Kanker getah bening atau limfoma, dokter mendiagnosisnya demikian.
“Sheila?”
Senyum wanita itu berkembang lebar. Sosok yang ia cari-cari sejak tadi kini berada di hadapannya. Tersenyum lebar seolah senang melihat kehadirannya.
Pria pertama yang membuatnya menjadi seseorang yang nekat. Alpha, yang sungguh-sungguh ia cinta dengan segala obsesinya.
“Hai Alpha, eh siapa ini?”