Namanya Pak Zero

1268 Kata
Pertemuan Jihan dengan mantan suami membuat dirinya semakin bersemangat untuk bekerja. Dia akan membuktikan kepada Lp bahwa hidupnya menjadi lebih baik setelah ditinggalkan oleh laki-laki yang tidak tahu malu itu. Memang awalnya Jihan ingin berhenti dari perusahaan ini, tapi karena ia tidak bisa berhenti sebelum kontrak berakhir maka Jihan tidak punya pilihan lain. Dia juga tidak bisa melakukan kesalahan-kesalahan secara sengaja. Oleh karena itu, Jihan akan bekerja dengan mengeluarkan kemampuannya. Kalau ada kesempatan, Jihan ingin sekali mempermalukan Lp didepan umum. Membayangkan hal tersebut membuat Jihan tertawa sendiri. Pekerjaan dasar Jihan adalah membuat artikel serta caption pada konten yang diupload pada sosial media. Baginya itu pekerjaan yang mudah. Jihan bukan berlagak sombong, tapi ia sudah melakukan pekerjaan itu selama beberapa tahun ke belakang. Menyusun kata demi kata untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat serta menjadi artikel yang sering muncul di pencarian. "Permisi sebentar," Yuli berdiri sambil memegang kertas. Sebagai informasi, Yuli tidak jadi dipecat. Lp menyuruh pihak HRD untuk memecat Yuli. Namun setelah beberapa menit mengatakan hal tersebut, Lp kembali menarik perkataannya. Dia tidak bisa memecat seseorang berdasarkan perasaan pribadi. Kalau teman-temannya tahu, mungkin akan mendapatkan omelan yang sangat panjang. Sudah jelas tertulis jangan melibatkan perasaan pribadi dalam pekerjaan. Contoh kecilnya seperti dirinya pernah bertengkar dengan Yu, mereka tidak boleh melibatkan hal tersebut di dalam pekerjaan. Bersikap profesional memang tidak mudah. Apalagi ego masih sangat tinggi. "Pak Samsul memberikan tim kita kesempatan itu mengajukan ide-ide atau rancangan untuk mempromosikan produk-produk perusahaan," jelas Yuli. "Tim kita, Bu?" Karyawan lain tampaknya tidak percaya karena sebelumnya mereka tidak pernah diberikan kesempatan. "Iya. Silahkan buat proposal tentang hal ini." Popi mendekat ke arah JIhan. "Gimana? Mau ikut nggak?" Jihan tersenyum dengan penuh percaya diri. "Tentu," jawabnya. Popi memberikan jempol. Dia akui Jihan termasuk orang yang pintar. Bahkan jihan memiliki banyak kemampuan seperti bisa merakit komputer sendiri atau bahkan memperbaiki komputer. "Nanti makan siang di depan yuk!" ajak Popi karena tidak lama lagi jam istirahat akan datang. "Aku bawa bekal." Jahan menunjuk bekal yang ia bawa. "Yah... Apa nggak bosan makan di ruangan terus?" Jihan menyengir. Sebenarnya ia juga bosan, tapi mau bagaimana lagi. Jihan berusaha menghemat pengeluaran agar bisa membayar hutang. Saat merantau ke sini, Jihan tidak memiliki uang sepeserpun. Dia meminjam kepada salah satu teman yang memang sudah dekat sejak dulu, namanya Alexa. Alexsa yang membuat Jihan berani untuk merantau ke kota ini. Mereka tinggal bersama-sama dan Jihan memiliki banyak hutang kepada Alexa. Setelah Papanya meninggal, hidup Jihan sangat berubah. Bahkan harta kekayaan keluarganya dikuasai oleh Ibu Tirinya. Ternyata Ibu tirinya bermuka dua. Saat Papanya masih hidup, Ibu tirinya sangat baik kepada Jihan. Tapi setelah papanya tidak ada, sikapnya berubah. "Gimana kalau makannya di taman aja? Aku pesan dari luar." Popi hanya ingin mencari udara segar. Perusahaan memang memiliki taman kecil yang cukup nyaman. Lebih tepatnya tempat yang nyaman untuk bersantai karena ada tempat duduk dibawah pohon-pohon rindang. "Boleh." Jihan menyetujui usul Popi. Istirahat siang akhirnya datang. Jihan dan Popi memilih untuk menunaikan shalat terlebih dahulu. Walaupun Jihan tidak ingin bertemu dengan Lp, tapi tetap saja mereka bertemu. Bahkan hal ini sering terjadi. Apa yang Jihan lakukan ketika bertemu dengan Lp? Dia tidak menyapa. Bahkan Jihan tidak mau melihat Lp sama sekali. "Siang, Pak." Popi selalu saja menyapa Lp. Entah kenapa mereka terus datang diwaktu yang sama. "Siang," jawab Lp ramah. Jihan yang berada disamping Popi langsung meniru orang yang sedang muntah. "Kamu kenapa, Jihan?" tanya Popi khawatir. "Ada bau menjijikkan," jawab Jihan. Popi mengerutkan kening. Dia tidak mencium bau menjijikan seperti yang Jihan katakan. Popi malah mencium aroma yang nyaman di hidungnya. "Bau apa?" Popi bertanya dengan nada pelan. Takut sang atasan mendengar dan tersinggung. Diam-diam Lp tersenyum tipis. "Udah udah, jangan terus disini. Bau banget." Jihan langsung menyeret Popi. "Eh eh," respon Popi heboh. Dia hanya bisa pamit mendadak kepada Lp. "Jihan, kamu tambah cantik," ucap Lp setelah Jihan menjauh dari dirinya. "Siapa yang cantik?" Zero tiba-tiba muncul. "Nggak ada," jawab Lp buru-buru melangkah. "Ciee, lo lagi ngincar seseorang ya." Zero begitu semangat. Bahkan ia melangkah dengan cepat untuk bisa menyamakan langkah dengan Lp. "Nggak ada!" "Bohong... Siapa sih?" Zero langsung penasaran. Jarang saja mendengar Lp memuji seseorang. Cantik identik dengan perempuan bukan? Tidak mungkin juga laki-laki disebut cantik. Lp menyikut perut Zero agar tidak banyak bertanya. Tenang saja, hanya sikutan kecil tapi bisa membuat Zero meringis. "Sakit woi," keluh Zero tapi Lp tidak menghiraukan sama sekali. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu jika Jihan adalah mantan istri Lp. *** Sesuai rencana, Jihan menunggu Popi di taman mini yang ada di samping perusahaan. Popi sedang menunggu makanan di depan perusahaan. Agar tidak terlalu bosan, Jihan memainkan ponsel. Ia membaca informasi-informasi yang bisa menambah ilmu pengetahuan. Jihan tidak hanya sendirian di taman tersebut. Banyak karyawan lain yang juga duduk santai menikmati makanan atau hanya menikmati kopi semata. Bahkan ada yang tidur. Jihan mulai memperhatikan satu demi satu. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Mata Jihan tidak sengaja melihat laki-laki yang tampak kesusahan menyalahkan api. Awalnya Jihan tidak terlalu peduli. Berhubung jarak mereka tidak terlalu jauh. Jadi Jihan tidak bisa untuk tidak peduli. Jihan berdiri dan meninggalkan bekalnya sebentar. Ia berjalan menuju laki-laki tersebut. Saat sudah dekat, Jihan mengulurkan sesuatu. Laki-laki itu langsung menatap Jihan. “Punya kamu?” tanyanya. Jihan tidak menjawab. Tangannya masih terulur karena sesuatu yang ia berikan masih berada di tangannya. “Tidak butuh?” Akhirnya Jihan angkat bicara. Dia hanya berniat baik, tapi malah tidak digubris sama sekali. “Kamu merokok?” Bukannya menjawab, laki-laki itu malah bertanya lagi. “Ya sudah kalau tidak mau.” Jihan ingin menyimpan pematik api karena tidak diambil-ambil. “Eh eh, saya butuh.” Jihan memberikan kembali. Kali ini laki-laki itu mengambilnya. Satu kali percobaan, rokok ditangannya bisa hidup. “Terima kasih,” ujar laki-laki itu. “Hm.” Jihan ingin kembali. Tapi langkahnnya terhenti karena laki-laki itu kembali berbicara kepadanya. “Mau?” tawarnya sambil mengulurkan bungkus rokok. Jihan menggeleng. “Tidak usah takut, ambil.” “Kamu kira saya merokok?” tanya Jihan. “Mungkin saja.” “Dangkal sekali pikiran kamu.” Jihan menatapnya tidak suka. Sudah berbaik hati, tapi malah dianggap yang tidak-tidak. Jihan tidak sadar membawa pematik api di dalam kantong jaketnya. Ia baru sadar saat sudah sampai di perusahaan. Mungkin kemarin Jihan tidak sengaja menyimpan di kantong jaket setelah selesai membakar sampah. Laki-laki itu tertawa, lantas ia berkata, “Jangan marah, saya hanya bercanda.” Jihan tidak menjawab. Ia sudah kesal duluan dan segera menjauh dari laki-laki tersebut. Laki-laki itu memperhatikan Jihan walaupun ada jarak diantara mereka. Sampai seseorang datang, barulah ia tidak melihat lagi. “Lama sekali,” keluh Jihan setelah Popi datang. “Maaf maaf. Beli minuman dulu di cafe depan.” Popi meletakkan dua minuman yang ia beli. “Nggak usah,” tolok Jihan saat Popi memberikan satu minuman. “Udah ah, nggak usah ditolak.” Popi tidak menerima penolakan. Jihan menerima minuman tersebut karena tidak ingin menjadi orang yang tidak menghargai orang lain. Apalagi Popi sudah sangat baik kepadanya. “Ramai ya,” ucap Popi sambil melihat sekeliling. Jihan mengangguk. “Eh eh, itu itu lihat.” Popi memukul pelan pundak Jihan. “Kenapa?” tanya Jihan sambil melihat objek yang ditunjuk oleh Popi. “Itu salah satu petinggi perusahaan,” jelas Popi. “Yang mana?” Jihan memastikan. Kali saja penglihatannya salah. “Itu…” Popi menujuk dengan jelas. Jihan terkejut. “Itu?” Popi mengangguk. “Namanya Pak Zero,” ungkapnya. Tiba-tiba tubuh Jihan membeku. Ternyata orang yang dia pinjamkan pematik api adalah salah satu petinggi perusahaan. Mana Jihan berbicara sedikit menyolot. Tidak ada kesan ramah sebagai bawahan. Jihan langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. Boleh kah Jihan menangis sebentar? Haha.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN