Terapi radionuklir pertama, berjalan lancar. Bahkan sangat. Dokter Tae Young juga mengatakan banyak
perkembangan pesat mengenai sel kanker Aira yang melambat. Pun dengan beberapa penyakitnya yang
lain. Baik jantung yang lemah bawaan lahir, kini mulai bisa berdetak dengan normal tanpa tingkat
kambuh yang sering.
Satu ginjal yang bermasalah karena transplantasi terlalu dini dulu, sudah tidak terlalu membuat pemilik
tubuhnya sakit. Tapi, tetap pengangkatan salah satu ginjal masih direncanakan.
Di luar itu juga, psikis dan mental Aira menjadi hal pokok yang Alpha dan lainnya pikirkan. Terutama
Ayah, beberapa kali pria parubaya itu mengatakan pada putra sulungnya untuk menjaga Aira sebaik
mungkin.
Ntah karena masih ragu atau karena tidak ingin kejadian masa lalu terulang. Pokoknya Ayah sekarang
menjadi garda utama yang begitu mewanti-wanti hal tersebut.
“Kak Alpha ...”
“Aira!”
Suara lemah yang memanggil namanya itu membuat Alpha mendongak, atensinya yang sejak tadi fokus
membaca riwayat penyakit sang adik pun kini, beralih menatap kedua obsidian sebening air pegunungan
yang baru terbuka itu.
“Hey, apa yang kamu rasain, Ra? Apa kamu merasa sakit?” Ia borong pertanyaan bertubi pada sosoknya
yang tersenyum lembut.
Dan membuat Alpha detik itu ingin memusnahkan dirinya. Ya Tuhan, bibir ranum merah muda itu
mengalihkan perhatiannya. Paras bangun tidur yang luar bisa Alpha puja. Apa Tuhan sedang dalam
keadaan teramat bahagia saat menciptakan Aira? Sehingga gadis ini bisa menjadi Airanya yang sangat
menawan.
Tanpa polesan make up sedikit pun, Airanya sangat cantik jelita.
“Kenapa tersenyum? Kamu baik-baik aja kan, Ra? Jangan buat Kakak khawatir tolong.”
Kali ini gadis di atas brankar tersebut menyemburkan tawanya.
“Kakak lucu sekali, ya ampun manisnya,” ucap Aira sembari tersenyum menawan.
“Apanya yang lucu, Ra?”
“Kakak, aku bilang kan Kakak.” Lagi-lagi gadis itu terkekeh.
Sebuah kecupan selamat pagi mendarat di dahi mulus Aira, pelakunya tentu saja pria bertubuh ganjang
setinggi tiang bendera tersebut.
Hal yang sangat tiba-tiba sampai Aira membelalakkan matanya terkejut. Tapi juga tersenyum setelahnya,
merasakan sesuatu dalam dirinya berdesir hangat.
Ketahuilah Alpha teramat gemas bukan main. “Kamu menggemaskan sekali,” ucap Alpha setelah
melaksanakan adegan cup cup bidanya.
“Cantik banget sih.”
“Iya dong, siapa dulu.”
“Adiknya Kak Alpha,” sambung Alpha sembari mengelus puncak kepala Aira dengan sayang.
Lantas keduanya tertawa satu sama lain.
“Terapinya berjalan lancar, Ra. Terima kasih,” vokal Alpha mengalun lembut.
Lelaki itu membantu adiknya bangun, duduk bersandar di kelapa ranjang dengan menumpuk bantal
terlebih dahulu.
“Kenapa Kakak berterima kasih pada Aira, Kak? Kan dokter Tae Young yang menjalankan terapinya,
seharusnya Kakak berterima kasih pada Dokter Tae,” jawab Aira kepalang polos.
Lelaki yang terlihat lebih segar dengan rambut model hair up-nya itu terkekeh gemas. Diusapnya
perlahan pipi yang tampak kemerahan milik Aira.
“Terima kasih karena kamu juga berusaha untuk sembuh. Semangat kamu buat sembuh yang tinggi,
makasih ya.”
Karena Kaindra sudah menceritakannya. Menceritakan tentang perjuangan Aira setelah pria itu
ceramahi selama beberapa saat, ya ... walaupun menggunakan sedikit ancaman.
“Aira mau sembuh karena Kakak, karena Aira ingin hidup lebih lama dengan Kakak. Jadi Aira tidak boleh
berhenti berusaha kan. Kakak saja memperjuangkan Aira sampai seperti ini,” ocehnya.
“Karena Kakak?”
“Uhum, karena Ayah juga. Karena Aira punya dua malaikat yang sangat Aira sayangi dan belum saatnya
untuk Aira meninggalkan orang-orang tersayang ini.” Kedua obsidian yang berbinar menatap tepat ke manik pekat Alpha.
Kakaknya yang bergeming tanpa sepatah kata pun namun, jelas sekali kebahagiaan Alpha yang
terpancarkan dari arti tatapannya memandang sosok adiknya.
Oh ... Aira.
Bisakah tali persaudaraan ini putus dengan sendirinya dan kita menjadi orang asing tanpa
harus menyandang gelar kakak beradik.
Selain pelukkan yang hangat dan lembut, Alpha juga tempelkan bibirnya pada pelipis Aira.
Sebesar ini rasa yang sudah bersemayam dalam hatinya terhadap sosok Aira lantas, bagaimana diri
hendak memilih mundur jika benang merah sudah tertaut seerat ini.
Tidak bisa!
“I love you.”
Jangan tanya siapa yang mengatakannya, tentu saja Alpha Riandra yang sudah melabuhkan begitu
banyak rasa sukanya terhadap Aira.
Dan senyuman indah semenawan kuncup mawar putih baru mekar itu pun Aira sajikan sebagai jawaban
penuturan kasih sayag kakaknya terhadap dirinya.
“Jadwal terpai kamu minggu depan lagi, sambil menungg hari itu datang kamu cukup bebas berkeliaran
seantero rumah sakit ini. Dan tentunya masih dalam jangkauan dan pengawasan Kakak serta dokter
lainnya.”
“Iya, Kak Alpha.”
“Jangan sungkan bertanya dan meminta pertolongan apa pun pada Kakak ya, Ra.”
“Iya.”
“Selalu pastikan kamu nyaman, kalau ada yang kamu rasa tidak enak katakan pada Kakak.”
“Hu’um.”
Alpha menghela napas sesaat. “Jangan cuma iya-iya aja, hu’um-hu’um aja. Kamu harus janji lho, Ra,”
protes lelaki berparas bak dewa Yunani itu.
“Iya ... Kak Alpha, Aira paham kok. Semua-semuanya akann Aira bilang ke Kakak.”
“Oke, gitu dong.” Lantas kemesraan sepasang kakak beradik tersebut berakhir dengan usapan telapak
tangan lebar milik Alpha di puncak kepala adiknya.
Dan tanpa mereka ketahui pula, di depan pintu ruangan rawat Aira seorang gadis sedang mencuri
dengar dan lihat pembicaraan keduanya. Wanita yang kini mengepalkan kedua tangannya sembari
mengeram kesal.
Sheila juga mendengar dengan jelas bagaimana kalimat “I love you” itu begitu lancar dan lugasnya
keluar dari bibir indah Alpha.
Bahkan pelukkan yang sudah sering ia lihat, namun kali ini Sheila bisa merasakan terlalu banyak
perasaan yang Alpha curahkan melalui dekapan tersebut. Pengakuan aku cinta kamu yang begitu nyata,
seolah Aira adalah gadisnya dan Alpha seorang pria yang mengungkapkan perasaan sepenuh hati.
“Awas aja lo, Aira,” gumam Sheila dengan nada sepelan mungkin. Bahkan keseluruhan gigi-giginya
menggegat tidak terima saat berucap.
Kemudian, ia keluarkan ponsel pintarnya dari dalam tas selempang yang ia lingkarkan di badannya.
Mendial-up nomor dengan nama kontak Loren.
Dalam nada sambung pertama, panggilan langsung disahuti dengan seseorang di seberang sana.
“Halo, kenapa, Sheil?”
“Gue mau ketemu sekarang, gue kirim alamatnya. Kerja sama kita harus dilaksanakan secepatnya.”
“Oke, sekalian share loc. ya.”
Klik!
Panggilan berakhir dengan cepat. Sheila yang pertama kali memutus sambungan nirkabel tersebut.
Dengan kedua tangan yang saling meremat jengkel dan amarah yang membumbung tinggi, wanita yang
hari ini berbalut dress merah muda dengan aksen bunga aster di salah satu sudut pundaknya itu pun
melangkah menjauh dari ruangan rawat Aira.
Bertemakan wajah merah dan kesal bukan main, pun cemburu yang menguasai dirinya.