11. The Pain

1900 Kata
Kedua alat test pack yang dicobanya akhirnya memberikan hasil. Setelah menunggu selama lima menit pertama yang terasa seperti puluhan tahun, keduanya hanya tercetak satu garis tapi belum jelas. Elena putuskan untuk menunggu hingga tujuh menit lamanya, akhirnya garis itu tercetak juga. Jumlah garis itu : SATU! Ya, tetap satu garis. Bukan dua garis layaknya seorang perempuan yang positif hamil. Elena menangis, dia buang sembarang arah dua benda pipih itu penuh emosi. Berarti, apa yang dikatakan Zack dan perawat hanyalah kebohongan semata. Mereka bilang aku harus berhati-hati dengan kandunganku ini setelah dua kali sebelumnya keguguran. Kenapa? Kenapa Zack tega bohong padaku? Dia keluar kamar mandi dengan membanting pintu. Sungguh, hatinya hancur, remuk berkeping-keping hanya dengan melihat satu garis yang tercetak. Tapi, dunia belum berakhir. Siapa tahu kedua alat test pack itu salah kan? Harap cemas Elena. Bukankah lebih menyakinkan USG? Kalau begitu, aku akan atur jadwal konsultasi dengan dokter kandungan. Tapi Zack pasti tidak mengijinkan aku periksa. Aku harus membuat alasan dan tentu aku akan ke rumah sakit lain, periksa ke dokter kandungan lain. Setahuku ada rumah sakit swasta mewah, kelas premium, milik keluarga Adikusumo. Aku akan ke rumah sakit itu saja untuk mendapatkan opini kedua. Setelah itu aku akan tahu apa yang harus aku tanyakan pada Zack. Tanpa mau buang waktu lama, Elena segera membuat janji temu dengan dokter ahli kandungan. Keesokan hari, dia sedang berkonsultasi dengan dokter kandungan yang malah kebingungan dengan ceritanya. Elena memaksa untuk dilakukan USG dan memang kondisi rahimnya kosong. Tidak ada janin di situ. “Tapi dok, hingga sekarang saya belum juga menstruasi. Tolong dok cek lagi dengan teliti.” Pinta Elena, suaranya sungguh sedih, membuat dokter dan perawat di ruangan itu juga terenyuh mendengarnya. “Ibu, untuk diketahui bahwa menstruasi pertama setelah dilakukan kuratase itu berbeda-beda tiap orang, tergantung pada kondisi fisik dan psikis perempuan itu. Ada yang empat minggu sudah mendapatkan menstruasi lagi tapi ada juga yang hingga sepuluh minggu atau lebih baru mendapatkan menstruasi pertama. Tapi kondisi rahim ibu baik dan bagus, siap menerima pembuahan. Ibu harus banyak istirahat. Saya resepkan vitamin ya bu.” Penjelasan si dokter kandungan mematahkan harapan Elena. Dia berikan senyum palsu dipaksakan untuk terbit di bibirnya, “iya dok, terima kasih banyak. Permisi.” Elena keluar ruangan itu dengan hati remuk redam, yang tidak dapat digambarkan. Dikenakannya kacamata hitam dan masker karena masih disyaratkan untuk menjaga protokol kesehatan. “Pak Manto, nanti tolong mampir ke apotek ya.” Pintanya pada supir kepercayaan eyang. “Iya Nona.” Padahal bukankah tadi Elena sudah menebus resep dari dokter saat di rumah sakit, lalu sekarang apa yang dia beli di apotek? Di apotek modern berkonsep swalayan ini, Elena memberi beberapa test pack berbagai merk. Apakah dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh dokter kandungan tadi? Antara iya dan tidak. Entahlah, yang pasti dia ragu-ragu dengan kondisinya. Jika dia memang tidak hamil, lalu kenapa Zack menganggapnya layaknya dia sedang hamil? Semua perlakuan manja Zack padanya, semua kemanisan yang diberikan Zack untuknya, bukankah itu pertanda bahwa dia sedang hamil? Benar-benar harus menjaga kandungannya kan? Tapi tadi bukankah sudah dilakukan USG dan rahimnya kosong melompong?! Berarti, selama ini Zack berbohong padanya. Entah kenapa, untuk apa suami tampannya itu berbohong. Dia akan cari tahu tentang ini perlahan. Sampai rumah, setelah mandi dan ganti baju, Elena bersantai di halaman belakang rumah yang asri dengan bunga berwarna-warni. Tiap kali berada di taman ini, dia bisa merasa hatinya lebih sejuk dan tenang. Temaram lampu taman membuat suasana taman semakin cantik. Berbanding terbalik dengan kondisi hati dan jiwanya yang kacau. “Elen sayang, sudah magrib loh, tidak baik untukmu berada di luar kena angin malam. Aku cari kamu di kamar gak ada, ternyata di sini. Masuk yuk, aku lapar, ingin makan malam sekarang, temani aku ya.” Suara Zack tiba-tiba terdengar, dia berdiri di belakang Elena dan sedikit menunduk agar bisa mencium pucuk kepala Elena. Elena pejamkan mata, sebulir air mata jatuh dengan manisnya kepalsuan yang diberikan Zack padanya. “Gak baik juga untuk ibu hamil ya Zack, kalau magrib berada di luar rumah?” Tanya Elena dengan suara sengau. Tentu saja Zack terkejut, tapi mampu mengendalikannya dalam hitungan detik. Beruntung pula Elena tidak bisa melihatnya yang berdiri membelakanginya. Setelah mampu menguasai diri, Zack berjalan ke depan Elena dan bersimpuh. Dia melihat Elena penuh kasih. “Iya, sayang. Masuk yuk. Kamu juga belum makan malam kan? Eeum Elen, wajahmu tampak pucat, apakah kamu merasa tidak enak badan lagi? Kamu demam?” Zack jadi panik melihat wajah pucat Elena. Disentuhnya kening Elena, untuk cek apakah demam atau tidak menggunakan termometer alami, dengan punggung tangannya. Tidak terasa tidak demam, tidak hangat juga. Tapi tadi Elena sempat menghindar, dia sedikit memundurkan kepalanya ke belakang, seperti sengaja ingin menghindari sentuhan Zack di keningnya. Kening Zack berkerut karena itu tapi dia coba abaikan. Lebih penting baginya mengetahui kondisi Elena yang baik-baik saja. “Gak panas kok. Apa perasaanku saja ya, wajahmu memucat?” Tanya Zack, lebih kepada pertanyaan ke diri sendiri. Hatiku yang panas Zack! Aku butuh tahu kenapa kamu lakukan ini, kenapa kamu membohongiku. Kamu tega Zack! Sungguh Elena teriak hal itu agar Zack tahu apa yang dia pikirkan. “Masuk yuk. Aku gendong ya.” Zack hendak menggendong Elena tapi ditolak, Elena ingin jalan saja. Zack hembuskan nafas perlahan, dia menyadari perubahan sikap Elena tapi dia sendiri tidak tahu kenapa. Usai makan malam dalam diam, mereka merebahkan tubuh di kasur. Pikiran Elena mengembara. Dia ingin sekali bertanya apa sebabnya, kenapa, mengapa? Tiba-tiba saja, Elena ingin mengetes Zack. “Kamu kenapa Elen? Dari sejak makan malam tadi, sangat pendiam. Tidak terucap satu patah katapun. Apakah kamu sakit? Atau ada yang salah? Ceritakan padaku ya, mungkin aku bisa bantu.” Kata Zack dengan sangat lembutnya. Zack miring ke kanan, agar bisa melihat Elena yang posisinya melihat kosong ke langit-langit kamar. “Zack…,” Elena menyentuh perutnya dengan tangan kanan, “biasanya seorang calon ayah akan berikan doa-doa pada bayinya sebelum tidur, berharap yang terbaik untuk si janin kan? Tapi kenapa hingga sekarang, kamu tidak pernah lakukan itu? Bahkan saat hendak berangkat ke kantor kamu juga tidak pernah mencium perutku.” Tanya Elena dengan suara datar. Jika Zack membuat skenario, dia akan coba ikuti peran yang diberikan untuknya tapi dengan improvisasi. Dia ingin tahu sepintar apa Zack menjadi sutradara untuk mengatur peran pemain. Mata Zack membola, dia menelan ludah dengan kasar. Lagi-lagi Elena berikan kejutan yang sungguh membuatnya kaget bukan kepalang. Ini yang kedua kali dalam waktu dua jam Elena menyinggung tentang kehamilan. Apakah dia mulai curiga? Bahwa dia tidak hamil? “Eeh iya sayang, maaf, maaf. Karena terlalu fokus pada dirimu, aku sampai lupa hal itu. Tapi mulai saat ini, aku akan mencium perutmu sebelum tidur dan berangkat ke kantor.” Bukan Zack namanya jika tidak mampu berikan jawaban yang masuk akal. “Tidak hanya mencium perutku Zack, tapi kamu juga harus berdoa untuk bayi kita.” Tegas Elena, kali ini dia menoleh ke arah kiri untuk melihat reaksi Zack. Temaram lampu kamar yang berwarna kuning, mampu menyamarkan pucatnya wajah Zack. “Eh iya ding, cium perut dan berdoa. Seperti ini kan?” Zack mulai menjalankan perannya sebagai karakter utama pria sekaligus sutradara di cerita yang dia buat sendiri skenarionya. Tiga peran sekaligus dalam sebuah skenario! Penulis skenario, pemain utama juga sutradara. Sungguh hebat kan? Zack mencium perut Elena dan ucapkan doa seperti permintaan Elena. Tanpa Elena tahu, betapa remuk hati Zack karena ini. Tidak hanya Zack yang remuk, Elena juga! Dua bulir air mata mengalir dari sudut matanya. Remuk redam hati Elena, sakit, sungguh sakit, karena Zack tega membohonginya. * Zack menghembuskan nafas perlahan, dinginnya malam tak mampu dia usir dengan secangkir cokelat panas yang sengaja dia buat. Dia ingin merokok, tapi Elena tidak suka bau asap rokok hingga dia berhenti menghisap uang yang dibakar itu saat awal menikahi Elena. Aah menikahi Elena adalah hal yang paling membahagiakannya hingga saat ini. Dia tidak menyangka mampu menikahi cucu seorang taipan dengan berbagai macam usaha yang menggurita. Pertemuannya pertama kali dengan Elena saat perempuan cantik nan pemalu itu hadir di acara ulang tahun perusahaan Bratajaya. Posisinya saat itu masih sebagai seorang manajer keuangan di kantor pusat. Matanya langsung saja terpaku pada Elena yang berdiri malu-malu di sebelah Elina, saudari kembarnya. Mereka kembar tapi berbeda sifat. Elina seorang yang ramah dan aktif, sedangkan Elena kebalikannya, pendiam dan cenderung pemalu. Pantas saja dia jarang hadir di acara perusahaan. Elina sudah punya suami, sedangkan Elena masih sendirian. Siapa tahu, dia adalah jodoh gadis cantik ini kan? Zack memberanikan diri mendekati Elena yang keluar ruangan saat acara pesta, lebih suka menyendiri di pojok taman. Awalnya Elena ketakutan padanya tapi lama kelamaan menjadi nyaman. Gayung bersambut. Cinta Zack diterima Elena. Waah tentu saja ini bagai durian runtuh untuk Zack dan keluarganya. Karena status mereka akan terangkat dengan menjadi besan seorang Bratajaya. Sedikit banyak mereka juga akan kecipratan kemakmuran keluarga sang besan kan? Zack memejamkan matanya, coba kembali ke masa lampau, saat awal pertemuan dan pernikahannya dengan Elena. Dia sungguh mencintai Elena, hingga hasutan dan rayuan, jebakan manis Tatyana menjeratnya. Dia terperosok dalam lubang pengkhianatan hingga tega mengkhianati cinta Elena padanya. Padahal Elena adalah seorang istri yang hampir sempurna! Lalu kenapa dia tega berkhianat? Tega selingkuhi Elena, menjalin hubungan terlarang dengan Tatyana yang adalah notabene teman Elena? Jawabannya satu dan sangat klise, KHILAF! Dia khilaf hingga terpeleset dan semakin terjerat jebakan Tatyana. Khilaf kok berkali-kali. Mana ada itu? Khilaf itu cuma sekali tahu! Gak usah banyak alasan Zack! Kamu adalah lelaki pengkhianat dan tega pada istrimu yang sangat baik hati itu! Seperti biasa saat dirinya sedang berada di pergulatan batin, sisi baik hatinya akan muncul dan memberinya nasihat, kadang kala hujatan juga. Emang gak boleh khilaf berkali-kali? Biarin aja sih, Zack yang khilaf kenapa pula kau yang sibuk? Sisi buruk hatinya mulai memberi balasan pada sisi baik. Itu sudah jadi tugasku untuk memberinya nasihat, memberinya peringatan, mana yang baik mana yang buruk dan tidak boleh dilakukan. Bela diri sisi baik. Nah, itu juga jadi tugasku untuk menyesatkannya kan? Kita ini selalu berlawanan, jadi biarkan aku melakukan tugasku. Tentu saja sisi buruk tidak mau kalah. Kedua sisi hatinya seakan tidak rela jika Zack memilih salah satu dari mereka. Zack memijit pelipisnya, kepalanya pusing, semakin pusing dengan ocehan sisi baik dan sisi buruk yang tidak pernah berhenti mempertahankan pendapat. Apakah Elena sudah mulai curiga bahwa dia tidak hamil? Apakah dia malah sudah tahu hal itu? Aargh, kenapa pula sih sampai sekarang dia belum hamil? Aku harus bagaimana? Membuat skenario baru lagi? Aku lelah dengan semua kepura-puraan ini. Apakah ini saatnya aku berterus terang pada Elena? Kali ini Zack mulai berpikir waras. Iya Zack, benar itu. Lebih baik kamu jujur pada Elena dan minta maaf padanya, minta pengampunan padanya. Tentu saja sisi baik sangat bahagia, dia semakin mendorong Zack untuk akhirnya berkata jujur saja. Heeuum Zack, ingat, jika kamu berkata yang sesungguhnya pada Elena, apakah kamu sudah siap dengan segala konsekuensinya? Paling ringan sih kamu bakalan ditendang keluar dari keluarga kaya raya bak sultan ini, tapi paling berat, kamu tidak akan bisa lagi melihat matahari esok hari dan merasakan indahnya dunia. Gimana dengan papa mama dan adikmu? Mereka juga akan terkena imbasnya. Kamu tega membuat kedua orangtuamu sengsara? Pikirkan lagi baik-baik Zack! Lihatlah, betapa pandainya sisi buruk merayu Zack! Kemasannya seolah Zack akan menyengsarakan orang tuanya jika dia mengaku, hal ini membuat Zack meragu. Padahal andai saja dia tahu apa yang akan terjadi di masa depan, pasti Zack akan memilih untuk jujur. Sepahit apapun kejujuran, itu akan lebih baik dibanding manisnya kebohongan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN