Jihan berhasil menemukan pemantik api. Ia langsung memberikan kepada sang atasan. Zero mengambil pematik tersebut.
"Mau?" tawar Zero sambil mengulurkan bungkus rokok.
"Tidak, Pak." Jihan menolak dengan baik. Tidak seperti tadi siang.
"Yakin?"
"Iya, Pak." Sebenarnya Jihan sedikit kesal, tapi ia lebih memilih untuk menelan rasa kesal tersebut. Entah bercanda atau beneran, Jihan tidak boleh memasukkan ke dalam hati.
Saat Zero merokok, Jihan sedikit menjauh. Ia tidak bisa mencium asap rokok.
Zero cukup peka. "Kamu tidak tahan menghirup asap rokok?"
"Mana ada orang yang tahan, Pak."
Zero terkekeh. Jarang sekali ia bisa tersenyum bahkan tertawa karena perempuan. Biasanya tawa Zero hanya keluar jika bersama tema-teman atau anak-anak saja.
"Ups, maaf." Zero mematikan rokok yang masih tersisa sangat panjang. Jelas saja karena baru dua kali hisapan, ia sudah mematikannya.
"Kenapa rokoknya dimatikan?" Jihan merasa tidak enak hati.
"Tidak apa-apa. Kamu pulang naik apa?"
Jihan melihat jam di layar ponsel. Sudah pukul sembilan lewat lima belas menit. Bus sudah tidak ada lagi menuju ke rumahnya. "Taksi, Pak."
Zero tidak lagi memberi respon. Ia malah sibuk bermain ponsel. Padahal Zero bisa segera pulang tapi malah berdiri di depan perusahaan.
"Bapak kalau mau pulang, silahkan."
"Apa kamu pikir saya sedang menunggu kamu?" tanya Zero dengan santainya.
Jihan memang berpikir Zero sengaja tidak pergi karena menunggu dirinya sampai mendapatkan taksi. Ternyata dugaan Jihan salah, ia terlalu pede.
"Ti-tidak." Jihan malu sendiri.
"Kalau kamu sudah berpikir begitu, baiklah. Saya akan menunggu sampai taksi kamu datang."
"Tidak perlu, Pak." Jihan menggeleng dengan tatapan memohon. Ia hanyalah bawahan biasa. Tidak etis rasanya ditunggu oleh salah satu petinggi perusahaan. Apalagi hanya tentang menunggu taksi datang saja.
"Kamu jangan salah paham, saya hanya tidak ingin besok pagi ada berita seorang karyawan mengalami kejadian buruk," jelas Zero.
Jihan berusaha keras menetralkan ekspresi wajahnya. Kenapa atasannya sampai berpikir ke arah sana? Padahal Jihan tidak berpikir ke arah sana. Kalau begini, dia jadi takut sendiri. Apalagi ia tidak terlalu mengenal kota ini karena pendatang.
"Terima kasih, Pak." Jihan berkata dengan sedikit pelan. Mungkin benar kata Popi, petinggi-petinggi perusahaan ini sangat baik kecuali mantan suaminya.
Jihan menunggu sambil duduk. Sedangkan Zero tetap berdiri sambil bermain ponsel. Ia terlihat tidak peduli, tapi nyatanya memang peduli.
Tapi siapa sangka, ada seseorang melihat mereka dari kejauhan. Tatapannya mengandung banyak emosi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Padahal ia yang ingin menemani Jihan, tapi kenapa temannya sendiri? Sejak kapan Zero bisa sedekat itu dengan salah satu karyawan?
Awalnya Lp mencoba untuk berpikir positif. Mungkin Zero dan Jihan tidak sengaja bertemu saat turun ke lantai bawah. Seharusnya Zero pulang tetapi ia tidak bergerak sama sekali dan tetap berdiri disamping Jihan. Memang ada jarak, tapi mereka berdua sudah seperti... Lp tidak mau melanjutkan pikirannya sendiri.
Lp sudah melihat sejak Jihan memberikan sesuatu kepada Zero. Dari jauh tidak terlalu jelas benda apa itu. Tapi setelah Zero menggunakannya, Lp baru tahu jika barang yang diberikan Jihan adalah pemantik api.
"Apa mereka saling mengenal?" tanya Lp pada dirinya sendiri. Dia ragu apakah mendekat ke sana atau hanya memperhatikan dari jauh. Tapi kalau boleh jujur, d**a Lp terasa sakit.
Tiba-tiba Lp ingat perkataan Zero beberapa hari yang lalu. Dia tertarik dengan seorang perempuan dengan wajah judes. Kalau diteliti, benar wajah Jihan terlihat judes. Tapi kalau sedang tersenyum, ia sangat manis sekali.
Apa Zero tertarik dengan Jihan? Perempuan di perusahaan ini tidak hanya satu tapi banyak, apa harus Jihan? Lp mengacak rambutnya frustasi.
"Tidak tidak," lirih Lp meyakinkan dirinya sendiri. Dia yang bertanya, dia juga yang menjawabnya. Lp masih memperhatikan walau ada rasa sesak yang timbul.
Taksi yang Jihan pesan sudah datang. "Saya pamit dulu, Pak. Terima kasih." Ia bergegas untuk masuk ke dalam.
"Hey..." panggil Zero. Dia belum tahu nama Jihan sehingga memanggilnya dengan sebutan 'hey'.
Jihan berhenti. "Ada apa, Pak?"
Zero memberikan pemantik api yang belum ia kembalikan. Jihan langsung menggelang. "Untuk Bapak saja," ucapnya.
"Untuk saya?"
"Iya, Pak. Anggap saja sebagai hadiah karena Bapak sudah menemani saya menunggu taksi." Hanya sebuah pemantik api, Jihan tidak keberatan sama sekali. Harganya juga hanya dua ribu.
"Baiklah." Zero menyimpan pemantik api ke dalam saku jasnya.
Jihan masuk ke dalam taksi. Sebelum taksi bergerak, Zero membungkukkan sedikit badan untuk bisa melihat driver taksi. "Tolong antar karyawan saya dengan selamat," ucap Zero kepada driver taksi.
"Baik, Pak," jawab driver taksi.
Zero sudah berdiri kembali. Ia mundur sedikit karena rintik hujan mengenai dirinya.
Perlahan-lahan taksi menjauh meninggalkan perusahaan. Rokok yang tadinya sengaja dimatikan oleh Zero, kini dihidupkan kembali. Ia mulai menghisap rokok tersebut.
Sedang asik merokok, Zero melihat Lp yang berjalan saja tanpa menegur dirinya. "Woi!" panggil Zero. Dia mengira sang teman tidak melihat keberadaan dirinya.
"Hm," jawab Lp tanpa melihat ke arah Zero.
"Udah makan?" Berhubung Zero belum mengisi perut, ia berniat membawa Lp untuk makan malam bersama. Biasanya juga begitu karena tidak enak makan sendiri. Jomblonya terlalu kentara. Haha.
"Gue mau pulang!"
"Sensi amat, gue cuma nanya." Zero bertanya dengan nada santai, tapi Lp malah menjawab dengan nada sebaliknya.
Lp tidak memberi respon. Ia langsung berlari menuju parkiran mobil walau rintik hujan turun. Zero yang melihat itu mendadak bingung. Apa dia melakukan kesalahan? Padahal sehari ini diperusahaan dia tidak bertemu dengan Lp karena banyak pekerjaan. Saat istirahat pun, ia memilih merokok di taman. Jadi kenapa?
Daripada pusing tidak jelas, Zero memilih untuk berlari ke parkiran. Mobil Lp sudah tidak ada lagi. Zero tidak mau berpikir terlalu jauh. Lebih baik segera pulang ke rumah.
Disamping itu, Lp mendadak murung. Tidak ada tanda-tanda kebahagian di wajahnya. Padahal Zero melakukan sesuatu yang salah. Kenapa sulit sekali mengontrol diri jika berhubungan dengan Jihan? Apa ini hukuman karena dulu ia meninggalkan Jihan? Tapi Lp punya alasan melakukan hal tersebut.
Lp menghela nafas panjang. Sebelum masuk area kompleks, Lp singgah di tempat perjual nasi goreng langganannya. Dia memesan tiga bungkus. Lp menunggu di dalam mobil karena hujan. Apalagi tempat duduk yang disediakan penjual tersebut hampir penuh.
Sedang menunggu nasi goreng, Lp masih memikirkan tentang Jihan dan Zero. Bukankah wajar Jihan dekat dengan laki-laki lain? Mana mau Jihan kembali padanya? Lp terlalu banyak berangan-angan.
Tiga buah nasi goreng sudah selesai. Lp membayar dan mengambilnya. Selanjutnya ia pulang ke rumah. Dirumah sudah ada Yu yang sedang baring di sofa. "Pulang juga, gue kira nginap disana," celetuknya setelah melihat Lp masuk ke dalam rumah.
Mata Yu melihat plastik yang dipegang oleh Lp. "Apaan tuh?" tanyanya.
"Nasi goreng. Mau nggak?"
"Lah, ini juga nasi goreng." Yu menunjuk plastik yang ada di atas meja. Warna plastik sama seperti yang dipegang oleh Lp.
"Lo yang beli?" tanya Lp.
Yu menggeleng. "Zero yang kasih," jawabnya.
Lp terkejut. Memang Zero lebih cepat sampai ke kompleks dibanding dirinya karena saat perjalanan pulang Lp membawa mobil dengan pelan. Ia juga berkeliling terlebih dahulu dan tidak langsung pulang.
Lp merasa bersalah. Padahal tadi ia sudah bersikap yang tidak baik. Tapi Zero tetap memikirkan dirinya. Sebenarnya tiga nasi goreng yang dibeli oleh Lp juga untuk sang teman. Wajar bukan karena ia merasa tidak enak hati.
"Kalian kenapa?" Yu seakan penasaran. Hal seperti ini baru terjadi untuk pertama kalinya. Biasanya sebelum membeli, mereka akan berkomunikasi terlebih dahulu agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi.
"Nggak kenapa-kenapa."
"Zero beli dan lo juga beli. Kalian nggak komunikasi dulu apa? Sama-sama lembur juga." Yu mulai cerewet.
Lp tidak ingin banyak berkomentar. "Nah, kasih ke siapa aja," ucapnya sambil meletakkan plastik di atas meja.
"Kok gue?" Yu tidak terima apa lagi ia sedang santai-santainya.
"Tolong."
"Oke oke." Yu akhirnya setuju. Apalagi melihat wajah Lp yang tampak lelah. Tiga bungkus nasi goreng Yu berikan kepada petugas keamanan kompleks.
Lp memilih untuk masuk ke dalam kamar. Ia perlu membersihkan diri agar tubuhnya menjadi lebih segar. Kalau dipikir-pikir, seharusnya Lp tidak perlu marah atau sebagainya kepada Zero. Dia terlalu berpikir jauh. Kalaupun Zero tertarik dengan Jihan, Lp tidak punya hak untuk menghentikan hal tersebut. Dia cukup tahu diri. Jihan hanyalah masa lalu. Jihan berhak bahagia dengan orang lain.
Tapi semuanya butuh waktu. Apalagi kalau laki-laki yang nantinya bersama Jihan adalah temannya sendiri. Memang akan sulit, tapi Lp tidak akan bisa menghentikan hal tersebut.
Lp melangkah ke dalam kamar mandi dengan tubuh lesu. Apapun yang berhubungan dengan Jihan mampu memberi pengaruh dari hidupnya. Ternyata Lp belum bisa mengendalikan diri sendiri. Itulah faktanya.
Setelah membersihkan diri. Lp keluar dari kamar. Perutnya perlu diisi karena sudah berbunyi sejak tadi.
"Lo kasih ke siapa?" tanya Lp karena melihat plastik yang ada di atas meja sudah menghilang.
"Depan," jawab Yu.
"Ini lo yang nitip sama Zero atau gimana?"
"Gue nggak nitip. Gue nunggu lo pulang karena pasti bawa makanan."
Ternyata Zero memang berinisiatif membelikan dirinya dan Yu makanan. "Lo sampai kapan nginap disini?"
"Sampai bosan."
Lp geleng-geleng kepala. "Ntar rumahnya jadi sarang hantu."
"Ada orang yang tinggal di sana kok."
Jawaban Yu membuat Lp kaget. "Siapa?"
"Kepo." Yu tidak mau menjawab.
"Ck, paling orang yang lo pekerjain untuk jaga dan bersiin rumah." Lp sudah bisa menebaknya.
"Begitulah. Rumah lo lebih nyaman."
"Apa bedanya rumah gue sama rumah lo? Ukuran sama, bentuk juga hampir sama."
"Beda aja."
"Ya ya ya." Lp melangkah ke dapur untuk mengambil piring dan sendok. Dia juga membawakan untuk Yu. Mereka perlu mengisi perut yang sudah berdemo meminta haknya.