Ngerumpi atasan

1489 Kata
Jihan tersenyum melihat proposal perencanaan promosi dari salah satu produk atau aplikasi yang dibuat oleh perusahaan. Setelah beberapa hari, ia bisa menyelesaikan proposal tersebut dengan menuangkan banyak ide serta gagasan agar bisa mempromosikan aplikasi kesehatan ke berbagai kalangan masyarakat. Hidup sehat sangat dibutuhkan agar menghindari berbagai macam penyakit ringan maupun berat. Menyelesai proposal ini tidaklah mudah. Beberapa hari Jihan harus lembur agar bisa mendapatkan jaringan internet secara gratis. Lembur yang ia lakukan tentu tidak tervalidasi kepada perusahaan sehingga tidak mendapat bayaran atas lembur tersebut. "Gimana?" Popi sudah berada didekat Jihan tanpa sadar. Mungkin karena Jihan terlalu fokus melihat layar komputer sehingga tidak sadar jika Popi sudah berada di dekatnya. Satu-satunya orang yang dekat dengan Jihan adalah Popi. Selebihnya, ia hanya kenal dan berbicara jika perlu saja. "Aman." Jihan memberikan jempol. "Aku belum selesai." Popi menunjukkan wajah sedih. Bahkan ia pura-pura menangis. "Mau aku bantuin?" Jihan menawarkan diri. Tentu saja Popi langsung menolak. Ia ingin memberikan hasil dari usahanya sendiri. "Nanti makan siang di depan yuk," ajak Popi. Hampir tiap hari Popi mengajaknya dan Jihan terus menolak secara halus. "Boleh." "Ha?" Popi kaget. "Kamu bilang apa?" ulangnya untuk memastikan. Takut saja telinganya salah dengar. "Boleh." Wajah Jihan tampak polos sekali. "Kamu setuju makan siang di depan?" "Iya. Aku nggak bawa bekal hari ini." Popi tersenyum lebar. "Bagus. Kalau begitu aku lanjut kerja dulu." Popi kembali ke meja kerjanya. Jihan hanya bisa geleng-geleng kepala. Proposal yang sudah jadi, ia cetak agar Pak Samsul mudah untuk membaca. Beberapa poin sangat Jihan tekankan termasuk mengenalkan dokter-dokter hebat yang mau bekerjasama dengan perusahaan mereka. Sebelumnya hanya perusahaan yang tahu identitas dokter tersebut, tapi Jihan memberikan usul agar adanya komunikasi dengan dokter di depan umum sehingga pengguna aplikasi lebih percaya mereka berkomunikasi dengan siapa. Kalau hanya nama dan foto, orang-orang biasanya tidak terlalu tertarik. Tapi jika ada video atau pembicaraan dari dokter, maka akan sangat menguatkan rasa kepercayaan. Jihan tidak bisa langsung mengantarkan kepada Pak Samsul. Ia masih memiliki atasan yaitu Yuli. Mau tidak mau, Jihan mengetuk pintu ruangan Yuli. "Permisi, Bu." "Iya, silahkan masuk." Sikap Yuli tidak seperti sebelumnya. Apalagi Jihan sudah meminta maaf atas sikap yang tidak baik dari dirinya. Jihan langsung memberikan proposal yang dia buat kepada sang ketua tim. "Baiklah, nanti saya akan berikan kepada Pak Samsul." "Terima kasih, Bu." Jihan pamit untuk keluar. Dia kembali melanjutkan pekerjaan. Besok pagi adalah jadwal terakhir pengumpulan proposal. Pak Samsul tidak bisa menunggu lama. Ia juga harus rapat dengan beberapa anggota untuk memilih proposal mana yang lebih baik untuk ditunjukkan kepada Lp. Sesuai rencana, Jihan dan Popi memutuskan untuk makan siang di restoran yang ada di depan perusahaan. Cukup ramai karena banyak bisnis yang berada di sekitar sini. "Eh eh itu Pak Hiro." Popi langsung menunjuk seseorang yang terlihat berjalan dengan langkah cepat. "Mana?" Jihan penasaran karena ia hanya melihat gambar saja. "Itu..." Popi menggerakkan kepada Jihan agar bisa melihat sosok CEO mereka secara langsung. Menemui CEO bukanlah mudah. Bahkan Popi baru beberapa kali menemuinya. Dia juga tidak pernah berbicara. Bawaannya takut. "Ganteng juga," puji Jihan tanpa sadar. "Ups, dia udah punya istri!" Popi mengingatkan. Jihan tertawa. "Aku tau," jelasnya. "Gantengan Pak Agam, serius!" "Nggak percaya, Pak Lp aja kamu bilang ganteng padahal enggak." Jihan baru pertama kali menyebutkan nama Lp dari mulutnya. Sedikit tidak masalah karena dulu namanya bukan Lp tetapi Laksa. Jadi nama Lp tidak terlalu berpengaruh pada dirinya. "Eh eh, mata aku nggak pernah salah. Mata kamu aja yang nggak sehat," balas Popi tidak terima. "Udah ah, malas bahas ini mulu." Jihan berjalan lebih cepat. "Aneh," ucap Popi. Ia langsung mengejar langkah Jihan. Mereka berdua mulai menyeberang jalan agar bisa sampai di salah satu restoran. Setelah menyebrang, mereka butuh jalan beberapa menit. Kini mereka sudah berada di depan restoran. Jelas saja ada beberapa karyawan yang juga makan disini. Kalau awal bulan sampai pertengahan pasti dipadati oleh karyawan perusahaan, tapi kalau sudah akhir bulan maka jarang. Harga makanan di restoran ini lumayan. Setidaknya sesuai dengan gaji mereka yang bekerja di kawasan ini. Jangan heran jika kawasan ini dinobatkan sebagai kawasan elit. "Mahal banget," keluh Jihan. "Sesekali," ucap Popi dengan santainya. Jihan jadi penasaran, Popi hampir tiap hari makan di luar. Apa Popi berasal dari keluarga kaya? Melihat penampilan dan barang-barang yang selalu ia pakai, sepertinya memang benar. Kalaupun memang dari keluarga kaya, Popi tidak sombong. Dia orang pertama yang mengajak Jihan berbicara padahal desas desus masa lalunya mengudara. Sedang sibuk melihat-lihat sekeliling, mata Jihan malah melihat Lp yang duduk tidak jauh dari tempat duduknya. Jihan tidak buang muka, ia malah menatap Lp dengan tajam. Dia korban jadi yang harusnya malu bertemu dengan dirinya adalah Lp bukan malah sebaliknya. Jihan tidak perlu kabur atau menghindar lagi. "Lihat siapa?" tanya Popi sambil melihat arah pandang Jihan. "Katanya nggak ganteng, tapi diliatin juga," lanjut Popi lagi. Jihan langsung menatap Popi. "Siapa?" "Pak Lp." "Siapa juga yang lihatin dia." Popi menatap Jihan sambil tersenyum penuh godaan. "Bilang aja suka." "Ih jijik!" Jihan langsung menutup mulutnya sendiri. Bukan karena dia salah bicara, tapi karena mengatakan di depan Popi. Sudah jelas Lp adalah atasannya sendiri. "Jijik kenapa?" Popi kaget. Baru kali ini adalah karyawan yang jijik dengan salah satu atasan mereka. "Emang kamu tau aslinya dia gimana?" Bukannya memberi penjelasan, Jihan malah balik bertanya. Ya wajar, orang-orang hanya mengetahui cover Lp saja sedangkan Jihan mengetahui luar dalam laki-laki tersebut. "Pak Lp itu baik." "Bagi aku enggak." Jihan berkata dengan jujur. Mau seluruh dunia mengatakan Lp baik, Jihan tetap pada penilaian awal yaitu tidak baik. "Kenapa? Pak Lp buat apa sama kamu?" "Kalau aku bilang Pak Lp pernah ninggalin seseorang di masa-masa sulit gimana?" Popi mengerutkan kening. "Nggak mungkinlah." Jihan sudah menduga respon Popi. Ya siapa yang akan percaya dengan omongan Jihan? Apalagi Lp membentuk image yang baik di depan orang-orang. "Nggak semua yang terlihat baik itu baik," jelas Jihan. "Aku tau, tapi Pak Lp nggak mungkin gitu. Kisah hidupnya aja sampai bisa seperti sekarang nggak mudah. Dia pasti menghargai orang-orang yang berjuang bersamanya." Jihan memilih diam. Sulit juga mengatakan sesuatu kepada orang yang sudah suka. Yang buruk bisa terlihat baik, begitulah kira-kira. "Kamu kenal sama Pak Lp?" "Kenal." "Siapa? Kamu kenal dimana?" Popi heboh sendiri. "Dia atasan kita bukan?" balas Jihan. Kenal maksud Popi bukan kenal sebagai atasan dan bawahan tapi kenal lebih dari itu. Kali saja kalau kenal Popi bisa mendapat informasi yang berguna tentang Lp. Banyak karyawan yang diam-diam mengejar Lp walaupun hanya dalam khayalan mereka semata. "Bukan gitu," keluh Popi dengan wajah masam. Jihan terkekeh. "Kamu beneran suka atau cuma bercanda aja sih?" "Suka, tapi nggak mungkin dapat." Popi mendadak sedih. "Nggak usah, cari yang lain aja." Jihan memberikan sebuah saran. "Aku jelek banget ya?" "Kamu cantik, tapi jangan sama Pak Lp deh. Sama yang lain aja." Jihan tidak mau Popi mendapatkan laki-laki seperti mantan suaminya. "Alasannya?" "Pokoknya jangan." Jihan tidak memberi alasan yang jelas. Kalau begitu, Popi mana mau mengikuti perkataannya. Makanan yang mereka pesan datang. Jihan dan Popi tampak bersemangat untuk menikmatinya. Disisi lain, Lp sedang duduk bersama dua teman sekaligus rekan kerjanya. Bisanya Lp memilih makan di dalam ruangan, tapi karena Jihan tidak makan di ruangannya sendiri maka Lp pun memilih ikut bersama teman-temannya. Lp tidak tahu jika Jihan akan makan siang di restoran yang sama dengan dirinya. Dia melihat Jihan bahkan dari awal masuk ke dalam restoran. Saat kedua mata mereka bertemu, Lp dapat melihat mata yang tajam melihat ke arahnya. Tapi Lp menatap Jihan dengan mata yang penuh penyesalan. "Makan woi! lihat apaan?" Zero yang ada di depannya langsung menegur karena sejak tadi Lp tidak menyentuh makanan di atas meja sama sekali. Padahal sebelum kesini, dia yang paling semangat karena lapar. Ia memutar kepala ingin melihat objek yang dipandang oleh Lp. Tapi sebelum itu terjadi, kedua tangan Lp sudah menahan kepala Zero agar tidak memutar. "Nggak ada," jawabnya. "Gue udah nggak sibuk akhir-akhir ini, jadi proyek aplikasi kesehatan biar jadi tanggung jawab gue," pinta Zero. Sebenarnya penanggung jawab proyek itu adalah Zero, tapi karena tim Lp lebih memiliki kemampuan untuk menjaga keamanan aplikasi maka dipindahkan sementara kepada Lp. Lp tidak jadi menyantap makanan. Padahal tinggal sedikit lagi masuk ke dalam mulutnya. "Nggak bisa!" tolok Lp langsung. Zero mendadak bingung. Padahal sebelumnya Lp menerima dengan berat hati. Berhubung dia sedang berbaik hati sehingga ingin meminta pekerjaan Lp. "Kenapa?" tanya Zero meminta penjelasan. "Gue harus bertanggung jawab sampai selesai." Lp memberi alasan. "Tapi kerjaan lo banyak." "Nggak masalah." "Udahlah. Dia lagi rajin jadi biarin aja," celetuk Yu. Kalau dia diposisi Lp ya langsung dikasih saja. Siapa yang tidak mau pekerjaannya menjadi ringan? "Ya udah sih kalau lo emang nggak mau." Zero tidak banyak bicara atau sampai terlalu meminta. Yang jelas dia punya niat baik. Zero melanjutkan untuk menikmati makanan. Begitupun dengan Lp. Ia bersyukur Zero tidak banyak bertanya atau bahkan menganggap dirinya sebagai orang yang aneh. "Eh eh, gue pengen cerita." "Apaan?" tanya Yu. Kalau mau cerita yang tinggal cerita. Tidak perlu ada intro. "Kalau perempuan ngasih hadiah itu tandanya apa?" Lp dan Yu sama-sama menatap Zero. "Siapa?" tanya mereka secara serentak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN