Lp melihat Jihan yang bersiap untuk pulang. Ia pun bergegas untuk turun ke lantai bawah. Sampai sekarang, Lp belum punya nyali untuk mendekati Jihan. Tapi apa kedepannya akan begitu? Entahlah. Semoga saja tidak.
Dari kejauhan, Lp melihat Jihan yang sedang mengobrol dengan Pak Herman. Syukurlah karena Jihan tidak mengobrol dengan Zero. Sebenarnya Lp tidak punya hak untuk merasa cemburu apalagi sakit hati. Hal ini jelas mengingat status mereka adalah mantan istri.
Jika Jihan lembur, maka Lp juga begitu. Tapi jika Jihan tidak lembur dan pekerjaannya memang banyak, maka Lp tetap memilih lembur. Ia berusaha memprioritas kan pekerjaan dibanding Jihan. Menjadi laki-laki bermental lemah bukanlah pilihan yang bagus. Lp tidak mau seperti dulu lagi karena tidak bisa melawan ketika diinjak-injak. Bahkan saat berada di masa tersulit pun dan butuh bantuan, dia tidak bisa mengandalkan diri sendiri.
Kenapa tidak naik taksi? Pertanyaan itu muncul di kepala Lp. Apalagi sedang hujan begini. Tapi Lp juga tidak bisa melarang. Ya kalau Jihan mau, Lp mau menjadi supir pribadinya walaupun tidak dianggap sekalipun.
Lp melihat Jihan melangkah meninggalkan perusahaan sembari memegang payung. Lp berlari menuju mobil, ia akan memantau sampai Jihan benar-benar sampai dirumah dengan selamat.
Masih dari kejauhan, Lp melihat Jihan yang sedang berdiri di halte. Ingin rasanya menarik tangan Jihan untuk sedikit mundur kebelakang. Tapi hal itu tidak mungkin, mereka sudah haram bersentuhan walaupun hanya berpegangan tangan. Apa yang dikhawatirkan Lp terjadi, tubuh Jihan terkena genangan air hujan yang dipercikkan mobil.
"Bodoh," komen Lp tanpa sadar. Setelah itu ia langsung menutup mulutnya sendiri. Kalau saja Jihan tahu apa yang baru saja ia katakan, mungkin bukan lagi kopi yang menyambar ke wajahnya, bisa saja meja atau kursi.
Tapi mau bagaimana lagi, Lp geram sendiri melihat tindakan Jihan yang sangat ceroboh. Sudah tahu ada genangan air, eh malah berdiri di dekatnya.
Lihat saja pakaian Jihan terkena air. Hal itu membuat pakaiannya sedikit menerawang. Sebenarnya Jihan memakai kaos dalam, tapi tetap saja Lp tidak rela jika ada mata lain yang menatapnya. "Minta dicolok itu mata," kesal Lp. Dia buru-buru keluar dari mobil. Tidak peduli mobilnya tidak boleh terlalu lama berdiam diri di pinggir jalan. Walaupun nanti ia harus membayar denda, maka tidak masalah.
Lp langsung membuka jas dan menutupi tubuh Jihan. Tentu saja Jihan terkejut dan menolak. Tapi Lp memberi penekanan sehingga Jihan tidak lagi menolak.
Lp berniat untuk mengantar Jihan, tapi tetap saja ditolak. Jihan menyuruh dia pergi. Sebenarnya lucu karena Jihan tidak dengan pelan. Apa yang dia katakan jadi tidak berarti apa-apa bagi Lp. Kalau marah-marah tentu ada intonasi dan suaranya jadi keras. Tapi Jihan tidak mengusirnya dengan suara keras.
"Pergi nggak?" usir Jihan lagi.
"Nggak!" Lp tidak bergerak sama sekali.
Jihan tampak mengepalkan kedua tangan. Sedang menahan kesal dan ingin meledak, tapi tidak bisa.
"Kamu mau lihat aku kayak orang gila?" Jihan memberi ancaman.
"Silahkan." Lp menjawab dengan santainya.
Jihan menutup mulut, jangan sampai dia mengumpat karena Lp. mengumpat adalah perbuatan yang tidak baik serta mendapat dosa.
"Sekarang kamu aman karena ada ditempat ramai," celetuk Jihan.
"Emang kalau cuma kita berdua kenapa?" Lp menaik turunkan alisnya. Jelas sekali ia sedang menggoda Jihan.
"Jijik." Jihan langsung memeluk tubuhnya sendiri.
Lp terkekeh. "Jangan gitu, nanti kamu jatuh cinta lagi sama aku."
Jihan ingin tertawa dengan keras. Apa laki-laki di sampingnya ini sudah gila? Atau dia salah satu pasien yang kabur dari rumah sakit jiwa? Apa yang dia katakan sangat gila, memalukan serta menjijikkan.
Jatuh cinta katanya? Itu tidak mungkin. Jihan saja yang dulunya bodoh karena bisa jatuh cinta kepada Lp. Wajah polos tapi brengs*ek. Miskin saja brengs*ek, bagaimana sekarang sudah punya uang? Mungkin bolak balik keluar masuk hotel bersama perempuan. Itu yang dipikirkan oleh Jihan tentang Lp.
"Jatuh cinta?" beo Jihan.
"Iya. Cinta dan benci beda tipis. Sekarang kamu bisa benci, bagaimana besok?"
Jihan tertawa. "Apa kamu tidak malu berkata seperti itu?"
"Tidak." Lp seakan memiliki wajah tebal. Padahal ia sangat-sangat menyesal karena dulu memilih untuk meninggalkan Jihan. Tapi dia ingin terus mengobrol dengan Jihan walau yang Jihan katakan tentu saja tidak baik tentang dirinya.
"Dulu kamu miskin, tapi kamu mempermainkan perempuan yang tulus. Sekarang kamu sudah kaya, mungkin kamu sudah memakai banyak perempuan diluar sana," sindir Jihan.
Mendengar apa yang Jihan katakan, ia menjadi marah. Apa dipikiran Jihan ia seburuk itu? Walaupun sudah delapan tahun berlalu, Lp tidak pernah menyentuh perempuan manapun. Bahkan hanya untuk menyentuh tangan perempuan saja, Lp tidak mau melakukan.
"Apa menurut kamu aku seburuk itu?" Mata Lp menyiratkan rasa kecewa yang teramat mendalam.
"Iya. Berhubung kamu sudah kaya, apa kamu tidak mau membeli tubuh ku juga?"
"Jihan!!!" Lp sangat marah.
Suara Lp sangat besar, bahkan orang-orang yang ada di halte langsung menatap ke arahnya. Bahkan Jihan juga sangat terkejut. Tapi Lp tidak peduli hal tersebut. Mau apapun gosip yang beredar nantinya, tidak masalah.
Nyali Jihan ikutan menciut. Baru kali ini ia mendengar serta melihat Lp bersuara tinggi. Saat menikah, Lp tidak pernah sekalipun mengeluarkan suara tinggi. Meskipun begitu, Jihan berusaha menyembunyikan rasa takutnya.
Lp menatap Jihan dengan mata terluka. Tidak ada yang bisa melukai hatinya kecuali Jihan. Hanya dengan kata-kata Jihan saja sudah membuat dirinya sangat terluka. Dia tidak peduli dengan pikiran orang lain tentang dirinya. Bahkan dulu ada yang menghina dirinya lebih buruk dari yang Jihan katakan. Tapi karena yang mengatakan adalah Jihan, hatinya benar-benar terluka.
"Jihan, aku tidak seperti yang kamu pikirkan." Nada bicara Lp sudah melembut.
"Jadi kamu orang seperti apa?"
"Aku punya alasan kenapa meninggalkan kamu delapan tahun yang lalu."
"La la la la..." Jihan malah bernyanyi seakan apa yang dikatakan oleh Lp hanya omong kosong semata.
"Jihan," panggil Lp agar Jihan berhenti bersenandung yang tidak jelas.
"Tolong, perca-"
"Akhirnya," potong Jihan karena bus sudah datang. Dia lega sekali karena tidak ingin dekat-dekat dengan mantan suami.
Jihan langsung masuk ke dalam bus tanpa mengatakan apapun. Sedangkan Lp melihat seakan-akan tidak rela Jihan pergi.
Jihan duduk tanpa melihat ke belakang. Dia tetap melihat kedepan, padahal tidak sedikitpun Lp berpaling dari melihat Jihan.
Bus sudah meninggalkan halte. Tubuh Lp langsung lesu. Perkataan Jihan berputar di dalam otaknya seperti kaset rusak. Ia melangkah dengan gontai menuju mobil. Rintik hujan tidak masalah mengenai tubuhnya. Lp benar-benar terpukul mendengar perkataan Jihan.
Disamping itu, Jihan menatap rintik hujan dari jendela bus. Entah apa yang ia pikirkan. Ada sedikit perasaan tidak nyaman setelah mengatakan hal-hal buruk kepada mantan suaminya. Tapi Jihan berusaha meyakinkan diri. Apa yang dia lakukan dan katakan tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh Lp delapan tahun yang lalu.
Sibuk dengan pikirannya sendiri. Akhirnya bus berhenti di halte yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Jihan melangkah menuju ke tempat tinggalkan dengan memegang payung.
“Lembur lagi?” tanya Alexsa ketika Jihan baru saja membuka pintu.
“Hm.”
“Apa kamu tidak terlalu keras sama diri sendiri?”
Jihan berusaha untuk tersenyum. “I’m fine.”
“Itu jas siapa?” Jas yang menutupi tubuh Jihan menjadi titik fokus Alexsa.
“Oh ini….” Jihan sedikit kegelagapan. “Rekan kerja,” jelasnya.
“Oh begitu.” Alexsa tidak lagi bertanya. Ia menyuruh Jihan untuk segera membersihkan diri.
Jihan melangkah ke kamar. Di rumah ini ada dua kamar, satu untuknya dan satu untuk Alexsa. Jihan langsung melepas jas yang diberikan oleh Lp. Seharusnya Jihan menolak saja, tapi tidak bisa. Mana pakaiannya jadi nerawang. Jihan benar-benar tidak punya pilihan lain.
“Jijik,” lirih Jihan sambil memegang jas tetapi dijauhkan. Dia ingin meludahi jas tersebut. Iseng saja keluar ide tersebut di dalam pikiran. Tapi kemudian ia berubah pikiran. Otaknya kembali normal. Jihan melempar jas milik Lp ke lantai seakan-akan jas itu tidak lebih baik dari alas kaki. Padahal harga jas tersebut tidak murah.
Saking kesal dan marahnya Jihan kepada Lp, ia sampai melakukan hal-hal diluar kenormalan. Tadi ingin diludahi, tapi berubah pikiran. Kini jas itu sudah di lantai.
Jihan masuk ke dalam kamar mandi. Ia langsung membersihkan diri. Kenapa dari banyaknya manusia, harus Lp yang mendatanginya? Kenapa tidak seorang pangeran saja seperti didrama-drama? Ini malah orang yang paling ia tidak ingin temui.
Beberapa menit kemudian Jihan selesai membersihakan diri. Ia juga sudah memakai baju santai untuk tidur.
Jihan membaringkan tubuh ke ranjang. Ternyata setelah bekerja seharian, tempat tidur adalah tempat ternyaman. Jihan baring sambil mengotak atik ponsel. Tiba-tiba sebuah pesan muncul dari nomor yang tidak dikenal. Jihan langsung membukanya.
62234666755
Jihan…
Apa sudah sampai rumah?
Jihan mengerutkan kening. Siapa pengirim pesan tersebut. Berhubung ia penasaran, Jihan langsung membalasnya.
Jihan
Siapa?
62234666755
(Emot senyum dengan wajah memerah)
Mas Laksa
Setelah tahu siapa pengirim pesan tersebut. Tanpa menunggu waktu yang lama, Jihan langsung melakukan pemblokiran. Moodnya langsung buruk.
“Mas Laksa Mas Laksa,” gerutunya sendiri. “Enak benar tu orang,” lanjut Jihan lagi.
Jihan memutuskan untuk segera tidur. Apalagi besok ia memiliki pekerjaan yang penting. Jangan sampai Lp mengganggu pikirannya. Tapi baru beberapa menit Jihan memejamkan mata, ia membukanya kembali. Jihan bangkit dari ranjang. Ia mengambil jas yang ada di lantai. Jas itu ia lempar ke tempat pakaian kotor. Ternyata Jihan tidak setega itu.