Nggak usah baper!

1501 Kata
"Kalau perempuan ngasih hadiah itu tandanya apa?" Lp dan Yu sama-sama menatap Zero. "Siapa?" tanya mereka secara serentak. "Siapa yang ngasih hadiah sama lo?" Yu kembali bertanya secara spesifik. "Bukan gue, orang lain." Zero berusaha menghindar dari tatapan Yu. "Siapa emangnya?" Kali ini Lp yang bertanya. "Teman." Yu dan Lp sama-sama tertawa. "Bang Hiro nggak mungkin, apalagi bos Agam. Emang siapa lagi teman lo selain kita?" Zero seperti berada di ujung jurang. Memang benar ia tidak memiliki teman yang lain selain mereka. Dia salah menjawab, seharusnya Lp memberi jawaban yang lebih umum saja. Contohnya seorang kenalan biasa. "Ngaku aja, nggak usah bohong." Yu mengangkat sebelah alisnya. "Ck, malas gue cerita." Zero memilih bercerita pada orang yang salah. Sudah jelas kedua temannya ini heboh minta ampun. "Oke oke. Anggap aja teman. Terus gimana?" Yu memberi penekanan pada kata teman. Padahal baik dia maupun Lp tahu bahwa orang yang diceritakan Yu bukan orang lain tetapi dirinya sendiri. "Ada orang ngasih hadiah, itu tandanya apa?" "Hadiahnya apa dulu? Coklat kah?" Mendengar kata coklat, Lp jadi tertawa sendiri. Apa mereka anak remaja yang diberikan coklat? Sudah tidak zaman lagi seumur mereka diberi coklat. "Kenapa lo ketawa?" Yu menatap tajam ke arah Lp yang malah tertawa. "Lucu aja, masa kita yang umurnya mau kepala tiga dikasih coklat." Lp berusaha untuk tidak tertawa lagi, namun ternyata sangat sulit. Baginya itu hal yang lucu. "Kalau lo tertarik sama perempuan, emang mau kasih apa?" "Kartu debit lah," jawab Lp dengan santainya. "Benar juga sih," balas Yu setelah dipikir-pikir. Zaman sekarang uang lebih dibutuhkan daripada sebungkus coklat. "Udah udah, sekarang fokus ke Zero dulu." Yu mencoba untuk mengalihkan perhatian kepada Zero kembali. "Hadiahnya apa?" tanya Yu kembali karena belum mendapat jawaban. "Bukan sesuatu yang wow. Mungkin harganya cuma dua ribu," jawab Zero. Yu dan Lp kembali tertawa. Bahkan sampai perut mereka sakit sedangkan Zero hanya bisa menatap temannya dengan tajam. "Sakit perut gue," keluh Lp sambil memegang perutnya. "Sama." Yu juga demikian. "Gue serius!" Zero mulai kesal sendiri. "Sorry sorry." Yu dan Lp berusaha menahan tawa. Bahkan wajah mereka sampai memerah. Yu mulai mengontrol diri. Dia berusaha menahan tawa agar Zero tidak bertambah kesal. "Menurut gue nggak usah terlalu kepedean," ungkapnya. "Maksudnya?" Zero sedikit tidak mengerti. "Segala sesuatu itu dilihat dari effort nya. Hadiah seharga dua ribu di umur kita yang sekarang bukanlah sesuatu yang istimewah. Ya paling hanya sebatas hadiah biasa," jelas Yu. "Betul. Kecuali hadiah itu dibuat dengan tangan sendiri, walaupun murah tetapi dilihat dari effort dalam membuatnya. Hal itu yang membuat hadiah itu jadi bernilai," sambung Lp. Dia sependapat dengan Yu. "Jadi biasa aja gitu?" tanya Zero. Yu dan Lp sama-sama mengangguk. Ternyata Zero terlalu banyak berpikir. Hal kecil saja sudah membuat dia berpikir kemana-mana. Lemah sekali hatinya, padahal sebelumnya tidak seperti itu. "Gue tanya deh, kalau lo suka sama seseorang, lo bakal ngelakuin apa buat dapetin dia?" tanya Yu. "Ngelakuin apa aja selama tidak melewati batas," jawab Zero. "Kalau lo?" Yu mengarah kepada Lp. "Ya sama, ngelakuin apa aja selama tidak melewati batas." Yu tertawa kecil. "Mau tau gimana liciknya Bang Hiro dapetin Hana?" "Ngabisin uang milyaran," jawab Zero. Lp setuju dengan jawaban Zero. Berapa banyak uang yang dikeluarkan Hiro untuk membeli sebuah bangunan yang ada di pinggir jalan. "Itu salah satunya. Tapi ada yang lebih licik." "Apaan?" Yu dan Zero sama-sama penasaran. "Bang Hiro buat semua lamaran kerja Hana ditolak," beber Yu. Lp dan Yu sama-sama takjub. "Liciknya," komen Zero yang baru mengetahui fakta itu. Yu hanya bisa terkekeh kecil. "Nggak usah ditiru, kalian nggak punya power ke luar." "Enak aja." Zero tidak terima. Memang yang orang luar ketahui hanyalah Hiro ataupun Agam. Tapi kan mereka juga punya relasi ke berbagai sektor. "Udah udah, nggak usah baper kalau dikasih hadiah seharga dua ribu. Anak kecil yang ngasih, emang lo mau baper juga?" Zero langsung menggeleng. "Bagus."Yu memberi jempol. Mereka lanjut menikmati makanan yang masih ada di piring masing-masing. Apalagi jam istirahat siang akan segera selesai. *** "Selamat ya," ucap Popi sambil bertepuk tangan. Jihan tersenyum lebar. Dari berbagai proposal yang diajukan oleh para karyawan, proposal Jihan yang lolos bersama dua diantaranya. "Masih belum," balas Jihan malu-malu. "Tinggal satu langkah lagi, aku jamin punya kamu yang lolos." Popi seakan percaya bahwa proposal Jihanlah yang akan terpilih. "Jangan bilang gitu, masih belum tau." Jihan tidak mau bersikap sombong. Apalagi diantara tiga proposal yang dinyatakan lolos tahap selanjutnya, hanya dia yang merupakan karyawan baru. Dua sisanya adalah karyawan lama, kira-kira mereka sudah hampir tiga sampai empat tahun berada di perusahaan ini. "Harus percaya diri, semangat!" Popi memberi semangat. Dia tidak merasa kecil hati karena proposal miliknya ditolak. Popi cukup sadar diri apalagi ketika membaca proposal Jihan. Perbedaan yang sangat jauh sekali. "Terima kasih," balas Jihan. "Kalau lolos jangan lupa traktir." "Aman." Jihan memberikan jempol. Jihan mulai mempersiapkan segala materi yang akan dipresentasikan di depan Pak Samsung dan juga penanggung jawab aplikasi kesehatan. Tentu saja lolos atau tidak lolosnya akan dilihat dari seberapa baik dan mengerti terhadap proposal yang sudah dibuat. Jika tidak bisa menjelaskan dengan baik, maka percuma saja karena ide-ide tersebut hanya termuat dalam sebuah dokumen bukan dalam otak. Tentu saja hal ini sangat menegangkan bagi Jihan. Dia bahkan tidak tahu siapa-siapa saja yang nantinya berada di ruang rapat. Tapi Jihan bukanlah Jihan yang dulu. Dia sudah banyak berubah sehingga membentuk diri menjadi perempuan yang lebih berani. Jika dia tidak berani, maka tidak akan ada yang berkembang dalam dirinya. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Apapun yang terjadi dulunya, hal itu seharusnya membentuk Jihan menjadi sosok yang jauh lebih baik. Hari ini Jihan kembali lembur. Dia begitu semangat mempersiapkan semua materi yang akan dipresentasikan besok pagi. Bahkan Jihan tidak sadar jika jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat. Jihan mematikan komputer, badannya terasa pegal semuanya. Apalagi matanya karena terlalu lama melihat layar komputer. Jihan merenggangkan otot-otot tubuhnya sejenak sebelum beranjak dari meja kerja. "Apa di luar hujan?" tanya Jihan sendiri karena melihat perkiraan cuaca yang ada di layar ponselnya. Jihan tidak membawa jaket karena lupa. Biasanya hampir setiap hari dia membawa jaket baik hari itu hujan maupun tidak. Jihan buru-buru keluar dari ruangan. Saat berada di depan perusahaan, ia bisa melihat rintik-rintik hujan. Air terlihat menggenang karena belum terserap orang tanah. "Lembur lagi, Mbak?" tanya Pak Herman. Jihan tersenyum. "Iya, Pak." "Rajin sekali, Mbak. Semoga cepat kaya." "Aamiin. Bapak juga." "Hujannya dari kapan, Pak?" tanya Jihan karena tampaknya sudah lama. "Jam tujuh kurang." Jihan mengangguk mengerti. "Mbak pulang naik taksi atau gimana?" Jihan kembali melihat jam. Ternyata ada jadwal bus malam yang akan melewati halte depan. Kira-kira bus akan sampai di halte depan pada pukul sepuluh kurang lima belas menit. "Bus, Pak." Pak Herman melihat jam. "Masih ada dua puluh menit lagi." "Iya, Pak. Saya nunggu di halte depan saja kalau begitu." Pak Herman meminjamkan Jihan payung agar tidak kebasahan menuju ke halte yang tidak berada jauh dari perusahaan. "Besok saya kembalikan ya, Pak. Terima kasih." Pak Herman mengangguk. Ia juga berpesan agar Jihan berhati-hati. Jihan berjalan menuju ke halte. Walaupun sudah cukup lama, tapi masih banyak pekerja yang berlalu lalang. Mungkin mereka juga lembur sama seperti Jihan. Sesampainya di halte, Jihan menunggu sambil berdiri karena tempat duduk sudah penuh. Dia berdiri sedikit di pinggir. Sembari menunggu, Jihan bermain ponsel. Membaca informasi-informasi adalah hal yang diperlukan agar tahu tentang perkembangan yang terjadi. Byur Jihan terkejut saat air genangan menyiram tubuhnya. Sebuah mobil melanjut dengan kecepatan tinggi. Tentu saja membuat air genangan langsung menyambar tubuh Jihan yang memang berdiri di pinggir. Seluruh mata menatap ke arah Jihan. Jihan menggunakan pakaian putih, jadi bajunya langsung terlihat kotor. "Pinggir, Mbak." Seorang perempuan menarik Jihan agar tidak terkena air lain. "Basah gini." "Terima kasih." Jihan merasa malu sekali. Beberapa perempuan menolong dirinya. Apalagi pakaian putih Jihan terkena air membuatnya menjadi nerawang. Hal sangat memalukan sekali. "Pakai jaket saya saja, Mbak." Jaket terulur, tapi saat Jihan ingin mengambilnya, ia mendengar suara yang tidak asing. "Tidak perlu," ujar suara tersebut. Sebuah jas langsung menutupi tubuh Jihan. "Nggak usah!" tolok Jihan dengan ketus. "Diam! Kamu mau mempermalukan diri sendiri?" Jihan mendadak diam. Sosok yang datang memberikan dia sebuah jas adalah Lp. Mobilnya berhenti begitu saja dipinggir jalan padahal tidak boleh karena bisa merusak lalu lintas. "Aku antar," ucap Lp. "Nggak perlu." Jihan menolak secara mentah-mentah. "Nggak usah keras kepala." Lp sudah kesal, mana banyak yang melihat tubuh Jihan. Mana mungkin Lp rela. "Kamu siapa berani bilang gitu?" Jihan langsung marah. Enak sekali Lp datang seakan-akan sebelumnya mereka tidak punya masalah apa-apa. "Aku tau kamu marah, tapi-" "Lebih dari itu," potong Jihan. Lp menghela nafas panjang. "Jihan..." "Nggak usah panggil nama aku dengan mulut kotor itu," ketus Jihan. Dia bergeser sehingga menciptakan jarak. Jihan berbicara dengan pelan, agar tidak didengar orang lain. Beberapa pasang mata masih menatap mereka. Jihan tidak bisa menunjukkan rasa marah secara terang benderang. Bahaya karena mereka masih ada di lingkungan yang dekat dengan perusahaan. Bisa saja salah satu orang yang ada di halte adalah karyawan perusahaan. Gosip apa yang akan beredar jika mereka melihat bagaimana sikap Jihan terhadap salah satu atasan perusahaan? Tentu saja tidak baik. "Pergi!" usir Jihan tanpa menatap Lp.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN