Ingin Keluar Dari Perusahaan

1359 Kata
Seharian Lp tidak bekerja. Ruang kerja yang biasanya rapi masih terlihat berantakan. Ia tidak ada niat untuk membersihkan ataupun meminta petugas kebersihan untuk membersihkannya. Lp menghabiskan waktu hanya dengan berbaring di sofa. Apakah rapat sebelumnya berjalan dengan lancar? Tentu saja tidak. Lp banyak memberikan komentar pedas. Bahkan ia menolak ide-ide yang diajukan oleh tim media untuk promosi aplikasi perusahaan kedepannya. Hal ini membuat divisi media menjadi kalang kabut. Mereka sudah berusaha keras menuangkan ide-ide, tapi ditolak. Memang penolakan itu ada alasannya. Tapi sikap Lp selama rapat tidak seperti biasanya. Jihan memberikan pengaruh yang sangat besar dihidup Lp. Baru bertemu, hidup Lp mendadak tidak kondusif. Pikiran kacau, rasa menyesal yang sangat besar, perasaan rindu yang tidak bisa diungkapkan serta perasaan-perasaan lainnya. Semua itu bercampur baur dalam diri Lp. Telepon perusahaan berbunyi. Lp tidak ada niat untuk mengangkat panggilan itu sama sekali. Apalagi tubuhnya terlalu malas untuk bergerak. Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua kembali berbunyi. Lp juga tidak mengangkatnya. Biarlah, mau siapapun Lp tidak peduli. Lp kembali memejamkan mata. Dia tidak tidur. Bagaimana mungkin bisa tidur jika pikiran masih kacau. Tok tok tok Lp mengepalkan kedua tangan. Seharian ini sudah berapa kali pintu ruangannya di ketuk. Kenapa orang-orang tidak membiarkan dia sendiri? Lp selalu saja diganggu. "Masuk!" jawab Lp dari dalam. Suaranya terdengar tidak bersahabat sama sekali. "Ma-maaf, Pak." Ternyata yang mengetuk pintu adalah Edi. "Ada apa?" tanya Lp langsung. "Pihak HRD ingin menghubungi Bapak," jelas Edi. Walaupun ia sedikit takut mengganggu. Tapi Edi harus menyampaikan apa yang ia terima. Mungkin saja sangat penting sampai pihak HRD ingin sekali menghubungi Lp. Jarang-jarang karena Lp tidak bertanggung jawab langsung dengan divisi HRD. "Bu Ina?" tanya Lp memastikan. "Iya, Pak." Awalnya Lp malas bangkit dari sofa, tapi kini ia memaksakan diri untuk bangkit. Lp mendekat ke meja kerja dan langsung mengambil telepon untuk menghubungi bagian HRD. Panggilan sangat cepat terhubung. Bu Ina mengucap salam, Lp membalas salam tersebut. "Ada apa?" tanya Lp tanpa basa basi. Moodnya sangat buruk hari ini. "Maaf kalau mengganggu waktu Bapak." "Tidak masalah, ada apa?" Lp mengatakan tidak masalah, tapi nada bicaranya tidak seperti biasanya. "Begini, Pak, penanggung jawab saudara Jihan mengajukan pemecatan." Lp terkejut. "Maksudnya?" Ia ingin meminta kejelasan agar tidak salah paham. Bu Ina kembali menjelaskan dengan lebih detail jika penanggung jawab atau ketua tim dimana Jihan berada mengajukan pemecatan. Pemecatan itu bahkan didasari dengan berbagai macam kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak dilakukan. "Tolak!" Lp tidak berkata panjang lebar. "Baik, Pak." "Siapa yang mengajukannya?" Lp penasaran. Siapa yang berani memecat Jihan maka akan berhadapan langsung dengannya. "Ketua tim, atas nama Yuli, Pak." "Pecat dia!" Suruh Lp. Bu Ina yang berada diseberang sana langsung terkejut. Yuli sudah bekerja cukup lama diperusahaan ini. Alasan pemecatannya juga tidak logis. "Ta-tapi Pak-" "Pecat!" Potong Lp. "Ba-baik, Pak." Bu Ina tidak tahu harus menjawab apa. Kalau menolak, dia yang akan terkena semprotan. Panggilan terputus. Lp kembali berbaring diatas sofa. Susah payah Lp membuat Jihan diterima disini, bahkan dengan cara licik eh malah ada yang ingin memecat. Tentu saja itu tidak akan terjadi. Lp memang tidak tahu, siapa Yuli. Pikirannya sedang kacau tapi malah ada yang cari gara-gara. Lihat saja ia memutuskan sesuatu tidak secara rasional. Jam pulang kerja adalah hal yang ditunggu oleh Lp. Setidaknya ia bisa mengikuti Jihan. Dia langsung turun ke lantai bawah. Tapi apa yang Lp dapatkan? Dia tidak menemukan Jihan sama sekali. Ternyata Jihan sudah pulang lebih dulu padahal jam kerja masih ada dua menit lagi. Lp mencoba untuk melihat di halte bus depan perusahaan. Kali saja Jihan masih berada disana menunggu bus. Tapi setelah dicek, Jihan tidak ada disana. Lp benar-benar bingung. Ia bahkan menelusuri jalan sampai ke tempat Jihan tinggal. Sepanjang perjalanan, ia tidak menemukan apapun. Lp mengacak rambutnya frustasi. Dia kehilangan Jihan. Apa dia memang tidak pantas untuk mendapat kesempatan kedua? Lp sudah lama menunggu momen dimana mereka akan bertemu. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Lp beberapa kali bolak balik di jalan sekitar tempat tinggal Jihan. Tapi ia juga tidak menemukan Jihan. Lp pulang dengan hati yang dipenuhi kesedihan mendalam. *** Segala macam tindakan buruk dilakukan oleh Jihan. Termasuk datang terlambat, pulang lebih dulu, membuat artikel atau konten yang tidak tepat serta hal-hal lainnya. Jihan melakukan ini agar dipecat. Tapi sayangnya sampai detik ini, ia tidak dipanggil oleh HRD atau atasannya langsung yaitu Pak Samsul. Kalau Yuli, ia tidak bersuara lagi belakangan ini. Jihan juga tidak tahu kenapa. Pokoknya dia tidak marah-marah lagi kepada Jihan. Itu hanya di depan saja, kalau berada dibelakang Jihan maka jangan ditanyakan lagi. Tepat setelah Jihan menyelesaikan satu artikel, ia dipanggil oleh pihak HRD. Tentu saja Jihan senang. Dia akan dipecat sebentar lagi sehingga tidak akan bertemu lagi dengan mantan suaminya. Sudah cukup Jihan bersabar beberapa hari ini. Dia juga tidak kemana-mana agar tidak bertemu dengan Lp. Jika waktu shalat masuk, ia memilih shalat di dalam ruangan. Ada juga beberapa karyawan yang begitu karena mushola biasanya ramai. Jihan mengetuk pintu ruang HRD. "Masuk," ucap suara dari dalam. Jihan langsung masuk. Di sudah tidak sabar lagi untuk dipecat setelah drama yang ia buat sendiri. "Banyak laporan yang masuk," ujar Bu Ina. Sebenarnya Jihan bisa langsung ditangani oleh Yuli, tapi berdasarkan mandat dari Lp maka Bu Ina yang langsung turun tangan. Tentu saja Bu Ina penasaran dengan hubungan sang atasan dan juga karyawan baru. Tapi ia hanya bisa diam karena tidak bisa untuk bertanya. "Apa saya dipecat?" tanya Jihan langsung. Bu Ina tersenyum. "Apa kamu ingin dipecat?" Jihan mengangguk semangat. Bu Ina sampai bingung sendiri. Apa ada orang di dunia ini yang senang di pecat? Apalagi perusahaan yang sangat menjunjung tinggi kebaikan hidup karyawannya. Masuk ke perusahaan ini saja tidak mudah, tapi ada yang menginginkan untuk dipecat. "Maaf, Jihan. Perusahaan tidak akan memecat kamu." Jihan terkejut. Apa kesalahan yang sengaja ia buat akhir-akhir ini tidak cukup banyak? Apa perlu Jihan membakar sesuatu di perusahaan ini agar dipecat? Pikirannya mulai mengarah kemana-mana. "Kenapa begitu, Bu?" "Perusahaan masih membutuhkan kamu." "Tapi saya sudah melakukan banyak pelanggaran." "Tidak masalah. Kedepannya kamu bisa memperbaikinya." Bu Ina berkata dengan sangat ramah. "Tidak bisa, Bu. Saya ingin keluar dari perusahaan ini." Jihan mengatakan keinginannya dengan lancar. “Kenapa ingin keluar?” Bu Ina semakin bingung. Zaman sekarang sulit mencari pekerjaan. “Saya tidak nyaman disini.” Sebenarnya Bu Ina bisa saja mengetujui keinginan Jihan. Masih banyak orang yang ingin bekerja diperusahaan ini. Tapi karena sang atasan sudah memberi arahan, maka Bu Ina tidak bisa melakukan itu. “Perusahaan tidak akan memberhentikan kamu sampai kontrak habis.” “Tapi saya ingin berhenti, Bu. Percuma saya tetap bekerja disini kalau tidak ada pekerjaan yang saya lakukan dengan baik.” Bu Ina diam sejenak. Dia memperhatikan mimik wajah dan gerak-gerik Jihan. “Kamu ada masalah?” tanyanya. “Tidak ada, Bu.” “Jihan, saya tidak tahu apa motif kamu melakukan banyak pelanggaran akhir-akhir ini. Kalau kamu memang ingin berhenti, silahkan saya tidak akan menahan.” Jihan tersenyum seperti mendapat angin segar. “Tapi ada nominal pinalti yang harus dibayar,” lanjut Bu Ina lagi. Senyum Jihan mendadak hilang. “Maksud Bu Ina apa?” Bu Ina menunjukkan lembar kontrak yang sudah ditandatangani oleh Jihan sebelum bekerja. Disana memang ada pinalti yang harus dibayar jika berhenti sebelum waktu yang tertera dikontrak selesai. Nominalnya tidak sedikit. “Silakan bayar uang pinalti jika ingin keluar sebelum selesai masa kontrak,” ujar Bu Ina. Jihan terdiam. Ia terlalu semangat saat tahu diterima diperusahaan ini. Jihan tidak membaca dengan detail dan langsung menandatanganinya saja. “Jika pekerjaan kamu juga tidak baik, maka kamu harus membayar uang pinalti karena tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaannya sendiri,” jelas Bu Ina lagi. Lima ratus juta bukan uang yang kecil. Bagi Jihan jumlah itu sangat banyak sekali. Mungkin ia butuh waktu belasan tahun untuk mengumpulkannya. “Bagaimana?” Bu Ina meminta pendapat Jihan. Apakah tetap ingin keluar atau bagaimana. “Perlu kamu tahu, perusahaan ini saat menaati hukum. Jadi jangan bertindak gegabah.” Penjelasan Bu Ina membuat Jihan tidak bisa berkomentar apa-apa. Dia tidak akan bisa membayar pinalti. Mau kabur pasti akan dibawa ke jalur hukum dan ia akan sangat merugikan dirinya. Namun apa Jihan sanggup bekerja dibangunan yang sama dengan mantan suaminya? Mereka bisa saja bertemu setiap hari. Apalagi mantan suaminya adalah atasan diperusahaan ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN