10. Satu atau Dua Garis?

1317 Kata
Elena memilih untuk menunggu lagi satu hingga dua minggu untuk lihat perkembangan yang terjadi padanya, terutama pada perutnya. Sampai sekarang, perutnya masih rata. Setiap kali mandi, dia selalu bercermin dan membandingkan perutnya dari hari ke hari yang tetap sama, tidak ada perubahan bentuk fisik, perutnya sama sekali tidak membuncit! Nafsu makannya juga tetap, tidak bertambah, padahal dia harus memberi asupan gizi untuk dua orang kan? Tentu saja Elena takut gizi untuk bayinya tidak akan cukup karenanya. Mau tidak mau dia minta dokter untuk memberinya vitamin. “Kenapa kamu tetap saja rata sih? Semoga saja bayiku baik-baik saja di dalam situ walaupun kamu tetap rata. Ini kehamilan ketigaku, aku tidak mau lagi kehilanganmu. Aku akan menjagamu dengan sangat baik-baik! Sabar ya sayang untuk bisa ketemu mama, eeum malah mama yang tidak sabar untuk melihatmu di usg. Kalaupun papamu tidak mau antar mama untuk cek, mama akan pergi sendiri. Kamu sangat penting bagi mama, nak. I love you.” Bisik Elena, sambil mengelus pelan perutnya. Bibirnya tersenyum senang, membayangkan bayi yang ada di rahimnya mendengar curahan hatinya, janin itu akan semakin berkembang dan akhirnya dia bisa dengan sangat bangga memamerkan perut buncitnya kepada orang lain! Perut buncit seorang ibu hamil! Dua kali dia hamil, dua kali pula dia keguguran. Kehamilan ketiga ini akan dia jaga dengan sangat baik-baik, berapapun biayanya, apapun yang dibutuhkan. “Aarghh kepalaku!” Elena mencengkeram pinggiran wastafel, lagi-lagi kepalanya mendadak seperti ditusuk ribuan jarum. Dia memakai baju dengan gemetar dan tertatih ke kasur empuknya. Ditekannya bel yang sudah disiapkan di nakas untuk memanggil suster yang merawatnya. “Ada apa bu?” Tergopoh, seorang perawat yang masih cukup muda, mendatanginya. “Minta obat sakit kepala sus. Ini kenapa sakit kepala saya masih sering sekali mendera sih? Sakiiit sekali!” Keluh Elena. Kali ini dia mencengkeram seprai. Jika ada Zack, biasanya dia akan memeluk lelaki itu dan menangis karena sakitnya. “Baik ibu, sebentar saya ambilkan. Sementara ibu rebahan dulu dengan posisi yang nyaman.” Si perawat sigap membantu Elena mendapatkan posisi yang nyaman. Sementara menunggu perawat datang, kilasan-kilasan peristiwa di masa lalu kembali hadir. Elena meringis kesakitan tapi dia juga waspada, ingin sekali mengetahui apa yang sesungguhnya menjadi penyebab kecelakaan dirinya. Tertabrak truk bukanlah suatu tujuan hidupnya! Dia bukan tipe manusia yang akan berpikir untuk menghabisi nyawanya sendiri, sepahit apapun jalan hidupnya. Kehilangan demi kehilangan sudah dia lalui walau dengan sangat berat sekalipun. Kehilangan orang tua, saudara kembar juga keponakan sudah dia alami. “Elena, mama, papa, kakak, kakak ipar juga keponakanmu meninggal karena kecelakaan pesawat mereka. Kamu diminta tim DVI untuk tes DNA nak.” Eyang muncul mendadak dengan wajah yang sangat keruh, memberi kabar menyakitkan baginya. “A… apa eyang? Tidaaak! Tidak mungkin itu terjadi!” Itu suaranya. Dia mendengar suaranya sendiri! “Aaargh kepalaku! Mana obat sakit kepala itu?” Elena menjerit, merasakan sakit kepala yang semakin menusuk kepalanya. “Anak, menantu, cucu, cucu mantu juga cucu buyutku meninggal karena sabotase kecelakaan pesawat. Sekarang, darah penerus Bratajaya hanya mengalir di tubuh Elena. Aku perintahkah kalian untuk menjaganya, dengan taruhan nyawa kalian sekalipun! Lindungi dia.” Suara getir eyang memerintahkan orang-orang kepercayaannya untuk menjaga Elena yang linglung usai dari pemakaman. “Mama…, papa… Ellin… Kalian… aah kaliiaan...” Kepingan demi kepingan puzzle mulai Elena ketahui. Kali ini kilasan peristiwa itu tentang kabar buruk kenapa dalam waktu sekejap dia menjadi yatim piatu dan tanpa saudara. Hidupnya sendiri saja, hanya bersama eyang. “Elena sayang, kamu harus kuat ya nak. Yang kuat dan tabah. Beri kami banyak keturunan agar bisa mendoakan kami di akhirat.” Berkali-kali Elena dengar suara lembut disampaikan penuh senyum oleh sang mama. Apakah itu mama atau jin qorin semata, Elena tidak tahu. Yang dia tahu, dia kehilangan semua orang yang sangat dia cintai, mendadak. “Mama… mama… hu hu…” Tangis Elena pecah. Sedikit demi sedikit, ingatannya kembali. Tapi ingatan itu malah membuatnya menderita karena itu sebuah memori yang menyakitkan hatinya. “Bu Elena, ini obatnya bu. Diminum dulu.” Perawat tadi mengguncang tubuh Elena dan berikan sebuah tablet, mungkin saja itu pereda sakit kepala. Elena minum itu dan kembali melanjutkan rebahnya. Dia berusaha mendapatkan posisi yang nyaman. Sakit kepalanya perlahan berkurang. Dia bisa manfaatkan ini untuk memanggil kembali ingatan masa lalunya. Kali ini, dia akan menyimpan sendiri tanpa bercerita pada Zack seperti yang dia lakukan setiap hari, bercerita pada suaminya sebelum tidur, ingatan demi ingatan apa yang berhasil dia kenali. Elena jatuh tertidur dengan bayangan senyum orang-orang yang dia cintai. Mama, papa, kakak kembarnya juga iparnya, serta keponakannya yang masih sangat kecil. Sayangnya karena tidak dalam kondisi yang nyaman, tidurnya juga menjadi tidak lelap. Mungkin saja Elena berada dalam kondisi tahapan tidur NREM atau non rapid eye movement, tahap satu jelang ke tahap dua, hingga dia bisa ingat pecahan ingatan gambar visual. Kilasan demi kilasan saat kejadian sesaat sebelum dia kecelakaan seperti hadir, kembali menyeruak di alam bawah sadarnya. Elena seperti melayang, dia melihat raganya yang berdiri terpaku di tengah jalan raya tepat sesaat sebelum sebuah truk yang mengklakson berkali-kali, berusaha melakukan pengereman agar tidak menabraknya. Kemudian terdengar teriakan, jeritan dan kehebohan. Elena juga bisa melihat Zack yang menjerit kebingungan memeluknya yang terkulai dengan tetap memegang alat test pack. Elena dekati keduanya, genangan air yang berubah warna menjadi bersemu merah, semakin pekat warna merah pada area dua kakinya. Apakah dia…? Tidak! Tidak mungkin! Jiwa Elena yang melayang, memegang perutnya. Mendadak, Elena rasakan perutnya melilit, sangat sakit. Sakiiit, sungguh sangat sakit! “Aaaghh..!!” Elena terbangun, nafasnya memburu, dadanya turun naik, berusaha menetralkan agar dia kembali tenang. Matanya melihat ke sekeliling dan ucap istighfar saat menyadari ini di kamarnya. Istighfar... ayo istighfar Elena! Sedetik kemudian Elena segera meraba perutnya. Tadi dia sangat yakin, dia melihat dirinya yang mengalami perdarahan hebat saat berada di pelukan Zack usai ditabrak truk. Air mata deras mengalir di pipi Elena, dia takut jika dia keguguran yang ketiga kali. Tapi Zack meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja kan? Dia dan janin yang ada di kandungannya baik-baik saja! Tapi anehnya, Zack selalu menolak ajakannya ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya, padahal dia sangat ingin melihat perkembangan janinnya melalui USG. Apakah aku harus pergi ke rumah sakit sendirian saja tanpa Zack? Untuk tahu apakah benar aku hamil atau tidak. Karena aku sama sekali tidak merasakan proses kehamilan seperti yang aku baca di buku. Lebih baik, aku coba tes mandiri. Aku harus coba test pack. Semoga saja aku masih punya stok satu buah. Elena memaksakan diri duduk dan mengobrak-abrik laci di bawah nakas, tapi tidak temukan satu pun benda pipih yang bisa membuatnya yakin bahwa dia sedang hamil. Coba dicarinya di kotak P3K yang ada di kamar mandi, siapa tahu dia simpan di situ entah dengan tujuan apa. Ternyata benar! Ada dua sisa alat test pack dengan merk yang berbeda. Elena mengambil nafas panjang. Degup jantungnya menjadi tidak beraturan. Dia harus memantapkan hati, apakah yakin dengan pilihannya itu. Sejujurnya dia tidak siap jika test pack itu memberi hasil satu garis yang berarti dia tidak hamil. Tapi, jika dia tidak lakukan sekarang, lusa atau minggu depan tetap harus dia lakukan. Ini hanyalah masalah waktu saja, hasilnya akan tetap sama. Jika dia hamil, maka test pack itu akan tertera dua garis tapi jika dia tidak hamil, maka akan tertera satu garis saja. Akhirnya, Elena memantapkan hati untuk mencoba kedua benda pipih itu. Dengan harap-harap cemas, dicobanya kedua alat test pack itu. Sesungguhnya hanya butuh lima menit saja untuk memunculkan hasilnya. Tapi bagi Elena, lima menit itu serasa seperti puluhan tahun! Dalam hati, tak hentinya dia berdoa, memohon agar kedua alat itu tercetak dua garis. DUA GARIS! Elena mencengkeram wastafel di kamar mandi mewahnya. Detik demi detik dia tunggu hingga akhirnya di detik tiga ratus satu terlewati, tapi dia pejamkan mata karena merasa sungguh takut dan belum siap. Sekarang sudah detik empat ratus dua puluh, sudah tujuh menit, menandikan hasilnya sudah pasti, tidak akan berubah lagi. Garis di kedua test pack itu sudah tercetak sempurna. Kedua alat test pack memberi hasil yang sama, garisnya berjumlah…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN