Bab 47

1241 Kata
"Kakak cantik?" Juno berujar pelan, melihat Aira di atas brankar masih dalam keadaan terpejam. Dan pertanyaan Sheila yang bocah laki-laki itu abaikan begitu saja. Alpha menurunkan Juno dari gendongannya sebab anak lelaki itu tampak gusar di tubuhnya. Seketika ia berlari melewati sosok Sheila, lagi-lagi tak menghiraukan eksistensi wanita itu di sana. Sebab tubuhnya yang kecil, sementara tempat tidur pasien lumayan tinggi, Juno memanjat kursi kosong agar dapat meraih Aira. Alpha yang melihat hal tersebut sontak saja mendekat. "Juno, hati-hati awas jatuh." Lelaki itu memperingati. "Om dokter, Kakak cantiknya tidur." Seolah mengadu, bocah itu tunjukkan raut mencebiknya. "Iya, Juno. Nanti kita main sama Kakak cantik kalau Kakak cantik sudah bangun ya?" "Uhum, baiklah." Juno mengangguk. Sedangkan di ranjang pasien, Aira yang masih berpura-pura tidur tengah berpikir keras. "Kakak cantik?" Siapa gerangan yang memanggilnya demikian? Lalu memanggil kakaknya pun dengan sebutan Om. Suaranya suara anak kecil laki-laki. Ya ampun Aira jadi menyesal pura-pura terlelap. Niat hati kan karena ingin menghindari Kak Sheila dan mendengarkan apa yang akan wanita itu lakukan padanya. Sekarang, dia jadi ingin membuka mata dan melihat siapa yang kakaknya bawa. "Dia siapa, Al?" Suara Sheila kembali terdengar. Baik Juno maupun Alpha, keduanya berpaling pada gerangan. Juno yang pertama kali memutus kontak matanya. Dia tidak tertarik. Lantas kembali memandangi Aira di atas brankar. "Oh, ini Juno. Juno, kenalan dulu sama Kakak ini." Sheila ulurkan tangan rampingnya, mencoba mengajak si kecil bersalaman tapi, "Aku Juno," jawabnya tanpa menoleh. Apalagi menanggapi uluran tangan tersebut. Kalimat itu pun begitu singkat, tidak ada basa-basinya sama sekali. Pun senyum yang segaris saja mentereng di sana. Tidak, tidak ada. Yang membuat Alpha kikuk seketika. Melirik pada eksistensi Sheila sejenak. Dan menampilkan senyuman canggung. Duh, dia jadi tidak enak. Kenapa Juno terlihat sejutek itu ya pada Sheila? Batin Alpha bertanya-tanya. "Nama kamu bagus, Kakak Sheila." "Hum, iya Tante Sheila." Kok tante?! Fix! Ini bocah buat moodnya down saja. Minta ditampol tapi masih kecil. Belagu sekali lagi gayanya. Kalau orang dewasa sudah Sheila pastikan keriting itu mimik wajah sebentar lagi. "Om dokter, kapan Kakak cantik bangun?" "Nanti ya, kalau sudah puas tidur Kakak cantik pasti bangun," jawab Alpha. "Juno rindu ..." Begitu saja, bocah laki-laki tersebut merangsek maju memeluk Aira yang tetap pada kegiatannya berpura-pura tidur. "Oh Juno. Anak laki-laki di cafe waktu itu kan?" "Kalian terlihat akrab dengannya. Juno siapa, Al?" Dengan senyum tampannya sebab melihat interaksi Juno kepada adiknya, Alpha menjawab, "Ceritanya panjang. Aira dan Juno tidak sedekat ini awalnya. Tapi Juno, sikap anak kecil memang tidak bisa ditebak." Seulas senyum haru berselimut kasih terpancar dari kedua obsidian Alpha. Yang demi Tuhan, Sheila geram melihat tatapan itu. Jenis tatapan yang sarat akan kasih sayang yang besar, seperti Alpha sangat memuja Aira. Seperti lelaki yang memandang kekasihnya. Di bawah sana, sebelah tangan Sheila mengepal kuat. "Begitu ya, hehe ..." Wanita dewasa itu sedang bersandiwara. Terkekeh seolah permbicaraan mereka adalah hal yang menyenangkan. Padahal, dalam dirinya ia tidak suka. Mengapa hanya Aira yang selalu menjadi alasan Alpha sumringah seperti ini? Bagaimana dengannya? Sikap Alpha memang cenderung pendiam tapi, jika berdekatan dengan Aira Sheila bisa merasakan perubahan besar itu. Alpha yang dingin dan kalem hanya ketika bersama dengannya ataupun orang lain. Alpha selalu meminimalisir sifat tertutupnya apabila berhubungan dengan Aira. Tapi kenapa dengannya tidak bisa seperti itu juga? Huh! Semua ini karena Aira! Kepalan yang semula hanya satu tangan itu, kini mengepal keduanya. Lihat saja, Sheila akan balas perbuatan Aira! Ia merasa Alpha didominasi oleh gadis itu dan Sheila tidak terima. "Hum, Al. Sepertinya aku ada temu klien sebentar lagi. Aku permisi dulu ya," ucap Sheila. Lelaki dewasa itu mengangguk. "Terima kasih sudah mengunjungi Aira. Hati-hati di jalan." Lihat? Alpha selalu seperti ini padanya. Sopan, namun terkesan formal. Bisakah Alpha tidak seperti ini jika bersamanya? Meskipun ramah tapi, lelaki itu seolah membangun benteng di antara mereka. Dinding pembatas tak kasat mata yang menyebalkan. Jarak seperti orang asing. Sialan! "Uhum, aku kirim salam dengan Aira ya, Al." "Akan kusampaikan." Lantas, perhatian Sheila jatuh pada sosok bocah lelaki yang sejak tadi acuh tak acuh terhadapnya. Anak laki-laki kecil yang Alpha kenalkan bernama Juno, dan masih hinggap di sebelah Aira. Menempeli gadis itu yang terus terlelap. "Juno, Kakak pergi dulu ya?" "Iya Tante," jawab si kecil. Dalam hati Sheila menggeram, "Ck, kok Tante sih." Tak sampai lima menit setelah kepergian Sheila, Aira memutuskan untuk mengakhiri acara pura-pura tidurnya. Sengaja mengatur timing yang tepat agar tidak terkesan gegabah. Perlahan, matanya menggelepar terbuka. Suara ricuh Juno yang pertama kali terdengar. "Om dokter, Kakak cantik sudah bangun!" ucapnya semangat sekali. Alpha yang maaih sibuk dengan beberapa dokumen di atas nakas pun mendekat. "Aira ..." Sosok cantik yang teramat lembut itu pin menatapnya. Mereka beradu obsidian, segelap senja secerah sinar rembulan. Ada hati yang membuncah. Milik Alpha seorang. Perasaannya semakin kuat, terpatri dalam syahduhnya jenis tatapan Aira kepadanya. Paras naif dengan kulit putih pucat, dan kerjapan disetiap kelopak indah itu menyebabkan bulu mata lentik empunya sangat spesial. Ya, semabukkan itu pesona Aira baginya. Alpha yang semakin hari perasaannya semakin dalam. "Om dokter, Juno juga mau peluk Kakak cantik." Suara merajuk bocah lelaki itu memasuki rungunya. Alpha sampai lupa kapan ia mendekat dan sudah memeluk Aira. "Aku hanya tidur, Kak Alpha. Ada apa sih?" Sebab Alpha masih mempertahankan posisinya. "Kakak rindu kamu." Meski kalau diterjemahkan sesungguhnya berarti, 'Aku mencintaimu.' Tapi Alpha masih waras. Dalam dekapnya, bisa Alpha rasakan debaran jantungnya yang menggila. Bunyinya lebih kencang dari sebelumnya. Astaga! Bisa gilaa dirinya kalau seperti ini terus. Maka, demi keamanan jantungnya Alpha memberi jarak. Melepaskan dekapannya pada Aira meski tidak rela. "Juno?" "Kakak cantik, apa kabar?" Dan bocah lelaki itu pun merangsek maju memeluk Aira. "Jadi benar-benar kamu ya? Kakak baik." Aira merespon. Melepaskan diri dari kungkungan Aira, Juno menyeletuk, "Kakak tidak menepati janji!" Eh! "Ada apa?" "Waktu pertemuan kita waktu itu kan, aku berpesan agar kita bertemu lagi di sana minggu depan. Tapi Kakak tidak datang," sinisnya. Bibir anak laki-laki itu manyun ke depan beberapa centi. Ah itu ... Aira ingat sekarang. "Maaf ya Juno, Kakak lupa," sesal Aira. Terlepas dari lupa atau tidaknya, banyak hal-hal lain yang sangat tak terduga juga kan selama itu? Jangankan mengingat janji si kecil yang Aira anggap hanya racauan anak berusia 5-6 tahun. Mengingat tentang pertemuannya dengan Juno saja Aira tidak. Terlalu banyak pikiran yang menyesakkan dadanya. "Kamu beneran datang minggu berikutnya?" Juno menganggukkan kepala. "Iya, aku menunggu Kakak cantik atau Om dokter yang akan datang. Tapi, sampai siang pun kalian tidak muncul juga." Raut sedih tergambar jelas di paras polos Juno. Aira merasa bersalah. "Juno ... maaf ya. Kakak benar-benar tidak ingat waktu itu." "Iya, gak papa kok Kakak cantik. Sekarang kan kita masih bisa bertemu di sini." Nah itu dia! "Kenapa kamu ..." Piama rumah sakit yang sama dengannya, Aira sudah ingin menanyakan itu sejak tadi ia terbangun dan melihat eksistensi Juno. "-memakai pakaian yang sama dengan Kakak?" tanya Aira. "Juno sakit, Kak. Dan harus dirawat di sini." Sakit? "Kamu sakit apa?" Juno menggeleng. "Tapi, kata Mama sejenis penyakit yang bisa menggugurkan rambut. Makanya Juno selalu disuruh memakai ini. Agar rambutnya tidak berserakkan di mana-mana kalau rontok." Kupluk kecil yang bertengger diatas kepalanya pun bocah itu tunjuk. Alpha yang sejak tadi mendengarkan, terpaku untuk sesaat. Rambut rontok? Itu kanker. Apa Juno juga ... "Iya! Juno tinggal disini sudah hampir 1 bulan," jawabnya atas pertanyaan Aira. "Makanya Juno mengajak Kakak cantik bertemu hari itu, karena Juno pikir kita tidak akan bertemu lagi. Tapi ternyata, kita masih bisa bertemu di sini." Satu hal yang membuat Aira menyendu. Anak kecil ini, juga sama sepertinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN