Sebenarnya Saveri datang kembali ke Indonesia bukan tanpa tujuan. Selain untuk melanjutkan bisnis yang sudah dibangun orang tuanya selama puluhan tahun, dia juga punya misi penting, yakni menemukan Madilyn. Sedikit informasi soal keberadaan Madilyn-lah yang akhirnya membuat Saveri memutuskan untuk mempercepat kepulangannya ke Indonesia. Katanya perempuan yang tak pernah berhenti dicarinya itu tinggal di salah satu bagian kota Jakarta. Saveri bersyukur meski informasinya tidak terlalu akurat. Setidaknya dia tidak perlu mencari keberadaan perempuan itu dari Sabang hingga ke Merauke. Lokasi pencarian bisa dipersempit hanya sekitaran kota Jakarta saja. Saveri sama sekali tidak peduli perbuatannya ini dianggap aneh dan bodoh hanya untuk mengetahui keberadaan Madilyn. Dan lebih gilanya lagi dia bertekad untuk memulai pencarian Madilyn bahkan belum sampai 24 jam setelah menginjakkan kaki di tanah airnya tercinta.
Saveri sudah mencoba selama bertahun-tahun untuk mencari Madilyn. Melacak Madilyn lewat email, kontak ponsel hingga membayar orang untuk menguntit Kate, teman yang Saveri anggap paling akrab dengan Madilyn ketika itu. Saveri juga mencari lewat berbagi aplikasi media sosial tapi hasilnya nihil. Saveri juga mencoba mengacak-acak internet menggunakan kata kunci Madilyn Bellona. Namun dia tidak mendapatkan informasi apa pun yang relevan dengan Madilyn yang sedang dicari-carinya. Sampai akhirnya ada satu hal yang Saveri sadari dari semua usahanya dalam menemukan Madilyn, yaitu tidak banyak informasi yang ia ketahui tentang Madilyn apalagi keluarga perempuan itu. Namun Saveri baru menggunakan jasa profesional beberapa waktu terakhir saja karena sudah merasa putus asa usahanya mencari Madilyn secara mandiri tidak pernah membuahkan hasil. Ditambah lagi Saveri tidak ingin kedua orang tuanya membaca gelagatnya sedang mencari seseorang lalu rahasia besarnya sampai diketahui kedua orang tuanya dan berakhir melukai fisik serta perasaan Madilyn nantinya. Dia takut kalau sampai perbuatan gilanya itu mencelakai Madilyn.
Selama menjalin hubungan romansa dengan Madilyn, Saveri terlalu fokus pada Madilyn saja tanpa berniat mencari tahu lebih jauh soal kehidupan Madilyn. Saveri tidak mau membuat Madilyn merasa tidak nyaman dan merasa dicampuri urusan pribadinya kalau dia bertanya lebih jauh tentang Madilyn. Ditambah lagi Madilyn adalah seorang perempuan yang cenderung tertutup atas kehidupan pribadinya. Dia jarang menceritakan apa pun yang berhubungan dengan persoalan pribadi pada orang yang tidak benar-benar akrab dengannya. Setiap ada waktu bersama Madilyn hanya suka bercerita perihal kampus, kuliah dan hobi melukisnya yang ditentang oleh orang tua. Bahkan Saveri baru tahu belakangan kalau Madilyn dulu membohongi dirinya soal jurusan yang ditempuhnya, di awal perkenalan mereka waktu itu. Setelah sedikit akrab barulah Madilyn mau terbuka bahwa sebenarnya dia mengambil jurusan keuangan internasional bukan seni.
Tatapan Saveri tertuju pada sebuah fotonya bersama Madilyn ketika perempuan itu menemaninya tanding basket beberapa minggu sebelum kejadian di sore hari yang menghancurkan hati Saveri terutama Madilyn. Saveri menyimpan foto itu di sebuah bingkai foto berukuran pas photo yang selalu dibawanya ke manapun kakinya melangkah. Senyum ceria Madilyn di foto itu menyeret Saveri pada kenangan sembilan tahun lalu, tiga hari setelah pertengkaran hebat mereka soal kehamilan Madilyn yang tak diharapkan oleh dirinya kala itu.
Saveri menemukan Kate berjalan sendirian di salah satu koridor kampus. Biasanya gadis berdarah Portugal itu selalu bersama-sama dengan Madilyn kapanpun dan di manapun. Hal tidak biasa hari itu tentu saja mengundang kecurigaan dan perasaan cemas dalam diri Saveri. Tanpa pikir panjang Saveri mengubah langkah cepatnya menjadi berlari dan berhenti tepat di hadapan Kate.
“Kamu mau apa?” tanya Kate ketika langkahnya terpaksa berhenti karena keberadaan Saveri di hadapannya.
“Di mana Madilyn?” tanya Saveri tanpa basa basi.
“Mana kutahu. Kamu kekasihnya. Harusnya kamu lebih tahu keberadaan dia.”
“Saya tidak akan segan-segan membuat kamu kuliah dengan perasaan kesal kalau nekad berbohong, Kate.”
“Demi Tuhan, Veri. Aku sudah tiga hari ini tidak bertemu dengan Madilyn. Dia juga tidak pulang ke mess selama itu.”
“Are you serious?”
“Untuk apa aku berbohong? Aku juga mencemaskan temanku itu. Memangnya kamu sudah apain dia sampai harus menghilang selama tiga hari ini?”
“Kami ada masalah pribadi. Dan harus segera diselesaikan sesegera mungkin. Tolong nanti kalau Madilyn menghubungimu atau bahkan muncul di hadapanmu segera kabari aku,” ujar Saveri kemudian merobek buku dan menuliskan nomor ponselnya sekaligus memberikan secarik kertas tadi pada Kate. “Ada hal yang yang harus kami bicarakan secara empat mata.”
“Kenapa kamu tidak mencoba menghubungi ponselnya?”
“Kalau bisa dihubungi untuk apa aku repot-repot mencarinya sampai seperti ini?”
“Kamu benar juga. Aku sangat mengkhawatirkan Madilyn. Beberapa hari sebelum menghilang dia mengeluh sakit hebat di perutnya. Katanya seperti kram saat menjelang jadwal periodnya. Tapi dia menolak dibawa ke dokter padahal wajahnya sudah sangat pucat. Katanya tidur sebentar nanti sakitnya hilang dengan sendirinya. Ternyata malah dia yang menghilang.”
“Benarkah itu? Dia sakit perut? Apa dia mengeluh sakit bagian lainnya padamu?” tanya Saveri semakin dipenuhi rasa bersalah.
“Disertai mual dan sakit kepala juga. Padahal gadis itu tergolong perempuan kuat menurutku. Di saat teman-teman dari negara dua musim yang baru pertama kali tinggal di Amerika kesulitan menyesuaikan diri dengan negara empat musim bahkan ada yang sampai harus dirawat inap di rumah sakit, tidak halnya dengan Madilyn. Dia tidak flu berat bahkan pada saat suhu sedang minus. Dia selalu baik-baik saja sampai detik ini. Aku sangat khawatir ketika Madilyn mengeluh sakit waktu itu. Tolong temukan dia, Veri. Coba cari di klinik-klinik atau rumah sakit terdekat. Mungkin dia sedang dirawat tapi tanpa mengabari siapa-siapa.”
Saveri mengangguk lalu menepuk pundak Kate pelan. “Percayalah, Madilyn pasti baik-baik saja. Mungkin dia butuh waktu untuk menyendiri karena sedang memiliki persoalan yang berat, salah satunya masalah denganku. Setelah merasa tenang, nanti dia pasti akan muncul sendiri.”
“Semoga Tuhan selalu memberkati Madilyn,” ujar Kate tulus. “Aku rasa dia tidak pergi jauh dan akan kembali lagi secepatnya ke mess. Dia tidak membawa banyak barang karena kondisi barang-barang di kamarnya masih seperti biasa.”
Informasi dari Kate tentu saja membuat rasa bersalah dalam diri Saveri semakin berkembang. Dia memang sempat marah pada Madilyn dua hari yang lalu karena merasa dipojokkan dan tidak diberikan waktu berpikir oleh Madilyn. Namun setelah amarahnya mereda justru rasa bersalah yang muncul di hatinya. Dia sadar tidak seharusnya bersikap egois dan kasar seperti itu pada perempuan, terlebih perempuan itu memiliki arti spesial dalam hidupnya. Dan yang terpenting dari itu semua perempuan tersebut sedang mengandung keturunannya, darah dagingnya, penerusnya kelak.
Saveri tidak bisa tidur nyenyak dan makan dengan benar setelah melontarkan saran konyol untuk menggugurkan kandungan Madilyn. Benar yang dikatakan oleh Madilyn sarannya itu begitu keji dengan meminta Madilyn membunuh calon anak mereka. Saat itu Saveri benar-benar dalam kondisi kalut dan panik pada masa depannya tanpa memikirkan masa depan Madilyn. Dia adalah laki-laki paling egois saat itu. Pantas jika Madilyn begitu murka padanya. Lalu kini pikirannya yang sudah tenang dan telah berdamai dengan keadaan tiba-tiba kembali panik saat memikirkan Madilyn sedang memenuhi permintaan konyolnya di awal mengetahui kehamilan Madilyn. Apakah Madilyn telah menggugurkan kandungannya? Kalau iya bagaimana kondisi kesehatan Madilyn? Apakah Madilyn sudah benar-benar tidak menginginkannya lagi? Apakah Madilyn akan pergi dari kehidupan? Apakah Madilyn akan membenci dirinya untuk selamanya? Saveri nyaris frustrasi membayangkan hal-hal buruk menimpa diri orang yang sangat dicintainya itu.
Seminggu telah berlalu setelah pertengkarannya dengan Madilyn sore itu. Saveri sudah kehabisan upaya mencari keberadaan Madilyn. Hasilnya selalu nihil. Sampai akhirnya malam itu ketika Saveri hendak kembali ke apartemennya setelah menunggu kedatangan Madilyn di taman dekat mess selama berjam-jam, Saveri melihat sosok yang ditunggunya itu muncul dari balik gedung sedang berjalan kaki dengan kepala tertunduk. Tanpa pikir panjang Saveri bangkit dari kursi taman lalu melangkah lebar menuju ke arah Madilyn.
“Dari mana saja kamu?” tanya Saveri setelah berhasil menghentikan langkah Saveri.
“Nggak ada urusannya sama kamu. Berhenti menggangguku atau aku akan teriak sekarang juga!”
“We need to talk, Lona.”
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kita sudah selesai, Saveri.”
“Saveri? Kamu memanggilku Saveri? Panggil aku Xylo. Aku cuma mau dipanggil dengan nama itu sama kamu.”
“Jangan kayak anak kecil. Pulanglah. Jangan menggangguku lagi.”
“Ayo kita bicara, Lona.”
Madilyn menggeleng. Dia melangkah lagi dan mendorong pundak Saveri yang menghalangi jalannya. Saveri tak tinggal diam. Dia mencekal tangan Madilyn lalu mengajak perempuan itu ke arah taman. Merasa sangat letih dan enggan berdebat dengan Saveri, akhirnya Madilyn menuruti keinginan laki-laki itu. Pikirnya supaya masalah ini cepat selesai dan dia bisa segera lepas dari laki-laki yang sudah enggan ditatapnya lagi ketika berbicara.
Di sinilah mereka berada saat itu. Di bangku taman duduk saling berdamping dengan menyisakan jarak sekitar tiga puluh sentimeter di antara mereka.
“Kamu ke mana aja, Lona? Aku hampir gila mencari-cari kamu. Aku sangat mencemaskan kondisimu,” ujar Saveri setengah putus asa.
“Aku nggak pernah minta kamu mencari apalagi mencemaskanku. Jadi berhenti bersikap seolah aku yang kejam di sini karena membuatmu khawatir seperti itu.”
“Maaf, Lona. Maksud aku bukan gitu. Jadi gimana keadaanmu sekarang? Apa kamu sudah merasa tenang? Sudah bisa diajak bicara lagi?” tanya Saveri sabar.
“Sudah kubilang nggak ada yang perlu dibicarakan lagi di antara kita. Setelah ini aku nggak akan mengganggumu lagi. Kamu bebas melakukan apa pun untuk masa depanmu. Begitu juga denganku yang aku sendiri juga tidak tahu seperti apa masa depanku setelah ini.”
“Kasih aku kesempatan untuk memikirkannya sekali lagi, Lona. Tolong ngertiin posisi aku.”
Madilyn menggeleng. “Semuanya sudah terlanjur. Kamu telah menyakitiku begitu dalam. Dengan aku memberimu kesempatan, itu sama saja seperti menyiram lukaku yang masih basah dengan air keras. Sakit banget setiap kali mengingat semua tuduhan yang kamu berikan padaku hari itu, terlebih saran kamu untuk membunuh calon bayi kita.”
“Lona, aku cuma minta kamu menggugurkan bayi itu. Bukan meminta kamu pergi dari kehidupanku.”
“Apa bedanya? Dengan kamu meminta aku membunuh janin dalam kandunganku, itu sama saja dengan kamu membunuhku secara perlahan,” ujar Madilyn dengan suara begitu rendah. Hatinya begitu sakit hingga rasanya berapapun banyaknya air mata yang sudah mengalir di pipinya tidak juga mengurangi rasa sakit yang harus ditanggung oleh hatinya.
“Lona… Tolong jangan mempersulit keadaan dengan pikiran-pikiranmu itu. Aku nggak segila itu sampai meminta kematian datang menghampirimu. Lenganmu tergores duri batang mawar saja aku nggak tega apalagi membunuh kamu.”
“But you did…”
“Oke, aku salah. Aku minta maaf yang sebesar-besarnya kalau ada dari perkataanku yang membuatmu begitu terluka. Kamu boleh meminta apa pun tapi tolong jangan meminta perpisahan. Aku nggak sanggup hidup tanpa kamu, Lona. I really love you, Lona.”
“Terlambat. Aku sudah sudah terlanjur sakit hati. Kata maaf saja tidak cukup mengobati luka yang sudah kamu torehkan di hatiku.”
“Lona, please. Katakan saja apa yang harus aku lakukan untuk mengobati lukamu. Kita akan melewati segala situasi dan kondisi bersama-sama. Aku akan segera mengabari orang tuaku soal kehamilanmu. Aku juga bersedia menemui orang tuamu dan meminta maaf pada mereka karena telah menghamilimu. Aku akan mempertanggung jawabkan perbuatanku. Tapi aku mohon jangan pergi, Lona. Stay with me, please.”
Madilyn diam membisu seribu bahasa. Tak satapun serentetan kalimat yang disampaikan oleh Saveri menyentuh hatinya. Keputusannya sudah bulat untuk meninggalkan Saveri.
“Katakan sesuatu, Lona. Kamu ingin mempertahankan kandunganmu? Baiklah aku setuju itu. Kamu belum melakukan apa pun pada kandunganmu, kan? Aku yakin pasti belum karena aku tahu kamu begitu mencintai dia, calon bayi kita. Iya, kan?” Saveri mengguncang pundak Madilyn beberapa kali. Namun bukan jawaban menenangkan yang disampaikan oleh Madilyn. Melainkan hanya air mata yang terus mengalir deras membasahi kedua pipinya.
Seolah mengerti jawaban Madilyn kepala Saveri tertunduk lalu kedua tangannya yang sedang berada di pundak Madilyn terlepas begitu saja. Kondisi itu dijadikan kesempatan oleh Madilyn untuk pergi dari hadapan Saveri. Laki-laki itu kini tengah menyesali perbuatan dan semua kata-kata menyakitkan yang diucapkannya pada Madilyn. Dia menangis seorang diri di tengah taman yang sudah sepi. Dadanya terasa sesak. Dan tiba-tiba Saveri merasa seperti kesulitan bernapas.
Kemudian Saveri merasa ada yang mengguncang bahunya pelan. Ketika dia membuka mata bukan Madilyn yang dilihatnya melainkan Dafhina istrinya sedang tersenyum hangat dan mendesah lega pelan.
“Mimpi buruk lagi?” tanya Dafhina.
“Ya, begitulah,” ujar Saveri kemudian bangkit dari ranjang dan duduk di tepiannya.
“Dia siapa, Veri?” tanya Dafhina lagi.
“Siapa yang kamu maksud?”
“Nama orang yang sering kamu sebut setiap kali kamu terjebak dalam alam mimpi. Lona namanya. Dia siapa? Pasti spesial sampai-sampai kamu memimpikannya. Dan sepertinya beberapa waktu terakhir nama itu semakin sering hadir dalam mimpi kamu.”
Saveri tidak menjawab. Dia melanjutkan langkah menuju balkon kamarnya. Dia butuh udara segar untuk melegakan pernapasannya. Setiap kali bermimpi tentang Madilyn beginilah kondisi Saveri. Kalau tidak ada orang yang membantunya bangun dari mimpi mungkin dia akan mati karena kehabisan napas. Dan salah satu keuntungan Saveri menikah dengan Dafhina adalah dia jadi mempunyai seseorang yang bisa membantunya kapanpun ketika sedang terjebak dalam mimpi tentang Madilyn.
Namun meski telah hidup bersama bahkan tidur seranjang dengan Dafhina selama tiga tahun, Saveri belum pernah menyentuh Dafhina. Dia tidak ingin menyentuh perempuan manapun sekalipun itu istrinya tanpa cinta. Dia ingin menyentuh seorang hanya karena dia mencintai perempuan itu, bukan karena napsu, keterpaksaan apalagi rasa kasihan. Dia akan menyentuh perempuan selain Madilyn jika dia sudah mendapat maaf dari perempuan itu dan berdamai dengan masa lalu mereka.
Saveri tahu sikapnya itu menyakiti hati Dafhina. Namun dia merasa menang karena sudah pernah mengatakan tidak setuju menikahi Dafhina karena alasan pribadi yang tak bisa ia ungkapkan pada siapapun termasuk orang tuanya. Dulu Saveri sudah menegaskan pada Dafhina kalau perempuan itu akan tersakiti jika memaksa menerima perjodohan mereka. Sayangnya Dafhina teguh pada pendiriannya menyatakan sanggup menerima konsekuensi yang disebutkan oleh Saveri di awal. Lalu pernikahan itupun akhirnya terjadi. Dan Dafhina tidak pernah mengeluh pada sikap Saveri yang selalu dingin padanya karena pernikahan ini terjadi juga atas kemauan dia, bukan atas kemauan Saveri.
~~~
^vee^