Bab 24

1664 Kata
"Serangan jantung! CEPAT!" Teriakan Kai menggema di ruang operasi. "Bagas, pastikan oksigen cukup! Alpha, tambah dosis enoxaparin dan berikan nitrogliserin!" titah Julio. Untuk sesaat tiba - tiba saja kepalaku pening bukan main. Seluruh tubuhku mati rasa, kakiku bahkan terasa sangat kaku untuk digerakkan. Hingga, yang dapat ku lakukan hanya terdiam di tempat. "ALPHA?!!" "APA YANG KAU LAKUKAN ALPHA?! CEPAT! KITA TIDAK PUNYA BANYAK WAKTU-" Lantas, kedua telingaku kehilangan fungsi sebab muncul dengingan yang sangat melengking. Tatapanku kabur namun, masih cukup jelas melihat ekspresi keras Julio, Bintang, dan rekan - rekan kerjaku yang lain. Lia, Dessy, dan si kembar Bagas dan Bagus pun bahkan terlihat panik. Kedua tanganku terkepal erat. Tolong, jangan sekarang. Mendapati Aira dalam kondisi kritis, justru traumaku hadir di saat yang tidak tepat. Kedua kepalanku di bawah sana bergetar hebat. Kepalaku pun rasanya sakit sekali. Namun, yang kupikirkan hanya Aira. Sejak awal, keselamatan Aira. "Sadar Alpha!!!" "Ha?" Terkesiap. Bagus menghantam perutku dengan tinjunya yang tidak main - main. Dibandingkan dengan pukulannya, rasa takut ini lebih mendominasi. Ya, aku takut. Takut kembali kehilangan. "Dokter Julio, denyut jantung pasien melemah," teriak Dessy dari ujung sana. "Ck, siapkan defibrilator!" Tidak, jangan! "AIRA AKAN MATI s****n! SADARLAH!" Tiga pukulan bertubi - tubi datang dari Julio sebelum ia berteriak sarkas di depan wajahku. Akibat pukulannya yang ganas, tubuhku terlempar beberapa meter di lantai. Aku jatuh tepat di depan layar high resolution display berukuran 7 inchi yang menampilkan heart rate Aira. Satu garis lurus, dengan bunyi 'tit' yang panjang. "AIRA!!!" Aku segera berdiri dengan cepat. Menarik defribilator yang telah Dessy siapkan. "Ya Tuhan." Bintang meracau panik. "200 Joule!!" teriakku hebat. Setelah sepasang alat serupa setrikaan itu berada dalam genggamanku dan sudah terdapat gel elektrolit di atasnya. "Ready!" "SHOCK!" "Sekali lagi, 250 Joule!" "Ready!" "Shock!" "Masih melemah, Dok." "350 Joule!!" "Ready!" "ALPHA! TIDAK ADA HARAPAN!!" Julio berteriak. "Diam kau, TUTUP MULUTMU s****n!!" Tidak, jangan! Aku mohon bertahanlah Aira, bertahan. Derasnya keringat yang mengalir hingga menyapu mataku tak lagi menjadi penghalang. Bahkan aku bisa merasakan basah di seluruh pakaian yang ku kenakan. Namun, mataku tetap fokus pada sosok Aira yang tergeletak tak sadarkan diri. "Tenang Alpha. Lakukan dengan benar." Suara Kai di atas sana menghipnotisku. Benar, Aira akan baik - baik saja. "400 Joule." "Ready." "Everybody clear?!" "Clear!!" "SHOCK!" Aku mohon, bertahanlah. Kembalilah, demi diriku. Demi Ayah, demi dirimu sendiri, kembalilah! "Bertahan Aira, bertahan! Tolong bernapaslah. Kamu janji tidak akan meninggalkanku kan? Bertahan Aira. Tolong." Detik berubah menit, perjalanan sekon dalam sekejap menjadi saat - saat sulit bagiku menghirup dan menghembuskan napas. Sesuatu seperti mencekikku secara telak. Dua menit berlalu. Inikah takdir kami pada akhirnya? Monitor menunjukkan gelombang heart rate yang stabil. Dessy cekatan memeriksa tekanan darah, sementara Bagas siaga di dekat tabung oksigen. Lia memastikan denyut jantung dan ginjal bekerja dengan baik. Hening, helaan napas lega semua orang yang berada di dalam ruangan itu berhembus berlomba - lomba. Termasuk diriku. "Aira kembali," lirih Lia. Bening kristal akhirnya jatuh membasahi pipiku. Demi Tuhan, begini cara takdir memberiku hukuman? "Dokter Alpha, Anda hebat!" ucap Dessy. Julio, Bintang, Lia, dan si kembar pun mengangguk setuju. "Good job, Alpha. Selesaikan operasi kalian. Dua puluh menit sebelum matahari terbit pastikan sudah selesai." Suara Kai kembali terdengar. Julio mengangkat sebelah ibu jarinya, ia angsurkan ke arah Kai dan Prof. Fany yang tersenyum cerah menatap kami. Semua orang kembali melakukan tanggung jawab mereka masing -masing. Julio menyelesaikan kornea donor tepat di permukaan kornea pasien yang sudah dilakukan evakuasi, dan memberikan zat viskoelastis di area pupil untuk menyokong kornea donor dan mencegah kerusakan endotel. Sembari melanjutkan, Julio beberapa kali mencuri pandang padaku. Jika aku menoleh, ia segera memutuskan kontak. Dari jenis tatapannya, ia menyesal. Mungkin karena telah menghajarku sampai tiga kali berturut - turut. Namun, bagiku itu bukanlah masalah serius. Bahkan aku berpikir, jika dia tidak meninjuku mungkin aku akan tetap berdiri dengan bodoh sembari menatap kepergian Aira. Terima kasih Julio. Dan aku berhak mengucapkan kalimat itu kepadanya. *** "Sama - sama, bagaimana jika dia kupinjam lebih lama lagi?" Prof. Fany berbicara dengan seseorang di seberang ponselnya yang ia tempelkan di telinganya. "Iya, jadi bagaimana?" "..." "Baiklah, thanks a lot, Chon." Klik! Prof. Fany menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku. Lantas, tatapannya lurus menghadapku. "Kamu tahu apa yang kamu lakukan tadi itu sangat berbahaya, Alpha?" Aku mengangguk dengan wajah tertunduk. Aku ini payah, jadi tidak seharusnya berbicara dengan seorang profesor secara percaya diri. Terlebih lagi, aku sudah berbuat kesalahan fatal di ruang operasi. Aku hampir membunuh Aira, lagi. Operasi berjalan selama hampir empat jam. Aira telah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Dan Prof. Fany menahanku ketika aku hendak keluar. Di ruang pengawasan yang sempat Kai tempati untuk memantau operasi, di sinilah aku sekarang. Atas kehendak Prof. Fany. "Tindakanmu tadi telah benar, Alpha. Kamu hebat. Tapi ..." Aku tahu ini bukan saatnya untuk memujiku. Lagi pula aku tidak mengharapkan sebuah pujian. "Jika terlambat dua detik saja, mungkin Aira tidak akan tertolong. Itu yang Kaindra katakan saat menyaksikan kekonyolanmu tadi," sambung Prof. Fany. Dan aku masih bisa menyaksikan Aira yang terbaring tenang dengan sebuah monitor kecil yang menunjukkan detak jantungnya secara normal di ranjang pasien adalah sebuah nikmat besar yang ku terima. Tuhan lagi - lagi masih sudi membantuku, mengasihaniku. "Satu persatu, kamu akan sehat kembali Aira. Maka dari itu kuatlah, bertahan. Hum?" gumamku sembari menggenggam tangannya yang bebas tanpa dihinggapi jarum infus. "Tepati janji kamu, yang tidak akan pernah meninggalkan Kakak sendirian. Ya?" Parau, aku tak kuasa menahan resah dan gelisah yang menguasai. Jiwaku runtuh mendapatinya nyaris meninggal di meja operasi. Ini yang ketiga kalinya bagiku melihat orang yang kusayangi berjuang di meja operasi. Dan kedua kalinya pula Aira melaksanakan operasi dengan harapan hidup yang mengerikan. Dulu, saat lahir dan Aira bayi melakukan transplantasi ginjal. Dokter bilang tingkat keselamatan sangat rendah. Jika pun selamat, Aira didiagnosis tidak akan hidup panjang, (lebih dari sepuluh tahun). Bahkan jika keajaiban datang dan Aira mampu bertahan, ia akan menjadi seorang makhluk hidup yang pesakitan. Namun, Ayah memutuskan agar transplantasi itu tetap terjadi. Yang kukira dahulu, bahwa Ayah sangat pilih kasih terhadap Arina karena lebih menyayangi Aira. Nyatanya, aku salah. Keputusan Ayah yang terbaik. Bahkan masih teringat jelas di kepalaku Ayah yang berucap penuh ketegasan kepada para dokter agar Aira segera melakukan operasi transplantasi ginjal tetsebut. "Tolong, aku mohon lakukan operasi itu segera. Bagaimana pun hasilnya nanti, semua sudah takdir Yang Maha Kuasa. Kalian hanya perlu berusaha semaksimal mungkin. Dan aku akan berdoa sebanyak - banyaknya. Selamatkan putriku. Tuhan telah mengambil kembarannya, Dok. Aku mohon. Kali ini tolong selamatkan putriku." Berkat Ayah, aku masih dapat melihat Aira tumbuh besar seperti sekarang. Berkat Ayah juga, Tuhan menggembleng ketololan-ku dengan cara menyadarkan. Membuka kedua mata lebar - lebar bahwa, Aira bukan seseorang yang patut kubenci. Aira tidak bersalah sedikit pun, sama sekali. "Bangun, Sayang. Kakak selalu di sini menjagamu." Usapanku beralih pada puncak kepalanya. Aku beranjak, menanam satu kecupan di dahi putihnya, lama. Kedua matanya terbalut perban putih. Menyembunyikan kelopak merah muda yang selalu menjadi favoritku. Kerjapan lembut yang menawan, cahaya redup berselimut binar indah di kedua netranya. Semua pada dirinya, aku menyukai itu. "Kamu akan segera melihat nanti. Jadi, tolong lah bangun dan sehat. Agar dokter dapat membuka perban kamu sesegera mungkin." Karena, dunia terlalu indah untuk kamu lewatkan Aira. Selama hampir delapan tahun hidup dalam kegelapan, sekarang saatnya kamu tersenyum ketika melihat pantulan wajahmu di depan cermin. Ya, itu menjadi impian kecilku dari dua tahun terakhir. Pulang bekerja, melihat senyum cerahnya bergembang ketika ia mematut diri depan cermin. Dan aku akan memeluknya erat dari belakang. Menciumi puncak kepalanya yang selalu harum aroma kesukaanku. Membayangkan hal tersebut, membuatku kembali merasa senang luar biasa. Dengan sendirinya, kedua sudut bibir pun berjungkit sederhana. "Wujudkan impian kecil Kakak yang tidak terlalu penting ini ya, Ra. Aku mohon," senduku. Lantas membungkuk, sekali lagi, memberi sebuah kecupan lama di dahi dan pucuk hidungnya. *** When Aira 11 years old~ Sore itu, di halaman belakang rumah. Gubrak! "Aduh!" Tap tap tap "Aira, ada apa? Astaga!" Aku berlari dengan cepat menujunya. Di sana, di ujung halaman di bawah pohon jambu biji, Aira berbaring terlentang di tanah dengan dahi berubah warna menjadi merah merekah. "Ya Tuhan, apa yang terjadi denganmu Aira?" "Hiks, hiks ... sakith." Aira kecil menangis tersedu. Sedih sekali. Aku segera mengangkatnya, membawa tubuh ringkih itu dalam gendonganku dan ku dekap erat sedemikian rupa. Dahi pucatnya yang berwarna merah kuusap perlahan dan kutiup - tiup beberapa kali. Lantas, mengecupnya guna meredakan rasa sakit. "Apa yang terjadi denganmu Aira? Kenapa bisa seperti ini?" tanyaku setelah tangisnya mulai reda dan ia menyandarkan kepalanya di bahuku sementara wajahnya ia sembunyikan di ceruk leherku. Kedua tangannya turut melingkar erat di sana. Aira tidak suka gendong belakang maka, aku dan Ayah selalu menggendongnya di depan. "Kecelakaan, Kak. Aira nabrak cabang pohon. Pasti kayunya besar sekali sampai kepala Aira benjol begini," jawabnya serupa cicitan anak tikus terjepit. "Maafkan Kakak." Karenaku kau kehilangan penglihatanmu. Pasti berat jika itu terjadi secara tiba - tiba pada kedua mata sehat sebelumnya. Di leherku, ia menggeleng. "Kenapa Kakak yang meminta maaf?" Karena ini kesalahanku Aira. "Maaf, seharusnya Kakak menjagamu di sini. Tapi, Kakak malah sibuk dengan tugas kuliah," jawabku pada akhirnya. "Tidak masalah, Kak Alpha." Suaranya semakin rendah. Ia telah terkulai lemah di bahuku. Beberapa kali aku mendapatinya menguap. Usapanku pada punggung kecilnya pun semakin melembut. "Ssttt, tidurlah. Kamu mengantuk," ucapku. "Hmm, setelah terjedug sekarang aku mengantuk." Jawaban macam apa itu. Apa itu terjedug? Hahaha. Aku tertawa melihat kepolosannya. "Tidurlah, princess kecil berharga." Tidak ada sahutan. Sepertinya Aira sudah benar - benar menjelajah ke alam mimpi. Sekali lagi kukecup pelipis dan pipi putih kemerahan miliknya beberapa kali. Gadis kecil ini, sangat istimewa bagiku. Lantas, kubawa ia ke dalam kamarnya dan kuletakkan di atas tempat tidur hati - hati. Ia sempat menggeliat kecil namun, masih nyenyak dalam lelapnya sehingga tidak membuka mata seinchi pun. Dahi pucatnya yang merah, terdapat satu benjolan besar di sana. Kuusapi perlahan dan kucium seluruh permukaan wajahnya dengam lembut secara bergantian. Kecuali bibir. Semua mendapat bekas kecupanku di sana. Dan tanpa kusadari, dimulai hari itu adalah saat di mana aku mulai menaruh hati padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN