Bertemu dengan orang yang dihindari

1581 Kata
Selain Lp, Jihan juga harus menghindari Zero. Malu sekali rasanya setelah berkata yang tidak sopan kepada atasan sendiri. Kalau saja Jihan tahu dari awal jika orang yang ia beri pemantik api adalah salah satu petinggi perusahaan, maka ia hanya akan tersenyum ramah apapun yang dikatakan oleh orang tersebut. Tapi Jihan tidak tahu sehingga ia malah mengeluarkan sikap yang tidak baik. Jihan juga salah karena sudah tahu area perusahaan, pasti orang-orang yang ada di taman ini adalah karyawan atau bahkan petinggi-petinggi perusahaan. Ia perlu memperbaiki sikap kedepannya kecuali di depan Lp. "Ganteng nggak?" tanya Popi saat keduanya sudah sampai di ruangan. Jihan mengerutkan kening. Tidak ada angin dan tidak ada hujan, rekan kerjanya malah bertanya seperti itu. Entah siapa objek yang sedang dibicarakan. "Siapa?" tanya Jihan kembali karena ia memang tidak tahu siapa objeknya. Bisa saja Pak Samsung karena objeknya masih abu-abu. Popi gemas sendiri. "Pak Zero," jawabnya. Jihan geleng-geleng kepala. Ternyata Popi masih membahas Zero, padahal mereka sudah berada di dalam ruangan. "Nggak tau," jelas Jihan. Ganteng itu relatif dan mata setiap orang tidak ada yang sama. Popi menyenggol lengan Jihan. "Banyak lo karyawan yang suka sama Pak Zero," ucapnya memberi informasi secara gratis. "Terus?" Jian memberi respon dengan santai. Ya kalau ganteng mau bagaimana? Popi mendengus. "Nggak asik." Jihan tersenyum kecil. "Kamu suka?" tanyanya. "Suka. Tapi lebih suka sama Pak Lp." Mendengar nama Lp membuat Jihan ingin muntah. Kalau saja Popi tahu bagaimana brengs*eknya Lp, apa tetap akan disukai? Untungnya Jihan tidak suka menceritakan orang dari belakang. Dia juga tidak ingin orang-orang di perusahaan tahu tentang hubunganya dengan Lp di masa lalu. Jihan menganggap itu aib yang harus dikubur sedalam-dalamnya. "Kamu kok setiap kali bahas Pak Lp mukanya gitu?" Popi mengeluh karena ekspresi wajah Jihan selalu buruk kalau sudah membahas soal Lp. "Mana ada," balas Jihan tidak mau dicurigai. "Kamu suka ya?" "Suka?" Jihan tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Popi. Sudah jelas ia menatap Lp dengan wajah permusuhan, mana mungkin suka. "Enak aja," lanjut Jihan lagi. "Benci gitu?" Jihan diam. Padahal dalam hati ia berteriak menjawab pertanyaan Popi, "iya... Benci!" "Pak Lp itu baik lo." Popi begitu semangat mempromosikan Lp. "Ya ya ya." Jihan terlalu muak sehingga mengiyakan saja apa yang dikatakan Popi tentang Lp. "Aku serius." Popi tidak suka dengan respon Jihan seakan-akan menganggap dirinya sedang bercanda atau sengaja memuji-muji atasan. "Iya iya. Bagi kamu baik, tapi bagi orang lain belum tau." Popi menyipitkan mata. "Pak Lp salah apa sih sama kamu?" "Kok nanyanya gitu?" Jihan merasa bingung. "Aku sebagai pengagum Pak Lp nggak setuju aja sama sikap kamu." Popi berkata jujur karena ia memperhatikan Jihan beberapa hari ini. Kalau mereka tidak sengaja berpapasan dengan Lp, pasti Jihan ingin buru-buru pergi. Bahkan menyapa pun tidak. "Emang sikap aku gimana?" Padahal Jihan sudah berusaha menahan diri agar tidak meledak kalau tidak sengaja berpapasan dengan Lp. "Gimana ya bilang, kamu tu kayak jijik banget ketemu sama beliau." Popi mengatakan dengan pelan agar tidak ada yang mendengar. Bahaya juga kalau mereka kedapatan membicarakan hal-hal yang tidak baik tentang atasan. "Iya Popi. Aku jijik banget," jawab Jihan dari dalam hati. Mana mau menjawab dengan jujur, bisa-bisa dimusuhi satu perusahaan. "Nggak ada, kamu aja yang mikirnya jelek." "Baguslah. " Popi tampak lega. "Jadi gantengan mana, Pak Lp atau Pak Zero?" lanjutnya lagi. "Udah udah, aku mau kerja dulu." Jihan mendorong kursi Popi akan menjauh dari meja kerjanya. Roda kursi Popi langsung menjauh dari meja kerja Jihan. Jihan hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia kembali melanjutkan pekerjaan karena jam istirahat sudah selesai. Jihan begitu fokus membuat proposal tentang bagaimana mempromosikan salah satu aplikasi milik perusahaan dibidang kesehatan. Walaupun aplikasi tersebut sudah beredar di masyarakat, tapi penggunanya masih belum memenuhi target. Aplikasi kesehatan memiliki banyak fitur sehingga Jihan harus memahami terlebih dulu. Tidak lucu jika mempromosikan apa yang tidak diketahui. Membuat proposal bukan hanya dirinya. Popi dan karyawan lagi juga demikian. Tentu saja ide siapa yang akan dipakai maka ia akan masuk ke dalam tim inti dari aplikasi tersebut. Kalau sekarang, baik Popi maupun Jihan hanyalah tim hore saja. Gaji juga tidak setinggi orang-orang yang berada di tim inti. Jadi wajar saja jika seluruhnya berusaha untuk membuat proposal sebaik mungkin. *** "Pulang nggak?" Jihan menggeleng. "Kerjain dirumah aja," usul Popi yang sudah siap untuk pulang. "Lebih enak disini." Selain tempat nyaman, Jihan juga bisa menikmati fasilitas jaringan internet secara gratis. "Nggak apa-apa sendiri?" Popi merasa tidak enak hati. Jihan tersenyum. "Nggak apa-apa. Paling sebelum jam sepuluh udah pulang." "Oke deh. Aku pulang ya." Popi melambaikan tangan meninggalkan Jihan yang masih sibuk di depan komputer. Ia memang sudah berencana untuk lembur. Apa Jihan tidak takut berada di perusahaan saat malam hari? Tentu saja tidak. Keamanan perusahaan sangat tinggi jadi bermalampun di perusahaan tidak masalah. Tanpa Jihan ketahui, Lp selalu memantau Jihan dari layar. Dia mengecek jam berkali-kali. "Kenapa belum pulang juga," keluhnya sendiri. Lp mana bisa pulang kalau Jihan tidak pulang. Jihan bekerja di divisi yang bisa dikatakan tidak akan ada jadwal lembur. Pekerjaan mereka tergolong santai tapi menggunakan daya kreativitas yang tinggi. Jadi Lp tidak berpikir Jihan akan lembur. Rugi sekali kalau lembur karena tidak akan dibayar oleh perusahaan. Bukan perusahaan pelit, tapi lembur bukan hal yang baik karena dapat membuat kesehatan karyawan terganggu. "Pulang nggak?" Suara muncul, siapa lagi kalau bukan Yu. Kalau Zero sedikit mustahil karena ia terlalu malas turun ke ini. "Duluan." "Eh, apa ada kerjaan mendesak?" Yu berpikir keras. "Ada," jawab Lp. "Kalian rajin sekali." Yu bertepuk tangan. Dahi Lp sedikit mengerut. "Kalian?" celetuknya. Yu mengangguk. "Zero juga lembur tu," jelasnya. "Udah ya, gue pulang dulu." Yu langsung menghilang. Dia lebih suka berada dirumah dibanding tempat kerja. Lebih tepatnya di rumah Lp. Lp dan Zero tidak ada janjian untuk lembur. Mungkin pekerjaan Zero memang banyak. Alasan Lp belum pulang ya karena Jihan belum pulang. Ia khawatir saja walaupun keamanan perusahaan sangat tinggi. Lp senyum-senyum sendiri melihat Jihan yang begitu semangat di depan komputer. Ia tidak tahu apa yang dikerjakan Jihan. Mungkin memang ada pekerjaan penting. Sebenarnya Lp tidak sering memantau Jihan, dia juga punya pekerjaan. Paling saat ia sedikit senggang, barulah ia bisa memantau. Waktu terus berjalan. Saat masuk waktu shalat, baik Lp maupun Jihan sama-sama mendahulukan kewajiban tersebut. Kini sudah pukul delapan lewat. Tidak ada tanda-tanda Jihan ingin pulang sama sekali. Jika diperhatikan sampai sekarang, Jihan belum makan malam. Sebenarnya Lp juga demikian. Tapi ia lebih mengkhawatirkan Jihan. Kalau Lp turun ke lantai dua, apa Jihan akan melemparnya dengan kopi lagi? Atau lebih parah dari itu? Lp sibuk dengan pikirannya sendiri. Tapi mau sampai kapan Jihan berada di perusahaan? Jangan bilang dia mau bermalam disini? Lp tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Kalau di ruangan ia ada sofa, tapi di ruang Jihan hanya ada kursi kerja. Apa yang harus Lp lakukan? Ia memutar otak. Sebuah ide muncul. Lp langsung menghubungi Pak Herman. Dia yang bertugas menjaga perusahaan malam ini. Lp menyuruh Pak Herman untuk ke lantai dua. Walaupun sedikit licik, setidaknya Jihan tidak pulang terlalu malam. Pak Herman tidak banyak bertanya. Sebenarnya ada beberapa karyawan yang juga lembur, tapi Lp terlalu khawatir dengan Jihan. "Permisi, Mbak." "Eh, Iya Pak. Ada apa?" Jihan langsung bangkit dari kursi. "Sudah mau jam sembilan." "Oh ya?" Jihan melihat jam. Ia langsung panik. Apalagi petugas keamanan sampai datang. Jihan kira ada pembatasan pada jam malam. "Iya, Mbak." "Baik, Pak. Saya akan segera pulang." Jihan bersiap-siap untuk pulang. Ia mematikan komputer dan memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Pak Herman pamit untuk pergi dari sana. Sebelum benar-benar menghilang, Pak Herman sudah memberi sedikit wejangan agar Jihan berhati-hati ketika pulang nanti. Lp yang melihat kepanikan Jihan hanya bisa tersenyum. Dia juga bersiap-siap untuk pulang. Ia ingin bertemu dengan Jihan seakan-akan tidak sengaja. Padahal seperti yang diketahui, Lp sudah memantau Jihan. Lp buru-buru turun ke lantai dasar. Kalau bisa, akan lebih bagus jika mereka bertemu di dalam lift. Lp berharap hal itu terjadi. Dia juga berpikir keras, apa yang harus dilakukan saat bertemu dengan Jihan nanti? Apa dia harus menawarkan tumpangan? Tapi entah kenapa Lp yakin Jihan akan menolak tawarannya dengan mentah-mentah. Jihan menunggu pintu lift terbuka. Saat pintu lift terbuka, Ia melihat ada orang di dalamnya. Orang yang dihindari oleh Jihan malah ada di depannya. Apa sekebetulan ini? Padahal sekarang bukan waktu jam kerja. Tubuh Jihan hanya bisa terdiam. "Kamu tidak masuk?" Jihan buru-buru masuk. Sebenarnya jika waktu bisa diputar kembali, ia akan bergerak sedikit lebih lambat dari ruangan sehingga pertemuan ini tidak terjadi. Jihan berdiri di sudut lift sambil bersandar. Kepalanya menunduk dalam. Ia berharap tidak akan terjadi obrolan antara mereka berdua. "Ruang kamu di lantai dua?" "Iya, Pak." "Saya rasa karyawan di lantai dua jarang lembur." Jihan memejamkan matanya sejenak. Tapi dia tetap memberi respon. "Iya, Pak." "Kamu tau saya?" "Tau, Pak." "Siapa?" "Pak Zero." Laki-laki yang di dalam lift bersama dengan Jihan adalah Zero. "Kamu tau sebelum atau sesudah meminjamkan pemantik api kepada saya?" Jihan tertunduk lesu. Dia sudah tahu kemana arah pembicaraan sang atasan. Dia sudah bersikap kurang ajar. "Sesudah, Pak." Jihan menjawab dengan jujur. Tapi nadanya sedikit pelan. Zero terkekeh kecil. "Boleh saya pinjam lagi?" "Bo-boleh, Pak." Jihan langsung mencari pemantik api di saku jaketnya dengan sangat panik. Kepanikan tidak membuat Jhan dengan cepat menemukan pemantik tersebut. Bahkan sampai mereka sudah keluar dari dalam lift. "Sebentar, Pak." Jihan mencari ke dalam tas. Dimana ia meletakkan pemantik tersebut? Zero berdiri di depan pintu utama perusahaan. Beberapa lampu menghiasi setiap sudut perusahaan. "Lah kok hujan?" Jihan terkejut. "Takut?" balas Zero. "Bukan gitu, Pak." Jihan langsung menutup mulut. Ia baru sadar jika rintik hujan turun. Saat berada di dalam ruangan, ia tidak merasakan apapun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN