Jas saya!

1347 Kata
"Maaf sebelumnya, siapa yang dipilih oleh Pak Lp?" tanya Jihan. Entah kenapa Jihan penasaran. Pak Samsul sedikit ragu untuk menjawab. "Kamu yakin ingin mengetahuinya?" "Iya, Pak." "Pak Lp memilih Rendra." Jihan tersenyum. Tapi bukan senyum karena bahagia, entah kenapa ada yang aneh dari perasaannya. "Jangan kecewa," ujar Pak Samsul lagi. Rendra adalah kandidat kedua. "Tidak, Pak. Saya tidak kecewa." "Baguslah. Kuatkan mental karena bekerja dibawah kepemimpinan Pak Lp secara langsung tidak mudah." "Baik, Pak." Mental Jihan sudah tertata semenjak Lp meninggalkan dirinya. Jadi tidak ada yang perlu ia takutkan. Pak Samsul lebih dulu keluar dari ruang meeting. Jihan terdiam sejenak. Tiba-tiba ia merasa kesal karena Lp tidak memilih dirinya. Bukan karena Jihan masih memiliki rasa, tapi normalnya kalau orang berbuat salah kemudian merasa bersalah bukankah memperlakukan korban dengan baik? Lebih tepatnya mencari muka. Ini kok, malah membuat Jihan tambah tidak suka. Jihan langsung geleng-geleng kepala. Apa urusan dengan dirinya? Terserah Lp mau berbuat apa. Toh yang terpenting orang lain mengakui kemampuan dirinya. Lihat saja nanti, dia akan membuat Lp mengakui kemampuan dirinya. Jihan bersiap untuk keluar. Ia kira tidak ada lagi orang, tetapi masih ada beberapa orang yang mengobrol di depan ruang rapat. Lp juga ada disana. Seperti tidak ada tempat mengobrol saja sehingga memilih mengobrol di depan ruang meeting sambil berdiri. Apa tidak capek berdiri terus? Jihan berusaha keluar tanpa menimbulkan suara. Dia bahkan jalan perlan seraya menunduk. Kedua tangannya memeluk dokumen dan tab. "Jihan..." panggil seseorang. "Iya, Pak." Jihan menjawab dengan cepat. Bahkan tubuh yang awalnya sedikit menunduk langsung berdiri dengan tegap. "Jas saya mana?" Semua mata langsung tertuju pada Jihan. Tentu saja semua bertanya-tanya, kenapa atasan mereka bertanya tentang jas. Bukankah jas termasuk barang pribadi? Kecuali sang atasan bertanya tentang hardisk, laptop, tab atau barang-barang yang menjadi fasilitas perusahaan. Jihan meneguk air ludah dengan susah payah. Sungguh Lp bermain dengan sangat cantik sekali sehingga membuat Jihan menjadi objek yang ditatap. "Jihan, Pak Lp nanya." Pak Samsul menegur karena Jihan tidak kunjung menjawab. Apalagi yang bertanya adalah atasan mereka. Jihan memaksa bibirnya untuk tersenyum. Jelas sekali jika senyum itu penuh paksaan. "Maaf, Pak. Saya belum mencucinya." "Oh, setelah dicuci tolong dikembalikan." "Baik, Pak." Jihan buru-buru pamit. Ia tidak mau terus-terus ditatap apalagi kalau sampai di introgasi. Jihan masuk ke dalam lift. Nafasnya sedikit lega, tapi dia benar-benar kesal. Bahkan Jihan tidak menyangka Lp akan bertanya tentang Jas yang semalam ingin ia jadikan kain pel. Apa Lp benar-benar kaya? Atau ia hanya menyamar menjadi seseorang sehingga bisa menjadi salah satu petinggi di perusahaan ini? Bayangkan saja, hanya jas kenapa sampai ditagih segala. Memang sih, meminta kembali adalah haknya. Tapi apa salahnya Lp mengikhlaskan jas tersebut? Padahal Jihan punya niat untuk menjual jas tersebut. Hitung-hitung menambah nominal di rekeningnya. Tapi niat itu terpaksa gagal. "Dia itu mantan suami aku atau bukan sih?" celetuk Jihan sendiri. "Kok pelit amat," lanjutnya lagi. Jihan menghentakkan kakinya beberapa kali seperti anak kecil yang sedang kesal dan ingin marah. Jihan adalah korban, dia adalah mantan istri yang pernah ditinggal di masa-masa terpuruk. Lp adalah pelaku kejahatan bagi Jihan. Mereka bertemu kembali setelah delapan tahun. Jihan tidak butuh kata maaf, tapi dia juga kesal kalau Lp tidak merasa bersalah. Berhubung mereka berada di tempat kerja yang sama, apa salahnya sedikit menunjukkan niat baik. Tapi apa? Dia malah tidak memilih Jihan. Mana pertanyaan untuk Jihan sangat-sangat menyudutkan sampai ia harus memutar otak sampai pusing. Sudahlah, Jihan terlalu banyak berpikir. Hidupnya bukanlah kisah drama perkotaan yang selalu membuat pemeran utama mendapat kejutan-kejutan menggembirakan. Jihan sampai di lantai dua, ia langsung disambung oleh karyawan-karyawan yang kepo tentang siapa yang terpilih. Rasa kesal Jihan seketika hilang, ia tersenyum sebagai jawaban kekepoan rekan kerjanya yang lain. "Selamat..." Popi langsung memeluk Jihan. "Terima kasih." Rekan kerja yang lain juga memberi selamat kepada Jihan. Kedepannya Jihan akan lebih sibuk. Ia juga akan jarang berada di ruangannya sendiri karena harus mengikuti program kerja tim yang dipimpin langsung oleh Lp. Popi langsung menarik Jihan ke kamar mandi. "Kamu kebelet atau gimana?" tanya Jihan karena bingung ditarik ke kamar mandi. Apalagi ia tidak punya kepentingan disini. Popi melihat beberapa bilik kamar mandi. Ia memeriksa apakah ada yang sedang di kamar mandi atau tidak. Jihan tambah bingung. Apalagi Popi menutup pintu akses ke kamar mandi. "Eh eh, kenapa ditutup?" Jihan heboh sendiri. "Bentar doang." Popi memegang kedua pundak Jihan. Dia menatap Jihan dengan serius. "Kenapa?" tanya Jihan tambah bingung. "Kamu punya hubungan apa sama Pak Lp?" "Ha?!" Jihan benar-benar terkejut dengan pertanyaan Popi. "Jawab yang jujur." Jihan tidak mau siapapun tahu tentang masa lalunya. Dia juga tidak mau dikaitkan atau dihubung-hubungkan dengan Lp. "Nggak ada!" Popi menyipitkan mata. "Kamu yakin?" Jihan tertawa. "Mana mungkin aku punya hubungan sama Pak Lp." Jihan melepaskan tangan Popi dari pundaknya. "Lihat, apa nilai plus dari aku?" Popi meletakkan tangannya ke dagu. Sejenak ia berpikir. "Benar juga. Pasti Pak Lp nggak mau yang kayak kita." "Nah itu. Mana mungkin aku punya hubungan sama Pak Lp." Jihan kembali tertawa. "Tapi ada gosip tentang kamu." "Gosip apa?" "Katanya kemarin malam di halte, Pak Lp nyamperin kamu." Popi mendengar gosip tersebut dari orang-orang yang berada di divisi lain. Jihan sudah menduga pasti akan ada gosip yang bermunculan setelah Lp dengan sok-sokan menjadi kesatria mendatangi dirinya. Kesatrian dari hongkong! "Oh itu, baju aku basah kena air cipratan mobil. Terus Pak Lp datang ngasih jasnya." "Kok bisa?" Popi sedikit tidak percaya. "Aku juga nggak tau." Jihan mengangkat bahunya. "Bukannya kata kamu Pak Lp baik?" Popi mengangguk. "Mungkin dia nggak sengaja lihat, terus ngasih jas sama aku secara cuma-cuma. " "Bisa juga sih, apalagi jasnya pasti banyak. Mungkin sama aja kayak ngasih recehan." Jihan tertawa mendengar perkataan Popi. Jas banyak, tapi apa yang terjadi? Lp malah meminta jas dikembalikan di depan orang banyak. Benar-benar luar biasa. "Iya benar, pasti jasnya banyak," balas Jihan. Akhirnya kesalahpahaman dapat diselesaikan dengan baik oleh Jihan. Popi juga membantu Jihan membuat gosip yang bersebaran menjadi terendam. Kedepannya Jihan harus menjauhkan Lp pada sesuatu yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. *** Hari ini Jihan tidak lembur. Dia memilih pulang tepat waktu karena sudah lembur beberapa hari ke belakang. Tapi sebelum meninggalkan ruangan, ia malah dipanggil oleh sekretaris Lp. Entah apa lagi rencana Lp, ingin rasanya Jihan menjambak rambutnya sampai botak. Seharusnya yang menghantui atau mengganggu adalah Jihan bukan Lp. Ini malah sebaliknya, memang luar biasa. "Ada apa Pak Lp mencari saya?" tanya Jihan. "Saya tidak tau." Edi memberi jawaban yang sangat tidak memuaskan bagi Jihan. Akhirnya Jihan sampai di depan ruang Lp. Edi menyuruhnya masuk ke dalam. Padahal Jihan bisa sendiri, tapi entah kenapa Edi harus repot-repot mengantarkan dirinya sampai ke depan ruangan. "Terima kasih," ucap Jihan dengan sopan. "Masuk!" suara dari dalam ruangan terdengar. Kebetulan pintunya tidak tertutup rapat jadi suara dari dalam bisa terdengar ke luar. Padahal Jihan belum mengetuk pintu atau bersuara. Tahu saja Lp jika dirinya sudah ada di depan ruangan. Jihan menyiapkan diri. Tapi kalau dia lepas kendali tidak masalah bukan? Apalagi sekarang bukan jam kerja lagi. Lepas kendali bukan berbaur ke arah sana ya, lepas kendali ya bisa saja benar-benar menjambak Lp sampai botak biar tahu rasa. "Ada apa?" tanya Jihan langsung setelah masuk. Tidak ada embel pak sama sekali. "Jas saya." "Ha?!" "Jas saya," ulang Lp lagi. Ia menggunakan bahasa formal dan itu terdengar memuakkan dikepala Jihan. Tapi tunggu, di ruang ini ada CCTV bukan? Atau mungkin ada alat penyadap. Bisa-bisa ketidaksopanan Jihan mengudara kemana-mana dan menjadi momok untuk dirinya sendiri. "Jangan bercanda, saya tidak suka." Jihan juga membalas dengan menggunakan bahasa formal. Lp menaikkan sebelah alis. "Siapa yang bercanda? Saya minta jas yang tadi malam saya pinjamkan." Jihan menarik nafas dalam-dalam. Bukannya tadi setelah rapat sudah ia jawab bahwa jasnya belum dicuci. Apa Lp lupa? Sungguh sangat kasihan sekali karena masih muda tapi sudah pikun. "Pak, jasnya belum saya cuci." Jihan masih berusaha menahan diri walau urat-urat tangannya sudah muncul. "Saya butuh malam ini." "Kalau Bapak butuh, kenapa malah meminjamkannya ke saya?" "Kamu ini, bukannya bilang makasih malah nyolot." Jihan mengelus dadanya sendiri. “Pak, saya mau pulang.” “Jas saya.” Lp mengeluarkan tangan untuk meminta sesuatu yang tidak ada di tangan Jihan sekarang. “Kamu pengen aku siram kopi lagi?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN